Jamaah Shalat Id Bubar Saat Khatib Khotbah Pemilu Curang, Guru Wahyudi: Apa Yang Salah dari Khotbahnya?
Mediaumat.info – Khadim Ma’had Darul Ma’arif Banjarmasin Guru Dr. Wahyudi Ibnu Yusuf, S.Pd., M.Pd. heran dengan sikap sekitar 25 persen jamaah shalat Idul Fitri yang meninggalkan lokasi, ketika khatib berkhotbah menyangkut dugaan kecurangan pemilu.
“Jika faktornya itu karena isi khotbah, maka sebenarnya apa yang salah dari isi khotbah tersebut?” herannya kepada media-umat.info, Jumat (12/4/2024).
Menurutnya, khatib shalat Idul Fitri di Lapangan Tamanan, Banguntapan, Bantul, DIY, pada Rabu (10/4) pagi itu justru sedang menyampaikan sebuah fakta yang terjadi di negeri ini yakni adanya kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) pada pesta demokrasi, agar jamaah bisa mengambil pelajaran.
Untuk itu, harusnya jamaah menyimak dan memahami apa yang tengah terjadi di negeri mereka, tidak kemudian bubar meninggalkan lokasi shalat hari raya tersebut. “Selayaknya jamaah menyimak agar kemudian memahami dan mengambil pelajaran,” tuturnya.
Di sisi lain, kata Guru Wahyudi mengutip keterangan di dalam kitab Al-Mu’tamad fil Fiqh Asy-Syafi’i (pedoman fikih mazhab Syafi’i) Juz I, hal. 556, sikap jamaah shalat yang tidak menyimak khotbah atau bahkan meninggalkan tempat shalat, baik shalat Jum’at, Idul Fitri maupun Idul Adha, hukumnya adalah makruh.
Meski pada dasarnya perkara ini tak membatalkan shalat, tetapi dikarenakan hukum menyimak khotbah adalah sunnah, sementara menurut mazhab Syafi’i jika menyelisihi sunnah hukumnya makruh, maka menurut Guru Wahyudi, tak menyimak khotbah terlebih sengaja meninggalkan lokasi shalat hukumnya pun makruh.
“Maka dengan sengaja meninggalkan dan tidak menyimak khotbah Jum’at atau khotbah Idul Fitri, Idul Adha itu hukumnya adalah makruh,” tegasnya.
Namun demikian, sebagai Muslim yang meyakini bakal bertemu dengan Allah SWT, idealnya adalah mempersiapkannya dengan baik semisal melaksanakan yang fardhu, memperbanyak yang sunnah, termasuk menyimak khotbah Idul Fitri maupun Idul Adha.
Adalah sebelumnya, sebuah video viral di media sosial merekam momen jamaah meninggalkan lokasi shalat Idul Fitri ketika khatib menyampaikan khotbah menyangkut dugaan kecurangan pemilu.
Dalam unggahan itu, terdapat dua video berdurasi pendek. Pertama, menampilkan sejumlah jamaah meninggalkan lapangan tempat shalat. Dan kedua, menunjukkan sosok khatib dengan penggalan ceramahnya yang menyinggung kecurangan pemilu melibatkan pejabat negara.
Di saat yang sama, samar-samar terdengar riuh dari arah para jamaah saat khatib tersebut menyampaikan khotbahnya.
Pelajaran Penting
Tetapi, terlepas dari kebenaran berita itu, kata Guru Wahyudi lebih lanjut, terkuak pelajaran penting bahwa demokrasi tak layak bahkan tak tepat bagi kaum Muslim berjuang meraih kekuasaan.
“Kami catat sejak 1955 hingga 2024 ini, umat Islam lewat partai-partai politik Islam itu tidak pernah mendapatkan kemenangan yang signifikan,” ungkapnya, menyinggung pemilu di negeri ini yang telah digelar sebanyak 13 kali.
Bahkan, tambahnya, sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga pasca-Reformasi saat ini, trik dan intrik sudah menjadi rahasia umum di setiap gelaran pesta demokrasi tersebut. “Kesimpulannya memang demokrasi itu bukan medan juang umat Islam,” cetusnya.
Tak ayal, ia pun mengajak kaum Muslim untuk segera meninggalkan sistem demokrasi menuju gelanggang perjuangan dakwah melanjutkan kehidupan Islam yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, yakni lewat jalur umat yang sarat edukasi di dalamnya.
“Lewat jalur umat, yakni mendidik umat dengan Islam hingga umat ini meyakini akidah Islam sebagai ideologi, kemudian mereka terikat dengan Islam sebagai nizhamul hayyah, sistem kehidupan,” terangnya.
Pun diharapkan umat mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, ketika ada sebagian besar syariat Islam tidak diterapkan, seketika mereka menuntut agar segera diterapkan di seluruh aspek kehidupan.
Maknanya, dengan disertai gelombang opini yang besar tentang Islam sebagai solusi segala persoalan kehidupan di tengah masyarakat, dan pada saat yang sama terdapat pula suatu jamaah dakwah yang mengendorsemen untuk melakukan aktivitas meminta pertolongan (thalab an-nusrah) kepada mereka yang memiliki kewenangan atau kekuasaan, (ahlu an-nusrah) maka tegaknya Islam sebagai sistem kehidupan adalah suatu keniscayaan.
“Klop ini, dari bottom-up, dari bawah masyarakat menuntut, dari atas lewat ahlu an-nusrah mereka mendeklarasikan, mengaminkan, mendukung apa yang diinginkan oleh masyarakat, yakni tathbiqi as-syari’ah (penerapan syariat) dalam sebuah bingkai kekuasaan yakni khilafah,” urai Guru Wahyudi.
Bukannya tanpa dasar, tambahnya, syariah Islam tak bakalan bisa diterapkan secara kaffah kecuali dengan kekuasaan.
Hal ini pula yang telah diteladankan oleh Rasulullah SAW. “Nabi kita sendiri berdoa, ‘Dan jadikan untukku di sisi Engkau Ya Allah, kekuasaan yang menolong’. Artinya kekuasaan yang menolong untuk menegakkan agama dan syariat Allah,” pungkasnya. [] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat