Tak Ada Perubahan, Cuma Ganti Orang
Perubahan yang selalu dibicarakan adalah perubahan orang, siapa presidennya, siapa wakil rakyatnya. Padahal justru yang paling penting adalah sistem apa digunakan.
Jika demokrasi memiliki prinsip one man one vote,ada fenomena baru dalam demokrasi Indonesia yaknione amplop one vote. Itulah yang dikemukakan oleh Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI Yahya Abdurrahman ketika membuka Halqah Islam dan Peradaban di Jakarta, Sabtu (26/4).
Ruan berkapasitas 150 tempat duduk tak mampu menampung peserta. Sebagian harus rela berdiri mengikuti HIP ke-50 bertajuk Prospek Masa Depan Umat Islam Pasca Pemilu 2014.
Menurut Yahya, melihat hasil pemilu legislatif, pemilu tahun 2014 tidak banyak menujukkan perubahan yang berarti. Yang terjadi hanya perubahan orang dengan muka baru sebesar 50 persen. Tapi, dari muka-muka baru itu banyak muka-muka nekat. “Kenapa dikatakan muka nekat, karena sangat jor-joran untuk menang dalam pemilu,” katanya.
Fenomena serangan fajar terbukti nyata. Kalau seperti ini, ujar Yahya, modal DPR makin besar dan membuat elite politik menjadi buruk dan terbelenggu oleh uang. Hasil pemilu legislatif menujukkan bagaimana kekuatan uang menuntukan, bukan kekuatan ide, gagasan dan ideologi.
“Apakah pemilu dengan hasil seperti ini akan membawa perubahan untuk kehidupan masyarakat?” ungkap Yahya.
Pimpinan Redaksi Tabloid Media Umat, Farid Wadjid dalam kesempatan yang sama mengatakan sistem demokrasi diformat bukan untuk melakukan perubahan tapi hanya untuk mengganti rezim, orang atau hanya mengubah sedikit kebijakan bukan untuk perubahan mendasar.
Menurutnya, hampir semua yang terpilih dari kekuatan modal dan popularitas, ditambah tidak adanya suara partai yang dominan yang mengharuskan mereka berkoalisi. Koalisi pun tak jarang halanyalah politik dagang sapi.
“Bagaimana kita bisa berharap orang-orang terpilih ini akan membawa perubahan yang signifikan. Bahkan bisa jadi legislatif tahun ini bisa lebih parah dari periode lalu,” tuturnya.
Farid menambahkan, anggota DPR tidak akan memiliki kinerja baik untuk rakyat selama sistemnya demokrasi, karena kebijakan keluar akan dipengaruhi oleh pemilik modal, dan keinginan pemilik modal selalu bersebrangan oleh masyarakat. “Tidak ada kinerja baik kalau sistemnya demokrasi,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti menjelaskan problem utama dalam politik politik Islam adalah apa cita-cita kongkrit dari politik Islam sulit diidentifikasi. “Di mana cita-cita partai politik Islam sulit untuk dijelaskan seperti PKS, PKB dan PPP,” jelasnya.
Sedangkan, Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib mengatakan ketika membahas perubahan selalu dibicarakan adalah perubahan orang, siapa presidennya, siapa wakil rakyatnya. Padahal justru yang paling penting adalah sistem apa digunakan orang tersebut jika berkuasa. Perubahan itu terbentuk dari sistem dan penerapan hukum yang orang gunakan.
“Jika sistemnya sejak awal bermasalah maka seluruhnya akan bermasalah,” tuturnya
Perubahan terjadi jika kaum itu menginginkan perubahan, jika tidak maka perubahan itu pun tidak akan terjadi, maka umat harus punya kesadaran untuk melakukan perubahan. Itu yang dilakukan Hizbut Tahrir mengajak melakukan perubahan paling mendasar yakni perubahan sistem dengan Islam.
“Kita harus mengarahkan umat pada perubahan Islam, jika tidak maka perubahan yang terjadi semakin buruk dan lebih buruk,” paparnya.
Walau tidak bisa menghadiri forum HIP, pengamat politik dari UI Boni Hargens menyatakan partai Islam harus bersatu. Kenapa? Sebab politik ini krisis moral. “Saya setuju perlu ada orang-orang bermoral dan saya yang pertama kali mengusulkan Pan-Islamisme,” ujarnya dalam sambungan telpon.
Lalu, Boni menambahkan jika partai Islam bersatu, partai sekuler akan diuji apakah benar-benar mereka ideologis dan nasionalis seperti mereka kampanyekan. “Kita harus uji benarkah partai-partai sekuler itu demokratis dengan membiarkan partai Islam berkuasa kalau mereka menang pemilu,” lanjutnya.
“Jangan-jangan justru mereka yang sekuler tidak siap berdemokrasi,” pungkasnya.[] fatih mujahid