Jumlah Pesawat Berkurang, eLSEI: Ada Salah Kelola

 Jumlah Pesawat Berkurang, eLSEI: Ada Salah Kelola

Mediaumat.id – Direktur Lembaga Studi Ekonomi Indonesia (eLSEI) Arif Firmansyah menilai berkurangnya jumlah pesawat terbang untuk transportasi udara disebabkan karena ada salah kelola secara ekonomi.

“Kalau ditelusuri, ini enggak cuma pandemi saja penyebab utamanya. Kalau menganalisis secara ekonomi keuangannya, ini ada salah kelola,” ungkapnya dalam program Kabar Petang: Pesawat Sedikit, Penerbangan Makin Sulit? di kanal YouTube Khilafah News, Rabu, (25/5/2022).

Ia heran, saat mobilitas masyarakat meningkat, malah jumlah pesawatnya berkurang jauh. Menurutnya, di sinilah ada salah kelola. “Selama ini lebih banyak pengelolaan itu berbasis pada utang. Ini yang memprihatinkan,” ujarnya.

Bung Arif, sapaan akrabnya, mengungkap bahwa pesawat Garuda Indonesia bisa dibilang untuk segmen pasar menengah ke atas. Dengan demikian tentu tiketnya lebih mahal dibandingkan maskapai yang lainnya. “Lebih mahal dan juga bisa dikatakan termasuk yang memonopoli penerbangan,” ungkapnya.

“Kok bisa dikelola dengan besaran utang yang begitu tingginya?” tanyanya.

Ia menyampaikan bahwa total utang yang ditanggung saat ini oleh PT Garuda Indonesia PPK itu sekitar 9,8 miliar. “Kalau tadi ditelusuri itu maka utangnya sudah mencapai sekitar 100 triliun lebih. Beberapa yang saya kutip dalam PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) yang dimiliki oleh Garuda Indonesia maka itu angka yang didapati dari utang Garuda itu 198 triliun,” bebernya.

“Ini nanti ditagih dari sekitar 800 kreditur. Coba, 800 kreditur kita bisa membayangkan perusahaan yang semegah Garuda Indonesia ternyata dibangun dari utang yang begitu besar,” lanjutnya.

Ia menjelaskan bahwa dari jumlah sekitar 800 kreditur itu ada pihak yang memberikan pinjaman kepada Garuda atau memberikan pinjaman dalam bentuk duit, dalam bentuk barang dan sebagainya. “Itu sekitar 800 kreditur, nah dari pengelolaan seperti ini saja, kalau secara profesional maka itu sudah tampak kesalahan besar,” jelasnya.

“Nanti ini ini dari sisi ekonomi keuangan dulu, nanti kita bisa bicara juga untuk ekonomi politiknya seperti apa,” tuturnya.

Kritik

Arif mencermati kritik yang bisa didapati dari para ekonom terhadap pengelola Garuda ada beberapa hal.

Pertama, pengelola Garuda cenderung membeli pesawat dulu sebelum menentukan rute. “Membeli pesawat sebelum menentukan rute ini yang menjadikan mereka itu kolaps. Bahkan bisa dikatakan bangkrut secara de facto. Secara de yure, belum.  Ini kalau beli pesawat dulu sebelum bikin rute nah ini, ada apa? Rute belum dibikin kok sudah beli pesawat. Jangan-jangan beli pesawat ini hanya untuk mengejar kepentingan-kepentingan tertentu, pihak-pihak tertentu yang memang mencoba untuk mengambil kepentingan sesaat di Garuda ini kalau kita lihat dari tinjauan ekonomi politiknya,” jelasnya.

Menurutnya ini hal yang konyol. “Kok bisa-bisanya, rute belum dibikin, tapi pesawat sudah dibeli dulu. Meski kalau dibilang Garuda atas nama pemerintahan Indonesia bisa melakukan atau membuat suatu aturan nanti bikin rute rute A, rute B, rute C, rute D. Tapi kalau dari sisi bisnis, maka ini kurang cerdas,” tegasnya.

Ia juga melihat dari sisi riset pasarnya, atau dalam bahasa marketing, risetnya, maka mereka salah total. “Melakukan riset pemasarannya itu, rute belum dibikin kok sudah beli pesawat dulu. Sama kaya’ belum jelas konsumennya siapa, tapi sudah bikin perusahaan. sama kayak orang yang mau berbisnis lantas dia itu belum jelas siapa konsumennya, sudah diberikan perusahaannya. Ini bikin perusahaan untuk bisnis atau perusahaan untuk hobi? Jangan-jangan Garuda pun juga demikian. Atau maskapai yang lainnya juga demikian, yang menyebabkan mereka cenderung hampir bangkrut,” ulasnya.

Kedua, membeli pesawat dengan jenis macam-macam juga menjadi penyebab salah kelola. Itu akan berdampak pada biaya perawatan yang membengkak. “Ibaratnya punya perusahaan angkutan atau armada transportasi darat, misalnya bus. Tapi busnya itu macam-macam. Ada armada jenis Mercedes Benz, atau mungkin jenis Hino, tentu kalau beda mesin pasti beda juga biaya perawatannya. Ini juga akan membengkak, sehingga dari sisi keuangan jelas ini sangat inefisien,” bebernya.

Ketiga, ada korupsi di dalamnya. Keempat, asetnya ternyata jauh lebih sedikit daripada utangnya. “Kok bisa jebol? Padahal jumlah asetnya enggak sebanyak utangnya, kok bisa dikasih utang?” tanyanya.

Arif melihat ternyata ini dari banyak lessor atau banyak pihak yang mengajukan, yang terlibat dalam pengelolaan maskapai di Indonesia.

“Ini menguatkan opini publik, jangan-jangan pengelolaan maskapai penerbangan di Indonesia ini hanya sebagai sapi perah bagi beberapa kelompok tertentu,” tandasnya.[] Raras

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *