Review dalam Masalah Masuknya Bulan Ramadhan dan Syawal

 Review dalam Masalah Masuknya Bulan Ramadhan dan Syawal

Oleh: Dr. Muhammad Malkawi

 

Masalah penetapan bulan Ramadhan dan Hari Raya Id memiliki beberapa aspek fiqhiyah yang harus diperhatikan:

1- Keputusan penetapan bulan Ramadhan dan Syawal adalah keputusan penetapan dan bukan keputusan penafian.

2- Keputusan penetapan adalah keputusan qadhi syar’iy yang memiliki wewenang dalam memutuskan.

3- Qadhi tidak memutuskan dengan pengetahuannya melainkan dia memutuskan dengan pembuktian (al-bayyinah).

4- Penetapan bulan Ramadhan dan Idul Fithri merupakan masalah yang berkaitan dengan ibadah. Dan masalah ibadah adalah bersifat tawqifiyah dari Allah azza wa jalla.

5- Ibadah dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya tidak disertai ‘illat dan karenanya tidak dapat diqiyaskan terhadapnya dan tidak diqiyaskan kepada yang lain.

Perkara-perkara ini harus diperhatikan ketika membahas masalah syar’iy yang berkaitan dengan penetapan Ramadhan dan Id.

Dengan begitu, masalah tersebut dapat diringkas sebagai berikut:

1- Seiring dengan akhir hari tanggal 29 Sya’ban maka harus dilakukan monitoring munculnya hilal bulan Ramadhan berdasarkan hadis Rasulullah saw.:

«صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ يَوْماً»

“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya. Dan jika tertutup mendung bagi kalian maka genapkan menjadi 30 hari”.

Yakni: hitunglah Sya’ban 30 hari. Dan di dalam hadis yang lain:

«إنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ ولَا نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وهَكَذَا. يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وعِشْرِينَ، ومَرَّةً ثَلَاثِينَ»

“Sesungguhnya kita ummat yang ummi, kita tidak menulis dan tidak menghitung, bulan itu begini begini, yakni kadang 29 hari dan kadang 30 hari”.

Jadi yang asal, bulan itu 29 hari, tetapi bulan tidak berakhir semata sampainya hitungan harinya pada 29 hari karena sabda Rasul saw. di dalam hadis:

«لَا نَكْتُبُ ولَا نَحْسُبُ»

“Kita tidak menulis dan tidak menghitung”.

Tetapi

«صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ»

“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya”.

Yakni karena melihat hilal.

2- Ini berarti, bersegera merukyat hilal pada sore tanggal 29 Sya’ban dan sore 29 Ramadhan adalah fardhu sebab itu berkaitan dengan dengan kefardhuan puasa dan kefardhuan berakhirnya puasa dan Idul Fithri. Hanya saja, kefardhuan ini adalah fardhu kifayah bukan fardhu bagi setiap orang. Jadi selamanya tidak boleh umat tidak bersegera memonitor hilal Ramadhan pada hari 29 Sya’ban dan dikerahkan segenap usaha dalam hal itu. Baik perhitungan astronomis mengatakan bahwa hilal belum lahir sama sekali, atau masih sangat kecil, atau ada kabut atau mendung atau asap di langit ufuk barat. Jadi perkara munculnya karena melihat hilal tidak disertai ‘illat dan tidak disyaratkan serta tidak dikaitkan kecuali dengan sampainya bulan berjalan 29 hari.

3- Adapun berkaitan dengan apa yang dinyatakan di hadis berupa sabda Rasul saw.:

«لَا نَكْتُبُ ولَا نَحْسُبُ»

“Kita tidak menulis dan tidak menghitung”.

Makna ini bukanlah bahwa kita tidak mengetahui tulis menulis dan berhitung tetapi sebaliknya, “kita mengetahui bagaimana menulis dan menghitung tetapi kita memulai puasa semata karena kita menghitung hitungan hari Sya’ban dan telah sampai 29 lalu kita puasa”. Nas hadis tersebut menunjukkan bahwa harus menghitung hari-hari bulan hingga jika sampai 29 hari maka kita harus bersegera memonitor hilal bulan berikutnya, dan jika terlihat hilal kita memasuki bulan tersebut baik Ramadhan atau Syawal.

Tulis menulis dan berhitung tersebar luas di antara orang arab dan selain arab. Pengetahuan posisi bintang dan pergerakan benda-benda langit telah diketahui dan bukan monopoli satu umat tanpa umat lain. Tetapi, orang arab dan selain arab, mereka mengetahui posisi bintang dan pergerakan benda-benda langit serta posisi bulan sebagaimana ditunjukkan oleh ayat yang mulia:

﴿وَعَلَامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ﴾

“Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk” (TQS an-Nahl [16]: 16).

﴿وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ﴾

“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua” (TQS Yasin [36]: 39).

Sebagaimana hadis telah menjelaskan bahwa dalam kondisi ada penghalang yang menghalangi rukyat hilal maka kita genapkan hitungan:

«فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ يَوْماً»

“Dan jika tertutup mendung bagi kalian maka genapkan menjadi 30 hari”.

Dan al-‘iddah (hitungan) di sini adalah al-‘iddu (hitungan) yaitu al-hisâb (perhitungan). Yakni bahwa Rasulullah saw. memperbolehkan perhitungan dalam kondisi terhalang rukyat disebabkan adanya penghalang yang menghalangi rukyat, untuk menggenapkan hitungan 30 hari. Ini adalah tawqifî yakni bahwa kita berhenti pada ucapan ini.

4- Adapun ibadah tidak disertai ‘illat, maka kita memahami dari hal itu agar kita tidak mencari-cari ‘illat untuk tuntutan Rasulullah saw. kepada kita agar bersegera melakukan rukyat hilal seiring dengan datangnya akhir hari 29 Sya’ban atau 29 Ramadhan. Jadi perintah itu tidak disertai ‘illat. Dan ibadah pada asalnya tidak disertai ‘illat dan tidak dicari-cari ‘illat untuknya. Ibadah itu bersifat tawqifiyah dari Allah SWT, begitulah yang Dia kehendaki. Jadi tidak boleh dikatakan bahwa kita bersegera memonitor hilal hanya jika hilal telah keluar dari posisi tersembunyi pada waktu tenggelamnya matahari atau setelah kelahiran hilal itu sepuluh jam misalnya. Syarat ini bersifat akliy dan tidak boleh masuk dalam ibadah baik sebagai syarat secara mutlak atau sebagai syarat yang memberi pemahaman yaitu apa yang diistilahkan dengan ‘illat. Ibadah tidak disertai ‘illat dan tidak boleh dicari-cari ‘illat untuknya. Monitoring hilal Ramadhan atau hilal Syawal adalah ibadah karena hal itu berkaitan dengan ibadah puasa.

Adapun sabda Rasul saw.:

«فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ يَوْماً»

“Dan jika tertutup mendung bagi kalian maka hitunglah 30 hari”.

Yakni genapkan hitungan menjadi 30 hari dalam kondisi terhalang rukyat. Ini adalah realita kondisi dari syariat untuk merukyat dari kaum Muslim, dan tidak memungkinkan melihat hilal yang sudah ada di langit karena sebab yang menghalangi rukyat “tertutup mendung bagi kalian”. Mafhum nas dengan sabda beliau “ghumma ‘alaykum -tertutup mendung bagi kalian-“ yakni bahwa di situ sudah ada hilal tetapi tidak mungkin dilihat. Atau bahwa belum ada hilal di langit. Jadi yang dituntut dari kalian wahai kaum Muslim adalah kalian genapkan bulan sekarang menjadi 30 hari. Kondisi ini sangat jelas bahwa rukyat adalah yang menjadi patokan terlepas dari sesuatu yang lain. Seandainya salah seorang mereka mengatakan bahwa menurut perhitungan astronomis, hilal telah lahir sejak 20 jam misalnya, dan mungkin terlihat di ufuk Maroko atau Mauritania misalnya, tetapi di ufuk banyak debu, awan atau mendung, sehingga tidak mungkin terlihat dengan mata dan teleskop. Artinya, bahwa hilal itu tertutup mendung bagi orang yang berusaha melihatnya. Jadi tidak dikatakan di sini bahwa wajib bersandar kepada adanya hilal di ufuk sehingga harus memulai puasa atau berbuka. Hal itu karena hadis membatasi tindakan dalam semisal keadaan ini:

«فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ يَوْماً»

“Dan jika tertutup mendung bagi kalian maka hitunglah 30 hari”.

 

5- Hadis Rasul saw. yang berkaitan dengan rukyat hilal Ramadhan dan Syawal adalah tuntutan untuk menetapkan bukan tuntutan menafikan. Ini berarti bahwa topiknya di sini adalah penetapan masuknya bulan baru dan bukan penafian masuknya. Jadi masalahnya adalah masalah penetapan rukyat hilal Ramadhan dan bukan penafian berakhirnya bulan Sya’ban. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa qadhi meminta pembukti atas masuknya bulan untuk memulai puasa atau mengakhiri puasa dengan jalan menuntut pembuktian atas rukyat hilal. Dan pembuktian (bayyinah) penetapan peristiwa adalah berbeda dengan pembuktian penafiannya. Dari sini, maka harus dipahami bahwa masalah masuknya pada puasa adalah masalah penetapan rukyat hilal, bukan penafian adanya hilal di langit. Adapun pembuktian dari sisi dia sendiri, maka itu merupakan hukum syara’ sebagaimana hukum lainnya, harus ada dalil yang menunjukkan bahwa itu adalah bukti yang muktabar dalam masalah ini (silahkan merujuk pada buku Ahkâm al-Bayyinât oleh syaikh Ahmad ad-Da’ur). Misalnya, qadhi tidak benar meminta empat saksi untuk menetapkan kejadian pernikahan atau talak, atau meminta dua saksi atas kejadian zina, atau mensyaratkan dalam penetapan utang saksi-saksi tanpa tulisan, begitulah. Adapun pembuktian yang muktabar secara syar’iy untuk penetapan hilal Ramadhan atau Syawal adalah kesaksian dua orang saksi (atau seorang saksi menurut sebagian ulama). Qadhi tidak boleh bersandar kepada pembuktian yang lainnya. Sebagaimana yang kami katakan, ibadah itu bersifat tawqifiyah dan dalil-dalilnya bersifat tawqifiyah baik ibadah itu sendiri atau apa yang berkaitan dengan ibadah berupa sebab, rukhshah dan lainnya … Dari sini qadhi tidak boleh menilai perhitungan astronomis sebagai bukti atas penetapan adanya hilal. Adapun penggunaan perhitungan astronomis atas penafian adanya hilal maka kami katakan bahwa masalah bulan Ramadhan dan Syawal adalah masalah penetapan dan bukan masalah penafian.

6- Masalah penetapan rukyat hilal menurut qadhi berkaitan dengan dua perkara: Pertama, rukyat terjadi bersamaan dengan akhir hari ke-29 bulan itu dan qadhi tidak melihat rukyat atau klaim rukyat sebelum waktu itu, seperti seseorang pada hari ke-28 Sya’ban mengklaim bahwa dia melihat hilal. Qadhi tidak melihat masalah ini. Tidak dikatakan di sini, kadang ada kekeliruan di awal bulan Sya’ban. Tidak dikatakan demikian, sebab jika di situ ada kekeliruan seperti terlambat masuk bulan Sya’ban disebabkan mendung menutupi hilal awal bulan Sya’ban itu, perkara ini harus diputuskan sebelum akhir bulan Sya’ban dan berikutnya koreksi awal dan akhir bulan Sya’ban haruslah sudah terjadi. Berdasarkan hal itu, maka hari ke-29 Sya’ban yang terhadapnya telah tetap pandangan qadhi menjadi diketahui dan tidak boleh ditunda ke hari yang lain. Walhasil, qadhi tidak melihat rukyat sebelum akhir hari ke-29 Ramadhan.

7- Adapun perkara kedua, adalah masalah penetapan tercapainya rukyat. Masalah itu berkaitan dengan pembuktian dan itu adalah kesaksian dua orang saksi atau satu orang saki menurut sebagian ulama. Di sini datanglah tugas kaedah yang mengatakan bahwa qadhi tidak memutuskan menurut pengetahuannya, melainkan qadhi memutuskan berdasarkan bukti (pandangan ini dinisbatkan kepada imam Malik dan imam asy-Syafi’iy, dan merupakan pendapat yang masyhur untuk imam Ahmad dan pandangan ulama hanafiyah mutaakhir). Dengan makna bahwa qadhi berdasarkan asumsi bahwa dia mengetahui perhitungan astronomis dan pengetahuan astronominya atau pengetahuannya tentang keadaan cuaca mengantarkannya pada kesimpulan mustahil terlihat hilal pada hari ke-29 dari tempat tertentu, tetapi datang kepadanya orang yang bersaksi bahwa dia melihat hilal, lalu apa yang dia perbuat? Apakah dia bersandar kepada pengetahuannya dan menolak kesaksian saksi itu atau dia mengerahkan segenap dayanya dalam menilai pembuktian yang tegak terhadap kesaksian itu? Qadhi di sini dibatasi amalnya dengan pembuktian untuk menerima kesaksian itu atau menolaknya. Penerimaan kesaksian saksi atau penolakannya adalah bagian dari hukum pembuktian dan yang berkaitan dengan al-jarh wa at-ta’dîl dan dari sisi pembuktian dan manathnya. Seandainya saksi itu menjadi jelas bahwa di matanya ada kelemahan dan dia tidak dapat melihat fisik yang jauh misalnya, maka qadhi menolak kesaksiannya itu karena kesaksian itu berkaitan dengan penglihatan. Atau bahwa saksi itu menentukan tempat rukyat hilal di arah yang bukan arah yang disitu ada hilal seperti dia berkata bahwa dia melihat hilal di ufuk barat, atau saksi itu dalam keadaan kebingungan yang memicu kemarahan, (maka berlaku atasnya apa yang berlaku atas qadhi, janganlah qadhi memutuskan sementara dia marah) atau perkara apapun yang berkaitan dengan kelayakan saksi. Tetapi qadhi tidak boleh menolak kesaksian saksi itu berdasarkan pengetahuan astronomi qadhi itu bahwa hilal pada saat tenggelam matahari belum mendapat cahaya matahari yang cukup yang memungkinkannya dapat dilihat, atau bahwa cuaca berdebu sehingga tidak dapat terlihat atau ada keadaan gerhana bulan sehingga tida mungkin terlihat. Dalam keadaan semisal ini yang di situ pengetahuan qadhi berbeda dengan realita pembuktian yang diajukan dari saksi-saksi, maka qadhi bisa saja tidak memutuskan dalam masalah tersebut dan menyerahkannya kepada qadhi yang lain agar memutuskannya. Tetapi dia tidak boleh mengedepankan pengetahuannya terhadap pembuktian yang diajukan di hadapannya.

8- Ini adalah perkara-perkara terpenting berkaitan dengan penetapan rukyat hilal Ramadhan dan hilal Syawal. Di sini harus disinggung masalah persatuan kaum Muslim dalam puasa dan berbuka mereka. Kaum Muslim di berbagai penjuru dunia telah mencoba berbagai pandangan berbeda dalam masalah ini dan sebagian besar keadaan ini diarahkan ke persatuan kaum Muslim pada hari puasa dan berbuka mereka. Tetapi realitanya bahwa semuanya tidak bisa menghimpun kaum Muslim pada satu hari yang sama baik pandangan berkaitan dengan kesatuan atau perbedaan matla’, atau berkaitan dengan perhitungan astronomis untuk lahirnya hilal dan terjadinya konjungsi, atau berkaitan dengan rukyat oleh para saksi dan mengikatnya hal itu untuk orang lain. Sebab utama dalam hal itu adalah tidak adanya imam umum dan pemelihara umat dan khalifahnya, yang dengan pandangannya dapat memutus perbedaan, dan dia wajib ditaati, serta menyatukan kaum Muslim di atas satu pendapat. Ini berarti bahwa adanya imam umum untuk kaum Muslim dan pemelihara yang hakiki yaitu khalifah kaum Muslim adalah wajib dan fardhu yang mana banyak dari kefardhuan tidak dapat terrealisir kecuali dengan keberadaannya dan keputusannya. Dan pengumuman masuknya Ramadhan dan berakhirnya Ramadhan dengan masuknya Idul Fithri adalah salah satu dari kefardhuan ini. Benarlah orang yang mengatakan bahwa al-Khilafah adalah induk kefardhuan.

 

Sumber:
https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/sporadic-sections/articles/cultural/82013.html

 

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *