Pembubaran HTI, Pemecatan Dosen ITS dan Teror Pada Kebebasan Berpendapat

 Pembubaran HTI, Pemecatan Dosen ITS dan Teror Pada Kebebasan Berpendapat

Oleh: Ferry Koto

Saya terkejut membaca berita pernyataan Menristek Dikti M Nasir, yang telah memecat seorang Dekan dan tiga dosen di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS). Alasan Nasir melakukan itu, karena Dekan dan ketiga dosen tersebut diduga kuat, sekali lagi diduga, menebarkan radikalisme [1].

Sebelumnya, beberapa hari yang lalu, saya juga mendengar kabar, Rektor ITS Prof Joni Hermana, memanggil dosen-dosen ITS yang diduga telah memberikan dukungan pada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Rektor berpegangan pada bukti beredarnya meme yang menampilkan foto para dosen ITS tersebut dengan tulisan yang mengesankan mendukung HTI, pasca keputusan PTUN yang menolak gugatan HTI.

Salah satu dosen yang diduga tersebut adalah senior sekaligus guru saya dalam banyak hal, Prof Daniel M Rosjid. Orang yang sudah saya kenal sejak saya menjadi Mahasiswa di ITS tahun 90an, hingga kami terus menjalin pertemanan hingga saat ini.

Tadinya saya berfikiran perkara ini akan segera selesai, setelah Rektor ITS melakukan klarifikasi. Karena saya yakin, tuduhan bahwa Prof Daniel adalah anggota HTI ataupun mendukung HTI pasti akan mudah terbantahkan. Apalagi yang saya tahu, Prof Joni juga kenal sangat baik dengan Prof Daniel yang pernah bersama-sama saat pemilihan Rektor ITS pada 2015 lalu.

Fitnah yang jelas-jelas akan juga banyak dibantah oleh orang-orang yang mengenal baik Prof Daniel sebagai seorang aktivis Muhammadiyah dan aktivis pendidikan yang sudah terbukti kecintaannya kepada negeri ini dengan berbagai aktivitas dan karyanya.

—000—

Hari ini, saya terperanjat dengan munculnya berita bahwa Dekan ITS dipecat oleh M Nasir, orang yang kebetulan saat ini diberi amanah untuk memimpin Kemenristek Dikti. Pikiran saya langsung membayangkan Prof Daniel, karena beliau adalah Dekan dari Fakultas Teknologi Kelautan ITS.

Prof Daniel yang saya hubungi ternyata juga tidak tahu perihal pemecatan tersebut. Yang beliau tahu Rektor juga sedang mengklarifikasi kebenaran berita tersebut. Tapi beliau sampaikan bahwa beliau pasrah, siap apapun yang terjadi. Dan ternyata beliau juga sudah menyampaikan surat pengunduran diri dari jabatan Dekan sejak Ahad 15 Mei 2018 lalu.

Saya paham kenapa Prof Daniel akhirnya memilih mengundurkan diri dari jabatan Dekan. Karena, selain bukan type orang yang menggandoli jabatan, tentu beliau tidak ingin terjadi kontroversi dan ketidaknyamanan di lingkungan Fakultas yang beliau pimpin akibat adanya kasus ini.

Selain tentu bisa jadi beliau kecewa, karena sebagai salah satu tokoh yang ikut membangun Fakultas Teknologi Kelautan, khususnya Departemen Teknik Perkapal di ITS, dituduh dengan tuduhan keji sebagai orang yang menyebarkan paham radikalisme, di kampus yang sangat ia cintai.

—000—-

Tuduhan yang dialamatkan kepada Prof Daniel bermula dari tersebarnya meme yang berisikan pendapat beliau terkait pencabutan Badan Hukum Perkumpulan (BHP) HTI, pasca putusan PTUN yang menolak gugatan HTI pada 7 Mei lalu.

Sebagai sebuah pendapat, apalagi Prof Daniel adalah seorang intelektual yang juga guru besar, tentu sah-sah saja beliau berpendapat demikian. Dan saya termasuk yang bersetuju dengan pendapat beliau. Bahkan menurut saya langkah dan cara pemerintah membubarkan HTI adalah bentuk kesewenang-wenangan. Dimana HTI tidak diberi kesempatan membela diri dengan tidak adanya proses pengadilan, due process of law, untuk membuktikan kesalahannya, sehingga layak dibubarkan.

Walaupun pemerintah berdalih menjalankan Perppu 2/2017 tentang Ormas (yang kemudian disahkan menjadi UU 16/2017), justru Perppu itu sendiri bermasalah. Berbagai pihak menentang Perppu tersebut, karena melanggar prinsip-prinsip negara hukum yang dianut Indonesia.

Hilangnya due process of law, dengan dihapusnya pasal 63 hingga pasal 80, telah memberi kewenangan dengan secara berlebihan kepada pemerintah. Yang ujungnya tentu dapat mengancam kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul yang dijamin konstitusi.

—000—

Meme yang tersebar di media sosial pasca putusan PTUN yang menolak gugatan HTI pada 7 Mei 2018.

Apakah karena berpendapat bahwa pencabutan BPH HTI oleh pemerintah melanggar kebebasan berkumpul dan berpendapat, lantas Prof Daniel disimpulkan mendukung HTI?

Tentu itu sebuah kesimpulan yang semena-mena. Sama dengan semena-menanya jika ada yang menyimpulkan bahwa orang yang tidak setuju seorang nenek dihukum karena mengambil sepotong kayu di  hutan yang di kelola Perhutani, sebagai pendukung pencuri.

Juga semena-mena dalam mengambil kesimpulan, jika karena mendukung ekonomi Syariah, seperti bebas riba, lantas Prof Daniel dituduh mendukung HTI. Jika itu dilakukan maka semua dosen dan orang yang mendukung gerakan bebas riba, termasuk saya, bisa saja dituduh mendukung HTI.

Kesimpulan prematur inilah yang sedang dialamatkan ke Prof Daniel saat ini, hanya berdasarkan meme yang entah siapa yang membuat, dengan mengutip pendapat beliau pada masa lalu.

Dan lebih cilaka lagi, selain kesimpulan yang prematur (mendukung HTI), tiba-tiba berbagai pihak dengan sewenang-wenang mengatakan bahwa pendapat Prof Daniel itu adalah bagian dari menyebarkan paham radikalisme. Sebuah logical fallacy yang sangat berbahaya jika dipercaya.

Saya mengenal Prof Daniel dengan cukup baik dari berbagai interaksi. Nasionalisme-nya tidak diragukan. Kecintaannya pada Indonesia ini dapat dibaca diberbagai tulisannya dibanyak media, juga buku-buku yang beliau tulis. Termasuk berbagai karyanya dibidang keilmuan yang ditekuninya, Teknik Perkapalan.

Oleh karena itulah, jika benar berita yang menyatakan Menristek Dikti memecat Prof Daniel, maka UU Ormas yang baru ini betul-betul akan jadi teror bagi kebebasan berpendapat.

[1] Berita portal online Pikiran Rakyat http://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/2018/05/14/dekan-dan-3-dosen-dipecat-karena-sebarkan-paham-radikalisme-424363

Sumber: http://ferrykoto.com

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *