Tak Tepat Baiat Kepada Organisasi, Pakar Fikih Beberkan Definisinya Secara Syariah

 Tak Tepat Baiat Kepada Organisasi, Pakar Fikih Beberkan Definisinya Secara Syariah

Mediaumat.id – Penggunaan istilah baiat untuk proses masuknya seseorang ke sebuah organisasi dinilai Pakar Fikih Kontemporer sekaligus Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi sebagai penyalahgunaan istilah secara syariah.

“Merupakan penyalahgunaan istilah syariah yang tidak pada tempatnya,” ujarnya dalam Kajian Soal Jawab Fikih: Baiat Untuk Organisasi, Adakah? di salah satu kanal YouTube, Kamis (8/6/2023).

Pasalnya, baiat dalam pengertian syariah hanyalah untuk imam atau khalifah, yaitu pemimpin tertinggi (al-ra`īs al-a’lā) negara khilafah, bukan untuk pemimpin sebuah organisasi atau kelompok tertentu.

Kecuali, lanjut Kiai Shiddiq, baiat yang dimaksudkan bukan dalam pengertian syariah (makna syar’i), melainkan bahasa/makna etimologi (al-ma’na al-lughawi), yaitu janji (wa’ad) atau sumpah (qasam) seseorang untuk menaati pemimpin suatu organisasi atau kelompok tertentu.

Pun dalam arti etimologi ini, kata Kiai Shiddiq menambahkan, biasanya berupa janji (al-wa’ad) atau sumpah (al-qasam/al-yamīn/al-ḥalfu) dari seseorang kepada pimpinan (atau wakilnya) dari sebuah organisasi atau jemaah islami.

Sehingga, hukum berjanji atau bersumpah semacam ini diperbolehkan (mubah) secara syariah.

Tetapi sambungnya, yang menjadi objek janji maupun qasam, bukan suatu aktivitas yang bersifat maksiat atau dosa.

Untuk dipahami pula, istilah baiat secara syariah telah ditegaskan di dalam hadits-hadits Nabi SAW, yaitu suatu perjanjian atau akad antara umat dengan khalifah, pemimpin umat secara keseluruhan, dalam hal ini di bawah naungan kepemimpinan Islam secara keseluruhan.

Setelah diartikan, bunyi salah satu hadits dimaksud di antaranya, ‘Barang siapa yang mati padahal di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka matinya adalah mati secara jahiliah’ (HR Muslim, no. 1851).

Dua Kekeliruan

Meski demikian, Kiai Shiddiq mengingatkan perihal kekeliruan yang sering terjadi dalam memaknai hadits ini. “Ada dua kekeliruan,” sebutnya.

Pertama, istilah baiat di dalam hadits ini dianggap berbaiat kepada pemimpin sebuah kelompok. Padahal bukan seperti itu, tetapi baiat kepada khalifah kaum Muslim.

Seperti halnya definisi baiat dalam kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun (2/549), Kiai Shiddiq menyampaikan, “Baiat adalah perjanjian antara umat dan penguasa untuk menerapkan hukum berdasarkan syariah Islam dan untuk menaati penguasa itu.”

Juga dijelaskan oleh Syekh Rawwas Qal’ah Jie dalam kitabnya Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hlm. 95 dengan redaksi yang hampir sama sebagai berikut:

“Baiat adalah akad antara umat dan penguasa yang menimbulkan konsekuensi bagi masing-masing pihak berupa kewajiban-kewajiban dan hak-hak.’

Sedangkan kekeliruan yang kedua, adalah tentang mati jahiliah. “Mati di sini bukan mati kafir, tetapi mati dengan membawa dosa,” lugasnya.

Sebaiknya…

Lantaran itu, sebagaimana kabar sebelumya mengenai seorang ustadz muda yang berbaiat kepada ormas tertentu pada awal Mei lalu, penggunaan istilah baiat sebaiknya diganti kata qasam (sumpah) dalam konteks organisasi.

“Sebaiknya untuk konteks organisasi gunakanlah istilah qasam (sumpah), bukan baiat,” imbaunya, dengan alasan agar tak mengacaukan pemahaman umat dan untuk menunjukkan adanya perbedaan antara baiat kepada seorang imam (khalifah) dengan perjanjian antara seseorang dengan sebuah organisasi atau kelompok.

Namun apabila ternyata isi sumpahnya tidak sesuai syariah, hukumnya menjadi tidak boleh. “Misalnya bersumpah kepada organisasi walaupun mengaku ormas Islam, tapi ternyata memperjuangkan atau mempertahankan sistem sekuler dari Barat,” tuturnya.

Maksudnya, sumpah tersebut menjadi batal dan wajib melaksanakan kafarat sumpah sebagaimana dengan sangat jelas termaktub di dalam Al-Qur’an surah al-Maidah ayat 89.

Dengan demikian, kembali Kiai Shiddiq menekankan, istilah baiat dari pengertian syariah tak boleh disalahgunakan untuk baiat kepada seorang pemimpin dari sebuah kelompok (jemaah) atau ketua sebuah organisasi keislaman.

Terlebih kepada kepala negara semisal presiden atau bahkan raja sekalipun, yang nyata-nyata menerapkan sistem pemerintahan di luar sistem pemerintahan Islam dalam hal ini khilafah.

Lebih jauh, menurutnya, pembaiatan semacam ini tak memberikan pencerahan atau edukasi kepada umat Islam. Tetapi justru membodohi dan menyesatkan kaum Muslim.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *