Rokhmat S Labib, Ketua HTI: Penguasa Negeri Islam Wajib Hentikan Kejahatan Cina

 Rokhmat S Labib, Ketua HTI: Penguasa Negeri Islam Wajib Hentikan Kejahatan Cina

Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara. Tetapi anehnya, ketika Muslim Uighur digenosida oleh Cina, para penguasa Muslim malah diam saja. Malah tak sedikit yang lebih percaya pada alibi Cina. Mengapa? Di seputar itulah wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo mewawancarai Ketua Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Rokhmat S Labib. Berikut petikannya.  

Tanggapan Anda dengan genosida Muslim Uighur oleh negara komunis Cina bagaimana?

Ini jelas merupakan kejahatan besar. Kaum Muslim wajib menentangnya. Khusus penguasa negeri-negeri Islam, mereka wajib melakukan tindakan nyata, yakni menghentikan kejahatan itu. Sekadar mengecam dan mengutuk tidak cukup. Apalagi membisu dan membiarkan kejahatan itu terus terjadi.

Namun kata Dubes Cina untuk Indonesia, semua masyarakat Cina dari berbagai suku, termasuk Uighur, memiliki kebebasan dalam beragama. Tanggapan Anda?

 Itu kan berita dari satu pihak. Tepatnya, dari pihak pelaku kejahatan. Oleh karena itu, informasi dari mereka tidak boleh langsung dipercaya dan ditelan mentah-mentah. Apalagi menafikan berita sangat banyak dari berbagai pihak dan media yang memberitakan kejahatan mereka. Diskriminasi dan kekerasan itu diberitakan oleh banyak media kredibel. Juga lembaga-lembaga internasional.

 

Sebagai pelaku kajahatan, tentu Cina akan berusaha menutupinya. Ketika faktanya tidak bisa mereka sembunyikan, maka mereka membuat alasan dan alibi untuk membenarkan tindakan mereka.

 

Contohnya?

 

Sebagai contoh tentang adanya kamp konsentrasi bagi kaum Muslim Uighur. Jumlahnya luar biasa, lebih dari satu juta Muslim Uighur yang dimasukkan ke dalam kamp tersebut. Awalnya pemerintah Cina menolak berita tersebut. Setelah banyak media memberitakan berikut berbagai buktinya, akhirnya pemerintah Cina mengakui keberadaanya. Namun mereka mencoba mengelak dengan mengatakan bahwa kamp itu untuk tujuan re-edukasi atau pendidikan ulang bagi Muslim Uighur.

 

Istilah ini jelas merupakan pengelabuan. Faktanya adalah mencuci otak Muslim Uighur agar meninggalkan agama mereka sekaligus indoktrinisasi ideologi komunis. Banyak saksi yang mengatakan bahwa mereka dipaksa memakan daging babi, meminum khamar, dilarang menjalankan ibadah.

 

Dubes Cina mengatakan, persoalan di Xinjiang adalah persoalan separatisme. Tanggapan Anda?

 

Melihat persoalan Uighur itu jangan hanya apa yang terjadi saat ini. Tengoklah kejadian-kejadian sebelumnya yang menjadi rentetannya. Dalam sejarahnya, Uighur bukanlah bagian wilayah Cina. Wilayah itu bernama Turkistan Timur. Bisa dikatatan, itu adalah wilayah Islam paling timur.

 

Lalu datanglah tentara Cina melakukan invansi ke wilayah tersebut pada tahun 1949. Lebih dari satu juta orang dari kaum Muslim Uighur telah gugur dalam menghadapi Cina ketika itu.

Setelah berhasil memenangi pertempuran, wilayah tersebut diklaim sebagai wilayah Cina. Lalu dijadikan sebagai salah satu provinsi baru, Xinjiang. Nama tersebut berarti daerah kekuasaan baru. Dari segi namanya saja jelas, bahwa wilayah itu bukan bagian dari Cina.

 

Lalu Muslim Uighur berontak?

 

Iya, karena negeri itu diperlakukan sebagai layaknya wilayah jajahan. Diskriminasi diberlakukan kepada penduduk aslinya, Muslim Uighur. Mereka banyak dipindahkan ke daerah lainnya, pada saat yang sama didatangkan etnis Han Cina secara besar-besaran. Muslim Uighur yang awalnya 96 persen di sana, kini tinggal 40 persen. Penjajahan, perampasan wilayah, tindak kekerasan, dan aturan diskriminatif pemerintah Cina tak urung menimbulkan perlawanan dari Muslim Uighur. Pertanyaannya: Apakah mereka salah? Apa bedanya dengan bangsa Indonesia dulu ketika tanah dan negeri mereka dijajah oleh Belanda?

 

Dalam perspektif Cina, perlawanan tersebut disebut sebagai separatisme. Sebaliknya, bagi Muslim Uighur itu adalah perjuangan menuntut kembali hak-hak mereka, termasuk hak untuk merdeka dari penjajahan Cina. Sekarang tergantung kita, mau ikut perspektif Cina sebagai negara penjajah, atau Muslim Uighur yang dijajah dan dirampas hak-haknya?

 

Kaum Muslimin dari berbagai penjuru dunia termasuk Indonesia memberikan pembelaan terhadap Muslim Uighur dan mengecam Cina. Mengapa bisa begitu?

 

Islam menetapkan bahwa sesama Muslim itu saudara. Bahkan al-Imam Fakhruddin al-Razi ketika menjelaskan firman Allah Swt: Innamâ al-mu`minûn ikhwah (Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara), mengatakan, “Umat Islam itu adalah ummah wahidah, umat yang satu. Nabi mengumpamakan mereka sebagai satu jasad. Ketika ada bagian tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan turut merasakannya dengan berjaga atau tidak tidur dan demam.”

 

Perasaan inilah yang masih ada pada diri umat. Maka ada berita santer tentang penindasan terhadap saudara mereka, Muslim Uighur, oleh Cina, mereka segera bereaksi. Demonstrasi dilakukan di berbagai kota menunjukkan solidaritas dan pembelaan mereka kepada saudara mereka.

 

Tapi mengapa hal yang sama tidak tampak dari para penguasa negeri Islam terutama Indonesia?

 

Itulah yang amat kita sayangkan. Para penguasa yang sebenarnya memiliki kemampuan lebih untuk menolong saudaranya justru tidak berbuat. Penyebab utamanya, kebanyakan para penguasa itu adalah antek negara-negara kafir penjajah. Sehingga sikap mereka menunggu dan bergantung dengan majikan mereka.

 

Aspek ekonomi juga menjadi penyebab lainnya. Sebagaimana kita tahu, banyak negeri Muslim yang memiliki utang kepada Cina. Juga, investasi, perdagangan, dan berbagai kerja sama ekonomi lainnya. Mereka khawatir, jika mereka bersikap keras terhadap Cina akan mengganggu itu semua.

 

Sungguh sangat disayangkan, harta dunia itu yang menyebabkan mereka abai terhadap sesuatu yang diwajiban Allah SWT.

 

Apa yang membuat para penguasa negeri Islam seakan tidak satu tubuh dengan Muslim Uighur bahkan dengan Muslim rakyatnya sendiri?

 

Sekat nasionalisme. Sejak tumbangnya Khilafah Utsmani, dunia Islam terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara. Mereka sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Urusan wilayah dan negara lain dianggap bukan urusannya. Lebih lagi, negara-negara kecil tidak bersatu, bahkan tak jarang terlibat konflik satu sama lain.

 

Dalam pandangan Islam, apa yang seharusnya dilakukan para penguasa negeri Islam terkait masalah Uighur ini?

 

Kalau mau, banyak yang bisa dilakukan. Mulai dari tekanan politik, embargo ekonomi, pemutusan hubungan diplomatik, dan lain-lain. Jika dilakukan secara serempak oleh negeri-negeri Islam, Cina pasti akan takut. Sebab itu akan mengganggu stabilitas ekonomi mereka. Bahkan bisa ambruk. Mau dijual ke mana produk-produk mereka yang melimpah itu? Selama ini, pasar utamanya adalah negeri-negeri Muslim.

 

Jika semua upaya itu tidak berhasil, harus dengan pendekatan lebih tegas. Itulah jihad. Begitu perintah Allah SWT kepada kaum Muslimin ketika mereka diperangi orang-orang kafir.

 

Bila penguasa negeri Islam tetap lembek di hadapan Cina, apa yang seharusnya dilakukan rakyat?

 

Tetap melakukan memberikan pertolongan. Tentu hasba al-istithâ’ah, sesuai dengan kemampuan. Pertama, dengan doa. Sebab, doa adalah silâh al-mu`min, senjata bagi orang Mukmin.

 

Kedua, terus mengabarkan berbagai penindasan dan kezaliman yang dialami oleh mereka. Harapannya, ini bisa menyadarkan kaum Msulimin sehingga menggerakkan mereka untuk melakukan pembelaan.

 

Ketiga, melakukan aksi protes di depan Kedubes Cina dan penguasa mereka. Seraya terus berjuang mewujudkan perintah Allah SWT, yakni tegaknya khilafah. Sebab, hanya dengan itu umat Islam bisa bersatu. Hanya dengan khilafah darah, harta dan agama kaum Muslimin terlindungi. Khilafah itu disebut oleh Rasulullah SAW sebagai junnah atau perisai. Tanpa perisai, maka umat Islam akan dengan mudah dipecundangi oleh musuh-musuhnya. Mau sampai kapan kita akan sepert ini?[]

Sumber:  Tabloid MediaUmat Edisi 234

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *