IJM: Ekspor Pasir Laut Mengancam Kedaulatan Negara

 IJM: Ekspor Pasir Laut Mengancam Kedaulatan Negara

Mediaumat.info – Dibukanya kembali keran ekspor pasir laut oleh pemerintah Indonesia saat ini, dinilai Peneliti dari Indonesian Justice Monitor (IJM) Luthfi Afandi telah mengancam kedaulatan negeri ini.

“Bukankah ini (juga) mengancam kedaulatan negara?” lontarnya dalam Diskusi Online: Ekspor Pasir Untuk Kepentingan Siapa? di kanal YouTube PAKTA Channel (Pusat Analisis data Kebijakan Strategis), Senin (23/9/2024).

Dengan kata lain, pemanfaatan pasir laut untuk kemudian diekspor ke Singapura misalnya, telah menjadikan daratan negara yang memiliki julukan sebagai Negeri Singa atau The Lion City menjadi lebih luas dari kondisi sebelum merdeka.

Dilansir dari singstat.gov.sg yang merupakan situs web resmi Departemen Statistik Singapura (DOS), luas Singapura pada Juni 2024 menjadi 735,6 km persegi dari sebelumnya yang hanya 578 km persegi pada saat sebelum merdeka.

Artinya, eksploitasi pasir laut terutama dari Kepulauan Riau yang telah berlangsung sejak 1976 hingga 2002, dengan volume ekspor sekitar 250 juta meter kubik per tahun, telah membuat Singapura untung berlipat dengan bertambahnya luas daratan sekitar 25 persen lebih sejak merdeka dari Malaysia.

Sebaliknya, ketika regulasi tentang ekspor pasir laut kembali dibuka, di saat yang sama akan mengurangi luasan wilayah Indonesia. “Pastinya akan mengurangi (luas) wilayah Indonesia,” tandasnya.

Bahkan sebagaimana pula dikutip dari kompas.com (13/9), pengerukan pasir laut secara besar-besaran untuk diekspor ke Singapura juga hampir membuat Pulau Nipa di Batam tenggelam karena abrasi. Padahal, pulau itu menjadi salah satu tolok ukur perbatasan Indonesia dengan Singapura.

Melanggar Hukum

Adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, berikut pasal yang mengatur kebolehan mengekspor pasir laut, juga dinilai telah melanggar hukum, dalam hal ini bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

“Berpotensi melanggar hukum,” lontar Luthfi, sembari menjelaskan bahwa di dalam sistem perundang-undangan terdapat prinsip lex superiori derogat legi inferiori yang berarti peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi.

Artinya, terdapat ketentuan perundangan-undangan atau hukum yang memiliki hierarki lebih tinggi dari sekadar peraturan pemerintah (PP) tersebut, yang berjudul asli Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dengan Rahmat Tuhan yang Maha Esa, atau UU tentang Kelautan.

Di dalam Pasal 56 UU tentang Kelautan ayat 1 dan 2 misalnya, pemerintah bertanggung jawab dalam melindungi dan melestarikan lingkungan laut melalui pencegahan, pengurangan dan pengendalian lingkungan laut dari setiap pencemaran laut serta penanganan kerusakan lingkungan laut.

Sementara, sebagaimana diketahui bersama, pengelolaan sedimentasi di laut dapat dilakukan pengerukan dengan cara pengikisan, pemancaran air tekanan tinggi, pemotongan material, penghisapan material, pemecahan material dan pengambilan dengan buket (grab).

Sehingga, dengan melihat besarnya volume yang diekspor sebelumnya tidak menjamin pengelolaan sedimentasi sebagaimana diatur dalam PP maupun aturan turunannya, yakni Permendag Nomor 20 dan 21 Tahun 2024, bisa sekaligus sebagai upaya melakukan perlindungan atau konservasi laut sebagaimana penjelasan Pasal 50 UU tentang Kelautan.

Apalagi, seperti tercantum di dalam Bab Pemanfaatan Pasal 9 PP 26/2023 ini, disebutkan bahwa hasil sedimentasi di laut yang dapat dimanfaatkan berupa pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur.

“Secara faktual itu juga sulit dibedakan mana itu sedimen, mana itu kemudian juga pasir laut,” pungkasnya. [] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *