Fenomena Naker Asing Tak Bisa Bahasa Indonesia, Aspek: Pemerintah Harus Evaluasi Kebijakan

 Fenomena Naker Asing Tak Bisa Bahasa Indonesia, Aspek: Pemerintah Harus Evaluasi Kebijakan

Mediaumat.id – Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat memandang, perlunya evaluasi terkait kebijakan pemerintah yang telah menghapus persyaratan wajib berbahasa Indonesia bagi para tenaga kerja asing.

“Lagi-lagi, ini kebijakan kalau menurut saya dari pemerintah, dari rezim, ini harus dievaluasi,” paparnya kepada Mediaumat.id, Kamis (15/6/2023).

Hal ini ia sampaikan untuk menanggapi fenomena sejumlah pengusaha smelter nikel di Indonesia asal Cina yang ‘buta’ bahasa Indonesia.

Ketika itu, dalam rapat dengar pendapat (RDP) pada Kamis (8/6), Komisi VII DPR mengundang sekitar 20 pengusaha smelter nikel untuk mengupas tata kelola nikel di Indonesia.

Celakanya, sebagian besar dari segelintir yang hadir, tak bisa berbahasa Indonesia. Saat perkenalan, mereka berbicara dengan bahasa Inggris ‘ala kadarnya’, sisanya menggunakan bahasa Mandarin.

Kontan saja, wakil ketua komisi tersebut marah besar. Dia pun menegur keras para bos smelter itu. Menurut undang-undang, setiap persidangan di DPR-RI, harus menggunakan bahasa Indonesia.

Di sisi lain, lanjut Mirah mengungkapkan, ternyata tidak hanya para bos yang tak bisa berbahasa Indonesia, para pekerja kasar juga sama.

“Bukan hanya bos-bosnya yang tidak bisa berbahasa Indonesia, tetapi termasuk pekerja-pekerja kasar yang, mohon maaf, level operator, itu banyak yang tidak bisa berbahasa Indonesia,” tambahnya.

Dampaknya, kata perempuan yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Islam 45 (Unisma) Bekasi ini, berpotensi terjadi kesalahpahaman di antara sesama pekerja, misalnya.

“Yang sama-sama bisa berbahasa Indonesia saja sering salah paham, apalagi yang enggak bisa bahasa Indonesia,” ujarnya.

Sebutlah peristiwa bentrok fisik antar pekerja asing dan lokal yang diduga kuat berawal dari kesalahpahaman karena bahasa yang digunakan tak sama. “Saya menduga kuat,” tegasnya, menyinggung peristiwa tragis di Konawe, Sultra, pada bulan Maret 2017 lalu.

Ditambah kemunculan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, yang diberlakukan pada tanggal 29 Juni 2018 lalu.

Menurut perpres tersebut, setiap pemberi kerja TKA tidak berkewajiban menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai tenaga kerja pendamping bagi TKA yang menduduki jabatan direksi dan komisaris.

Makin ke sini, lanjut Mirah, pemerintah malah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada tanggal 30 Desember 2022, sebagai pengganti UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK.

“Semakin ke sini makin menjadi, di UU Cipta Kerja Omnibus Law ini, bagaimana kemudian tenaga tenaga kerja asing ini diberikan (kemudahan) seluas-luasnya,” paparnya.

Kembalikan

Untuk dipahami lebih jauh, tutur sosok srikandi bagi kaum buruh Indonesia ini, bahasa Indonesia adalah pintu masuk bagi pekerja asing untuk bisa mengetahui peraturan dan hukum yang berlaku di negeri ini.

“Ada semacam aturan-aturan, tata krama, nilai-nilai yang memang secara adat yang harus dipatuhi,” tandasnya.

Sehingga secara umum, ini harusnya dikembalikan sebagaimana ketentuan di dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur penggunaan TKA pada Bab VIII, Pasal 42 sampai dengan Pasal 49. “Harus dikembalikan lagi,” tegasnya,

Atau paling tidak, ke Pasal 26 Ayat (1) huruf d Permenakertrans 12/2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing dengan mewajibkan tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia memiliki kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.

Namun sayangnya, Permenakertrans Nomor 12 Tahun 2013 justru diganti menjadi Permenaker 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang tentunya, terdapat penghapusan syarat bahasa dimaksud.

“Otomatis maka pekerja asing yang bekerja di kita, di Indonesia, itu tidak lagi wajib menggunakan bahasa Indonesia,” pungkasnya, yang juga mengaku telah menyampaikan protes keras pasca diberlakukan peraturan tersebut.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *