Membangun Ketahanan Pangan
Oleh: Prof. Dr. Fahmi Amhar
Ketahanan sebuah negara tidak hanya diukur dari kekuatan militernya, tetapi juga berbagai hal lainnya. Maka muncullah istilah “ketahanan pangan”, “ketahanan energi”, “ketahanan sarana kesehatan dan obat-obatan”, “ketahanan prasarana dan sarana perhubungan”, “ketahanan informasi dan komunikasi” dan “ketahanan terhadap bencana alam dan serangan”. Ukuran masing-masing ketahanan itu antara lain adalah jumlah orang yang akan terdampak bila ada gangguan ketahanan, dan panjang waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan.
Sebuah perang lambat atau cepat akan menggoyang ketahanan suatu negara. Namun untuk membuat sebuah negara tenggelam, tidak harus ada perang! Kalau semisal ketahanan pangan hancur, di negara itu pangan langka, muncul bencana kelaparan yang meluas dan berkepanjangan, maka negara itu bisa ditinggalkan penduduknya mengungsi, atau ada kematian massal, atau negara itu akhirnya terpaksa mengemis bantuan kepada negara lain dengan segenap konsekuensinya.
Di sisi lain, suatu negara dengan keunggulan militer adi daya, belum tentu akan memenangkan peperangan tatkala ketahanan pangan di sana sudah menipis. Bagi seorang prajurit yang kelaparan, sepucuk senjata canggih tidak ada gunanya. Bahkan bisa jadi senjata itu justru akan ditukar dengan sebungkus nasi.
Oleh sebab itu, sebuah negara yang bercita-cita menjaga ketertiban dunia, atau bahkan menyebarkan rahmat ke seluruh semesta dengan dakwah dan jihad, wajib memiliki seluruh aspek ketahanan.
Dalam Alquran dicontohkan bagaimana Nabi Yusuf membangun ketahanan pangan. Nabi Yusuf berhasil menterjemahkan mimpi raja Mesir tentang 7 sapi kurus dan 7 sapi gemuk, dengan tafsiran siklus ekonomi 7 tahunan negeri Mesir saat itu, yaitu akan terjadi 7 tahun masa panen yang subur dan disusul 7 tahun masa kering paceklik dan kemudian subur kembali. Oleh Nabi Yusuf, tidak semua produk pangan di masa subur akan dikonsumsi, tetapi ada yang disimpan untuk cadangan. Untuk itu perlu dikembangkan teknik pengawetan pangan, sistem sirkulasi, standar bangunan penyimpanan pangan, serta pegaturan gaya hidup dan konsumsi masyarakat, merupakan komponen yang harus diperhatikan sebagai upaya mewujudkan ketahanan pangan negara.
Setidaknya ada lima prinsip pokok tentang ketahanan pangan yang digagas dan diterapkan oleh Nabi Yusuf AS yang pernah dijalankan di masa yang panjang dari Kekhilafahan Islam, yang tetap relevan hingga masa-masa mendatang.
Pertama, optimalisasi produksi, yaitu mengoptimalkan seluruh potensi lahan untuk melakukan usaha pertanian berkelanjutan yang dapat menghasilkan bahan pangan pokok. Di sinilah peran berbagai aplikasi sains dan teknologi, mulai dari mencari lahan yang optimal untuk benih tanaman tertentu, teknik irigasi, pemupukan, penanganan hama hingga pemanenan dan pengolahan pasca panen.
Kedua, adaptasi gaya hidup, agar masyarakat tidak berlebih-lebihan dalam konsumsi pangan. Konsumsi berlebihan justru berpotensi merusak kesehatan (wabah obesitas) dan juga meningkatan persoalan limbah. Nabi juga mengajarkan agar seorang mukmin baru “makan tatkala lapar, dan berhenti sebelum kekenyangan”.
Ketiga, manajemen logistik, dimana masalah pangan beserta yang menyertainya (irigasi, pupuk, anti hama) sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah yaitu dengan memperbanyak cadangan saat produksi berlimpah dan mendistribusikannya secara selektif pada saat ketersediaan mulai berkurang. Di sini teknologi pasca panen menjadi penting.
Keempat, prediksi iklim, yaitu analisis kemungkinan terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrim dengan mempelajari fenomena alam seperti curah hujan, kelembaban udara, penguapan air permukaan serta intesitas sinar matahari yang diterima bumi.
Kelima, mitigasi bencana kerawanan pangan, yaitu antisipasi terhadap kemungkinan kondisi rawan pangan yang disebabkan oleh perubahan drastis kondisi alam dan lingkungan. Mitigasi ini berikut tuntunan saling berbagi di masyarakat dalam kondisi sulit seperti itu.
Sebagian ilmuwan pertanian dalam sejarah Islam menuliskan semua prinsip ketahanan pangan itu nyaris dalam satu buku. Di dalamnya, dibahas soal jenis lahan pertanian dan pilihan tanah, pupuk kandang dan pupuk lain, alat pertanian dan karya budidaya, sumur, mata air, saluran irigasi, tanaman, pembibitan, penanaman, pemangkasan, dan pencangkokan buah. Mereka juga membahas soal budidaya serealia, kacang-kacangan, sayuran, bunga, umbi-umbian, dan tanaman untuk parfum. Pun, tentang tumbuhan dan hewan beracun serta pengawetan buah. Bahkan tentang fiqih pertanahan dan ahlaq petani.
Khilafah juga mengembangkan iklim yang kondusif bagi penelitian dan pengembangan di bidang pertanian. Banyak laboratorium perpustakaan dan lahan-lahan percobaan dibangun. Para ilmuwan diberi berbagai dukungan yang diperlukan, termasuk dana penelitian, selain penghargaan atas karya mereka. Lalu lahirlah banyak sekali ilmuwan pelopor di bidang pertanian. Misalnya, Abu Zakaria Yahya bin Muhammad Ibn Al-Awwan, tinggal di Sevilla. Ia menulis buku Kitab al-Filahah yang menjelaskan rincian tentang hampir 600 jenis tanaman dan budidaya 50 jenis buah-buahan, hama dan penyakit serta penanggulanganya, teknik mengolah tanah: sifat-sifat tanah, karakteristik dan tanaman yang cocok; juga tentang kompos.
Ada juga Abu al-Khair, seorang ahli pertanian abad-12. Ia menulis dan menjelaskan empat cara untuk memanen air hujan dan membuat perairan buatan. Khair menegaskan perlunya penggunaan air hujan untuk membantu proses reproduksi pohon zaitun dengan cara stek. Ia juga menguraikan teknik pembuatan gula dari Tebu.
Ahmad al-Muwairi dalam bukunya Nihayah al-Arab fi Funun al-Adab menjelaskan, pada masa itu juga telah berkembang industri gula yang didukung oleh perkebunan tebu di Faris dan al-Ahwaz, yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah Laut Tengah. Ia juga menginformasikan penggunaan bajak berat (maharit kibaar) yang digunakan sebelum penanaman tebu.
Ada pula ahli pertanian dari Damaskus, Riyad ad-Din al-Ghazni al-Amiri (935/1529). Dia menulis sebuah buku tentang pertanian yang terperinci.
Ibnu Bassal (1038-1075), seorang ilmuwan di Andalusia, memelopori penggunaan teknologi “flywheel” (roda gila) untuk meningkatkan. kemampuan Na’ura (roda kincir air). Teknologi kincir termasuk kincir angin sudah dijelaskan dalam Kitab at-Hiyal karya Banu Musa bersaudara abad ke-3 H (9 M). Muhammad bin Zakaria ar-Razi dalam kitabnya al-Hawi (abad X M), menggambarkan kincir air di Irak yang bisa mengangkat sebanyak 153.000 liter perjam, atau 2.550 liter permenit. Buku ini juga menggambarkan output dari satu kincir air dengan ketinggian 5 meter di Irak dapat mencapai 22.000 liter perjam.[]
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 223