Tolak Utang Luar Negeri untuk Pengadaan Alutsista!
Oleh: Agung Wisnuwardana (Direktur Indonesia Justice Monitor)
Sebagaimana dikabarkan oleh cnnindonesia.com, Kementerian Pertahanan disebut akan melakukan pembelian sejumlah alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpalhankam) untuk memenuhi kebutuhan tiga matra Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Rencana ini tertuang dalam dokumen rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) Kementerian Pertahanan dan TNI tahun 2020-2024. Pemenuhan alpalhankam itu ditaksir memerlukan pendanaan sekitar US$ 124.995.000.000 atau setara Rp1,7 kuadriliun.
Perpres itu merupakan tindak lanjut rencana strategis khusus 2020-2024. Dalam dokumen itu disebutkan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan sebesar Rp1,7 kuadriliun, pemerintah melalui Kementerian Pertahanan akan mengajukan pinjaman ke luar negeri. Rencananya, pengadaan alat-alat tersebut dijalankan hingga 2044 mendatang.
Utang dan Penjajahan
Kalau kita telaah lebih mendalam, ideologi demokrasi dengan kapitalisme sebagai basis kekuatan yang dikembangkan dunia terutama amerika, eropa dan negara-negara maju, punya pengaruh yang kuat terhadap utang ini. Karena dalam alam demokrasi , Utang telah menempati peran penting melalui mekanisme ekonomi kapitalis. Dalam konsep kapitalisme yang sudah kita pelajari dari mulai kita sekolah sampai dengan tingkat praktisi, sudah diarahkan dan dibenamkan pemikiran kita bahwa Utang mengambil peranan yang penting dari mulai penempatan modal awal yang akan digunakan untuk memulai suatu usaha sampai dengan ekspansi bisnis yang dilakukan oleh individu maupun perusahaan. Ini sudah menjadi jalan yang shohih dan sharih dalam kehidupan sekarang ini. Padahal tanpa terasa di dalamnya mengandung riba karena adanya perhitungan time value of money. Kita bisa lihat hal ini dalam skala kecil industri menengah, multinasional, baik usaha biasa maupun di perusahaan di bursa hingga pemerintah.
Konsep tersebut diterapkan dengan asumsi bahwa baik individu mau pun perusahaan tidak akan memiliki cukup uang untuk melakukan rencana ekspansi/perluasan usaha, sehingga sudah menjadi hal yang lumrah untuk mencari pinjaman. Bukannya menunggu dari akumulasi keuntungan. Kalau kita telaah kiprah perbankan dalam 300 tahun terakhir, dimana sektor perbankan telah berkembang sampai memainkan peran kunci dalam kehidupan ekonomi, karena perbankan menjadi alat untuk mengumpulkan dana dari masyarakat kemudian diberdayagunakan dalam proses pinjam meminjam atau utang piutang.
Lalu kenapa jalan ini yang dipilih untuk pembangunan??? Padahal ini adalah Jerat (konsep utang) dan ribawi.
Dampak Utang Luar Negeri
Pertama, dampak langsung dari utang yaitu cicilan bunga yang makin mencekik.
Kedua, dampak yang paling hakiki dari utang tersebut yaitu hilangnya kemandirian akibat keterbelengguan atas keleluasaan arah pembangunan negeri, oleh si pemberi pinjaman.
Kalau kita simak pengalaman dan sejarah, betapa susahnya kita menentukan arah pembangunan yang di cita-cita negeri ini. Penyebabnya adalah term and condition atau syarat yang ditetapkan oleh di rentenir (negara-negara donor tersebut). Terlihat jelas adanya indikator-indikator baku yang ditetapkan oleh Negara-negara donor, seperti arah pembangunan yang ditentukan. Baik motifnya politis maupun motif ekonomi itu sendiri. Misalnya kita ketahui bahwa di dalam CGI, selama ini Amerika Serikat dan Belanda dikenal sangat vokal saat menekankan sejumlah persyaratan kepada Indonesia. Padahal, jumlah pinjaman yang mereka kucurkan tak banyak, tak sebanding dengan kevokalannya. Sialnya, AS dan Belanda mampu memprovokasi anggota CGI lainnya untuk mengajukan syarat-syarat yang membebani Indonesia. (http://isei.or.id/page.php?id=5des068)
Pada akhirnya arah pembangunan kita memang penuh kompromi dan disetir, membuat Indonesia makin terjepit dan terbelenggu dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat negara Donor. Hal ini sangat beralasan karena mereka sendiri harus menjaga, mengawasi dan memastikan bahwa pengembalian dari pinjaman tersebut plus keuntungan atas pinjaman, mampu dikembalikan. Alih-alih untuk memfokuskan pada kesejahteraan rakyat, pada akhirnya adalah konsep tersebut asal jalan pada periode kepemimpinannya, juga makin membuat rakyat terjepit karena mengembalikan pinjaman tersebut diambil dari pendapatan negara yang harusnya untuk dikembalikan kepada rakyat yaitu kekayaan negara hasil bumi dan Pajak.
Bahaya Utang Luar Negeri sebagai Instrument Penjajahan
Pertama, Abdurrahaman al-Maliki mengungkap lima bahaya besar yang jelas-jelas tampak di depan mata (Abdurrahman al-Maliki, op.cit., hal. 200-207, Bab Akhthar al-Qurudh al-Ajnabiyah) yakni; sesungguhnya utang luar negeri untuk pendanaan proyek-proyek milik negara adalah hal yang berbahaya terutama terhadap eksistensi negara itu sendiri. Akibat lebih jauh adalah membuat masyarakat negara tersebut makin menderita karena ini adalah jalan untuk menjajah suatu negara. Seperti kita mafhum bahwa Mesir dijajah Inggris melalui jalur utang, begitu pula Tunisia di cengkram Prancis melalui jalur yang sama yaitu utang. Begitu pula negara Barat membentangkan hegemoninya terhadap negara Utsmaniyah pada akhir masa kekuasaannya melalui jalur utang. Karena dengan utang yang menumpuk Daulah khilafah Utsmaniyah yang ditakuti oleh Eropa selama 5 abad, sejak sultan Muhammad al-Fatih menaklukan konstantinopel pada tahun 1453, akhirnya menjadi negara yang lemah, tak berdaya (sebutan daulah khilafah kala itu adalah the Sick man-manusia yang sakit). Dimana akibatnya dimanfaatkan oleh Gerakan Zionis International, Dr. Theodore Hertzel pada tahun 1897 menemui Sultan Abdul Hamid II untuk meminta izin agar dapat membangun tempat ziarah Yahudi di Palestina, Yerusalem dengan imbalan Gerakan Zionis International akan melunasi seluruh utang-utang Turki. (Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam)
Kalau kita lihat sejarah negara-negara Barat sebelum Perang Dunia I menempuh cara dengan memberikan uang sebagai utang dimana kemudian utang tersebut mereka melakukan intervensi dan kemudian mendudukinya.
Kedua, sebelum utang diberikan, negara-negara donor harus mengetahui kapasitas dan kapabilitas sebuah negara yang berutang dengan cara mengirimkan pakar-pakar ekonominya untuk memata-matai rahasia kekuatan/kelemahan ekonomi negara tersebut dengan dalih bantuan konsultan teknis atau konsultan ekonomi. Saat ini di Indonesia, sejumlah pakar dan tim pengawas dari IMF telah ditempatkan pada hampir semua lembaga pemerintah yang terkait dengan isi perjanjian Letter of Intent (LoI) (Roem Topatimasang, Hutang Itu Hutang, hal. 9). Ini jelas berbahaya, karena berarti rahasia kekuatan dan kelemahan ekonomi Indonesia akan menjadi terkuak dan sekaligus dapat dijadikan sebagai dasar penyusunan berbagai persyaratan (conditionalities) pemberian pinjaman yang sangat mencekik leher rakyat melarat —seperti pemotongan subsidi bahan pangan, pupuk, dan BBM— yang akhirnya hanya menguntungkan pihak negara-negara donor sementara Indonesia hanya dapat gigit jari saja menelan kepahitan ekonomi.
Ketiga, pemberian utang adalah sebuah proses agar negara peminjam tetap miskin, tergantung dan terjerat utang yang makin bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu. Pada akhir pemerintahan Presiden Soekarno tahun 1966, utang luar negeri Indonesia 2,437 miliar dolar AS. Itu hanya utang pemerintah. Jumlah ini meningkat 27 kali lipat pada akhir pemerintahan Presiden Soeharto Mei 1998, dengan nilai 67,329 miliar dolar. Pada akhir tahun 2003 utang itu menjadi 77,930 miliar dolar AS. Swasta baru mulai mengutang pada tahun 1981. Pada tahun 1998 jumlah utang swasta sudah mencapai 83,557 miliar dollar. Menjelang akhir tahun 2008 sudah mencapai US $ 2.335,8 Miliar.!!!
Keempat, utang luar negeri yang diberikan pada dasarnya merupakan senjata politik (as silah as siyasi) negara-negara kapitalis kafir Barat kepada negara-negara lain, yang kebanyakan negeri-negeri muslim, untuk memaksakan kebijakan politik, ekonomi, terhadap kaum muslimin. Tujuan mereka memberi utang bukanlah untuk membantu negara lain, melainkan untuk kemaslahatan, keuntungan, dan eksistensi mereka sendiri. Mereka menjadikan negara-negara pengutang sebagai alat sekaligus ajang untuk mencapai kepentingan mereka. Dokumen-dokumen resmi AS telah mengungkapkan bahwa tujuan bantuan luar negeri AS adalah untuk mengamankan kepentingan AS itu sendiri dan mengamankan kepentingan “Dunia Bebas” (negara-negara kapitalis). Pada akhir tahun 1962 dan awal tahun 1963 di AS muncul debat publik seputar bantuan luar negeri AS bidang ekonomi dan militer. Maka kemudian Kennedy membentuk sebuah komisi beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat, yang diketuai oleh Jenderal Lucas Clay, untuk mengkaji masalah ini. Pada minggu terakhir Maret 1963, komisi itu mengeluarkan dokumen hasil kajiannya. Di antara yang termaktub di sana, bahwa tujuan pemberian bantuan luar negeri dan standar untuk memberikan bantuan adalah “keamanan bangsa Amerika Serikat dan keamanan serta keselamatan ‘Dunia Bebas’.” Inilah standar umum untuk seluruh bantuan ekonomi ataupun militer.
Jadi, tujuan pemberian bantuan luar negeri tersebut sebenarnya bukan untuk membantu negara-negara yang terbelakang, melainkan untuk menjaga keamanan Amerika dan negara-negara kapitalis lainnya, atau dengan kata lain, tujuannya adalah menjadikan negara-negara penerima bantuan tunduk di bawah dominasi AS untuk kemudian dijadikan sapi perahan AS dan alat untuk membela kepentingan AS dan negara-negara Barat lainnya (Abdurrahman al-Maliki, op.cit., hal. 204-205).
Kelima, utang luar negeri sebenarnya sangat melemahkan dan membahayakan sektor keuangan (moneter) negara pengutang. Utang jangka pendek, berbahaya karena akan dapat memukul mata uang domestik dan akhirnya akan dapat memicu kekacauan ekonomi dan keresahan sosial. Sebab bila utang jangka pendek ini jatuh tempo, dengan pembayarannya menggunakan mata uang Dollar yang merupakan hard currency. Maka dari itu, negara penghutang akan kesulitan untuk melunasi utangnya dengan dolar AS karena mengharuskan penyediaan mata uang US tersebut, (untuk pembayaran utang Swasta, ini akan berdampak pada keterpaksaan pembelian dolar, dimana dolar akan dibeli dengan harga yang sangat tinggi terhadap mata uang lokal, sehingga akhirnya akan membawa kemerosotan nilai mata uang lokal). Untuk utang jangka panjang, juga berbahaya karena makin lama jumlahnya semakin mencengkram, yang akhirnya akan dapat melemahkan anggaran belanja negara dan membuatnya makin kesulitan dan terpuruk atas utang-utangnya. Di situlah negara-negara Donor makin memaksakan kehendak dan kebijakannya yang sangat merugikan kepada negara.[]