Uniol Ungkap Enam Bukti Pembuatan Kebijakan Berbasis Islamofobia

 Uniol Ungkap Enam Bukti Pembuatan Kebijakan Berbasis Islamofobia

Mediaumat.id – Membantah pernyataan Prof. Mahfud MD yang menyebut ‘tak ada islamofobia di Indonesia’, Dosen Online Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo, Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati, S.Sos. mengungkapkan enam bukti pembuatan kebijakan berbasis islamofobia.

“Ada banyak indikasi dan bukti bahwa pemerintah mengidap islamofobia. Setidaknya ada enam pembuatan kebijakan dan penegakan hukum berbasis itu,” tulis keduanya dalam materi kuliah daring Uniol 4.0 Diponorogo Kontraproduktif: Pelaksanaan Kebijakan Pemerintah Berbasis Islamofobia di grup WhatsApp, Sabtu (23/4/2022).

Prof. Suteki menyebutkan yang pertama, mengkriminalisasi ulama, ustaz, dan aktivis Islam.

“Penahanan Ha-eR-eS bukan semata-mata atas tuduhan melakukan tindak pidana umum, begitu pula Munarman yang dituduh terlibat terorisme. Aroma politik balas dendam sangat menyengat,” ujarnya.

Ia menambahkan, Ali Baharsyah (aktivis Islam) ditahan dengan tuduhan penghinaan terhadap penguasa gegara unggahan media sosial dan dituduh makar karena video dakwah khilafah.

“Despianoor keluar masuk penjara atas tuduhan melanggar ITE, padahal postingan kritiknya tak lebih dari dakwah dan bentuk kecintaan pada negeri ini,” cetus Guru Besar Fakultas Hukum Undip ini.

Kedua, Puspita menuturkan, membubarkan ormas Islam yang dinilai radikal dan mengawasinya.

“HTI dibubarkan dengan landasan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas. Pembubaran ini dinilai bentuk kediktatoran konstitusional karena pemerintah secara sepihak mencabut status badan hukum ormas tanpa didahului proses pemeriksaan di pengadilan,” terangnya.

Adapun FPI, katanya, dibubarkan melalui SKB Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Jaksa Agung RI, Kapolri dan Kepala BNPT tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI pada Rabu (30/12/2020).

Ketiga, Prof. Suteki menilai, ada pembiaran terhadap penista agama Islam tanpa pemeriksaan/hukuman.

“Para buzzer istana yang sering melontarkan narasi menghina Islam seperti Abu Janda, Ade Armando, Deni Siregar, seolah kebal hukum. Terkesan aparat penegak hukum berat sebelah. Pelaku dari kelompok oposisi cepat diproses, sebaliknya yang masih satu lingkaran penguasa terkesan dibiarkan,” sesalnya.

Lebih lanjut, Puspita menyodorkan bukti keempat yaitu berupaya membatasi syiar Islam.

“Menag mengeluarkan Surat Edaran No. 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. SE ini menuai polemik karena terkesan membatasi syiar Islam di masjid,” sebutnya.

Apalagi, menurut Puspita, setelahnya Menag justru melontarkan pernyataan membandingkan azan dengan gonggongan anjing. Ini menjadi bukti SE ini dikeluarkan secara otoriter, tidak merupakan good law (proses pembentukan hukum yang baik) dan good substance.

Kelima, Prof. Suteki menyebut adanya monsterisasi ajaran Islam seperti jihad dan khilafah. “Jihad dan khilafah dicitrakan sebagai ajaran kekerasan yang harus dijauhi. Termasuk ‘tabu’ diajarkan pada anak didik. Pada Desember 2019, Kemenag mengeluarkan SE agar merevisi konten ajaran terkait khilafah dan jihad dalam pelajaran agama Islam di madrasah,” bebernya.

Selain itu, ia menyampaikan, khilafah dan jihad tak lagi dimasukkan dalam pelajaran fikih dan masuk pelajaran sejarah kebudayaan Islam, berdalih khilafah memang bagian dari sejarah Islam namun tak cocok diterapkan untuk konteks Indonesia.

Keenam, Puspita menunjuk gencarnya pengarusutamaan program moderasi beragama.

“Ini telah menjadi program nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Istilah moderasi sering dilawankan dengan radikalisme,” urainya.

Ia menyayangkan, radikalisme yang sering disematkan pada Islam seolah diposisikan sebagai virus atau permasalahan utama negeri ini, dan moderasi digadang sebagai penawar/solusi baginya.

“Padahal hingga kini definisi radikalisme tidak jelas. Ia sebagai nomenklatur politik, bukan nomenklatur hukum. Program moderasi menyasar PAUD hingga perguruan tinggi, juga ke desa-desa,” pungkasnya.[] Ummu Zarkasya

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *