Uniol 4.0 Diponorogo Beberkan Strategi Wujudkan Masyarakat Mulia Tanpa Penyakit IMS

 Uniol 4.0 Diponorogo Beberkan Strategi Wujudkan Masyarakat Mulia Tanpa Penyakit IMS

Mediaumat.id – Terkait meningkatnya kasus sifilis hingga 70 persen dalam lima tahun terakhir, Dosen daring Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo, Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati, S.Sos. membeberkan strategi mewujudkan masyarakat bersih dan mulia tanpa penyakit infeksi menular seksual (IMS).

“Penting untuk menggagas strategi sinergis yang mampu menyelesaikan kasus penularan IMS secara tuntas demi mewujudkan masyarakat bersih dan mulia. Mengingat maraknya seks bebas dan lelaki seks lelaki (LSL) memicu melejitnya sifilis, maka ada beberapa strategi,” tulis mereka dalam materi kuliah daring Uniol 4.0 Diponorogo, Penyakit Sifilis Merebak: Inikah Potret Tata Kehidupan ala Sekularisme Liberal nan Rusak? di grup WhatsApp Uniol, Sabtu (27/5/2023).

Menurut keduanya, jika menghendaki penyelesaian sifilis secara tuntas, maka harus mencabut sistem hidup yang memfasilitasi tumbuh dan berkembang biaknya pemicu sifilis. “Hanya dalam sistem Islam dengan keunggulan aturan hidupnya yang bisa mewujudkan masyarakat, bersih dan mulia tanpa penyakit IMS dan segala jenis keburukan lainnya,” tegasnya.

Keduanya pun mengupas empat poin terkait masalah tersebut. Pertama, individu. Prof. Suteki mengungkapkan, individu beriman dan bertakwa merupakan salah satu elemen pembentuk masyarakat mulia.

“Karakter inilah penjaga utama seseorang jauh dari maksiat. Ia tak lagi berhitung perbuatannya dilihat manusia atau tidak, tapi ia meyakini Allah SWT Maha Mengetahui, akan menghisab sekecil apa pun tindakannya, serta memberikan azab bila melanggar larangannya. Ia takut bergaul bebas dengan lawan jenis atau melakukan penyimpangan seksual sejenis (LSL) karena Allah SWT melaknatnya,” terangnya.

Puspita melanjutkan yang kedua, keluarga. Ia menyebut, sebagai institusi terkecil di masyarakat, keluarga berperan penting dalam mendidik anggotanya terhindar dari perilaku maksiat termasuk seks bebas dan penyimpangan seksual.

“Orang tua bertugas meletakkan iman sebagai pondasi, memahamkan hukum Islam termasuk tata cara pergaulan dengan lawan jenis maupun sejenis, mengarahkan dan mengontrol (teman) bergaul ananda dan aktivitasnya baik di dunia nyata maupun maya, menguatkan bonding, serta sering berdialog dengan anak,” jelasnya.

Ketiga, masyarakat. Prof. Suteki memandang, anggota masyarakat berperan sebagai pengontrol satu sama lain. Mereka bertugas amar makruf nahi mungkar.

“Rasulullah SAW menganalogikan, ibarat masyarakat itu penumpang kapal, bila ada seorang penumpang hendak mengambil air dengan cara melubangi bagian kapal, maka lainnya harus mencegah. Bila tidak, air masuk kapal hingga karam dan semua penumpang tenggelam,” ulasnya.

Ia menambahkan, terhadap pelaku LSL, bentuk kepedulian terbaik adalah menyadarkan bahwa perilakunya menyimpang dan mendukung mereka untuk bisa sembuh dan kembali pada kodratnya. Bukan memotivasi untuk tetap mengidap perilaku menyimpang dan membenarkan atas nama HAM.

“Lalu, jika menemukan ada pelaku LGBT atau seks bebas di sekitar tempat tinggal, segera lapor penguasa setempat/digerebek bareng warga. Meski saat ini belum tersedia pasal hukum untuk menjerat, minimal pelaku tahu bahwa perilakunya ditolak masyarakat,” pesannya.

Keempat, negara. Puspita menunjuk, sesuai amanat UUD 1945, tujuan negara Indonesia adalah melindungi seluruh rakyat Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Sebagaimana fungsi negara dalam pandangan Islam yakni sebagai ra’in (pengatur urusan umat) dan junnah (pelindung rakyat dari musuh dan segala bentuk keburukan).

“Memiliki legalitas mengatur dan menghukum, maka negaralah elemen terpenting dalam mewujudkan masyarakat bersih dan mulia,” ujarnya.

Selanjutnya Prof. Suteki memberikan rincian tugas negara antara lain: memberikan edukasi berbasis iman takwa, menutup akses seks bebas, memberlakukan kurikulum yang mengintegrasikan agama dan ilmu umum, memberi sanksi tegas bagi pelaku zina dan LGBT.

Puspita pun mengingatkan bahwa merebaknya seks bebas dan penyimpangan seksual bukan lagi kasuistik tapi perkara sistemis. Apalagi LSL (LGBT) tak lagi sekadar masalah individual sosial, melainkan politis yang kian eksis karena dukungan negara-negara Barat termasuk lembaga internasional selevel PBB.[] Ummu Zarkasya

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *