UAS Dicekal, Tiga Hal yang Perlu Didudukkan dengan Tepat

 UAS Dicekal, Tiga Hal yang Perlu Didudukkan dengan Tepat

Mediaumat.id – Terkait dicekalnya Ustaz Abdul Somad (UAS) dari Singapura, Direktur Pamong Institute Wahyudi Al Maroky menilai ada tiga hal yang perlu didudukkan dengan tepat.

“Ada tiga hal yang perlu kita dudukkan dengan tepat. Membaca fakta secara obyektif, menyikapinya dengan tepat serta melakukan tindakan terukur,” tuturnya dalam acara Diskusi Spesial: Refleksi Deportasi Ustaz Abdul Somad, Jumat (20/5/2022) melalui kanal Youtube Majelis Gaul.

Pertama, dalam membaca fakta secara obyektif, lanjut Wahyudi, ada fakta seorang warga negara Republik Indonesia yang bernama UAS atau siapa pun warga negara yang mengalami kasus serupa, harus diposisikan sebagai warga negara.

Menurut Wahyudi, seorang warga negara ketika memasuki negara lain kemudian diperlakukan dengan semena-mena atau dizalimi sementara yang bersangkutan tidak melakukan pelanggaran atau tindakan kriminal, semestinya dalam konteks konstitusi ada kewajiban negara untuk melindunginya. Kemudian melakukan pembelaan atasnya, dan menjaga kehormatannya di mata negara lain karena posisinya sebagai warga negara.

“Jadi, kita tidak boleh menganggap bahwa itu perkara pribadi UAS. Tapi kita memandang bahwa itu adalah sebagai seorang warga negara dalam konteks bernegara. Maka semestinya diperlakukan sebagai seorang warga negara yang negara itu bermartabat,” tandasnya.

“Yang kedua, sikap kita. Sikap kita menurut konstitusi dia harus dibela, dilindungi, bahkan dilakukan pembelaan maksimal. Bahwa ada negara yang warga negaranya jelas melakukan kesalahan dan sudah mau dieksekusi tapi negaranya masih melakukan perlindungan dan pembelaan,” tambahnya.

“Bagaimana mungkin ini seorang warga negara Indonesia (UAS) yang dia tidak melakukan pelanggaran, tidak melakukan tindakan kriminal, tapi diperlakukan secara zalim dan negara tidak melakukan perlindungan dan pembelaan,” sesalnya.

Bahkan, menurut Wahyudi, tercatat ada beberapa pejabat yang justru melakukan pernyataan yang tidak mencerminkan seorang negarawan. “Sebagai seorang pejabat justru rame-rame menyalahkan UAS. Ini tidak wajar. Mungkin dia tidak memahami fungsi seorang pejabat,” duganya.

“Yang ketiga, tindakan yang harus diambil adalah wajib bagi negara untuk melindungi warganya sebagaimana kewajiban konstitusional,” terangnya.

Negara juga wajib melakukan pembelaan, menjaga kehormatan warganya. Negara harus aktif melakukan itu bukan pasif menunggu saja. “Saya lihat yang lebih aktif justru ormas maupun pribadi-pribadi lain. Negara tidak melakukan tindakan yang sebagaimana mestinya,” herannya.

“Negara harus melakukan tindakan aktif, minimal melakukan protes dan mengambil langkah-langkah diplomatik. Langkah-langkah ini bertahap. Misal melakukan pemanggilan dubesnya, meminta penjelasan, melakukan nota protes, klarifikasi dan bahkan kalau merasa warga negaranya dizalimi, diperlakukan semena-mena itu bisa dibalas. Kalau hal sepadan dilakukan akan terjadi balancing diplomasi,” tegasnya.

Wahyudi menyesalkan, hal itu tidak dilakukan oleh negara. Bahkan ia heran dengan munculnya para netizen atau warga negara Indonesia yang malah menyalahkan UAS, bukan menyalahkan negara yang melakukan tindakan kezaliman atau semena-mena. “Ini model warga negara cap apa, sehingga tidak muncul rasa yang mereka gembar-gemborkan yaitu nasionalisme dan persatuan,” kesalnya.

“Ini menurut saya, tindakan yang tidak proporsional. UAS sebagai warga negara dizalimi dua kali. Dizalimi oleh negara asing juga dizalimi oleh negaranya sendiri,” bebernya.

Terkait alasan penyebab UAS diperlakukan semena-mena baik di Singapura maupun di Indonesia yaitu penggunaan istilah kafir, pernyataan bom bunuh diri adalah syahid serta masalah jin, menurut Wahyudi ketiganya adalah terminologi agama.

“Tidak ada pelanggaran yang dibuat dengan pernyataan tersebut baik itu pelanggaran hukum di Singapura maupun pelanggaran hukum di Indonesia. Karena pernyataan kafir itu memang terminologi agama dan memang bagian dari ajaran Islam yang memang ada ajaran tentang definisi bahwa orang yang tidak memeluk Islam, atau selain beragama Islam itu disebutnya kafir. Kenapa ini jadi persoalan?” tanyanya.

Berikutnya, istilah bom bunuh diri. Di salah satu ceramah UAS menyatakan itu sebagai bom syahid. Dalam pandangan hak asasi memang dibenarkan. Sebagai sebuah negara yang dijajah (Palestina) oleh negara lain (Israel) maka dia (warga Palestina) melakukan pembelaan diri. Sehingga terjadinya perlawanan atau perjuangan untuk memerdekaan dirinya maka dia (bom bunuh diri) bisa saja tidak dikategorikan sebagai kejahatan tapi justru perjuangan.

“Semestinya rakyat Singapura memahami, pemerintah Singapura memahami dan juga pemerintah Indonesia harus memahami ini, sehingga tidak justru menyalahkan warganya sendiri,” himbaunya.

Yang perlu difahami juga, kata Wahyudi, bahwa tidak ada satupun keputusan hukum yang menjadi landasan bahwa UAS itu tergolong melakukan tindakan radikal, melakukan tindakan kriminal maupun tindakan terorisme.

“Oleh karena itu tudingan negara Singapura itu merupakan fitnah karena tidak ada dasarnya sama sekali. Boleh dicek, tak ada satu putusan hukum pun yang menyatakan bahwa UAS itu radikal atau teroris,” paparnya.

Poin terakhir, kata Wahyudi, yang menjadi catatan penting bahwa pemerintah harus diberi nasihat, diberi kritik, diberi dorongan untuk lebih berani melakukan pembelaan terhadap warganya. “Jangan justru membela negara lain dan menyalahkan warga negaranya sendiri,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *