Hukum Jalan Santai Berhadiah
Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi
Tanya :
Ustadz, apa hukumnya jalan santai berhadiah? Para peserta membayar uang pendaftaran, hadiah bagi pemenang berasal dari uang pendaftaran, dan pemenang ditentukan dengan cara diundi. (Mochamad Mufti, Yogyakarta).
Jawab :
Jalan santai berhadiah tersebut dan aktivitas-aktivitas lain yang semisal itu, hukumnya haram karena termasuk judi (al maisir, al qimar). Padahal Islam telah tegas mengharamkan judi, sesuai firman Allah SWT (yang artinya),
”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar (minuman keras), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah kotor (rijsun) termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Maaidah [5]: 90).
Berdasarkan ayat tersebut, para fuqaha sepakat bahwa judi hukumnya haram. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 39/405).
Keharaman judi ditunjukkan oleh beberapa indikasi (qarinah) yang menunjukkan larangan yang bersifat tegas (jazim), antara lain ; pertama, menggunakan taukid (kata penegas) “innama” (sesungguhnya).
Kedua, judi disebut rijsun (najis).
Ketiga, judi disebut perbuatan syaitan.
Keempat, ada perintah untuk menjauhinya.
Kelima, ada harapan keberuntungan bagi yang menjauhi judi. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat).
Adapun pengertian judi (al maisir, al qimar), ada banyak versi pendapat ulama.
Definisi yang paling rajih (kuat) menurut kami, judi adalah setiap-tiap permainan yang mensyaratkan pihak pemenang mengambil sesuatu (harta) dari pihak yang kalah. (kullu la’bin yusytarathu fiihi an ya`khudza al ghaalibu minal maghluubi syai`an). (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha`, hlm. 281; Imam Al Jurjani, At Ta’rifaat, hlm. 179; M. Ali Ash Shabuni, Tafsir Ayat Al Ahkam, 1/279; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 39/404; Sulaiman Ahmad Al Malham, Al Qimar Haqiiqatuhu wa Ahkamuhu, hlm. 74).
Dari definisi judi tersebut, terdapat 3 (tiga) kriteria pokok untuk aktivitas yang dikategorikan judi; pertama, ada taruhan (muraahanah) berupa harta (uang dsb) dari pihak yang berjudi, bisa satu pihak, atau lebih. Yang dimaksud “pihak” bisa jadi orang yang konkret (al syakhsh al haqiiqi), atau suatu alat (mesin judi) atau game (on line) yang dianggap mewakili orang yang konkret.
Kedua, ada permainan (la’bun) yang fungsinya untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Misalnya dadu (an nard), catur, domino, kartu, dsb. Disamakan dengan permainan, adalah segala macam perlombaan (musabaqah), seperti sepakbola, pacuan kuda, balapan lari, dsb.
Ketiga, adanya pihak yang menang dan yang kalah, yakni pihak yang menang mengambil harta dari pihak yang kalah. (Sulaiman Ahmad Al Malham, Al Qimar Haqiiqatuhu wa Ahkamuhu, hlm. 74-75; Syukri ‘Ali Abdurrahman Al Thawiil, Al Qimar wa Anwaa’uhu fi Dhau` Al Syariah Al Islamiyyah, hlm. 21-22).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka aktivitas “jalan santai berhadiah” dan yang semisalnya hukumnya secara syar’i adalah haram.
Pasalnya, definisi judi dapat diberlakukan untuk aktivitas tersebut.
Buktinya adalah sbb, pertama, ada uang pendaftaran yang dapat dianggap sebagai harta taruhan dari masing-masing peserta.
Kedua, ada permainan yang digunakan untuk menentukan pihak pemenang, yaitu undian.
Ketiga, ada pihak yang menang dan yang kalah.
Pihak pemenang adalah yang mengambil hadiah (seperti sepeda motor, kulkas, dsb) yang dibeli dari kumpulan uang pendaftaran para peserta.
Sementara pihak yang kalah adalah para peserta yang sudah membayar uang pendaftaran tapi tidak mendapat hadiah.
Kesimpulannya, jalan santai berhadiah seperti yang ditanyakan, hukumnya adalah haram. Solusi agar kegiatan seperti itu terhindar dari keharaman adalah tidak mengambil uang pendaftaran dari peserta, dan/atau hadiah yang diberikan tidak berasal dari uang pendaftaran peserta melainkan dari pihak ketiga (sponsor dsb). Wallahu a’lam bish shawab.[]
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 160