Diplomasi Islam di Masa Abbasiyah

 Diplomasi Islam di Masa Abbasiyah

Praktik diplomasi Islam kian berkembang dan terlembagakan. Semasa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, diplomasi gencar dilakukan dengan dunia luar.

Dalam Dinasti Abbasiyah, misalnya, Dr Yusuf al-Isy menulis perihal perjanjian damai antara Khalifah Harun al-Rasyid dari Daulah Abbasiyah dan Raja Romawi Naqfur. Namun, karena perjanjian damai itu dikhianati oleh Naqfur, bala tentara khalifah pun menghancurleburkan wilayah Bizantium Naqfur.

Surat-surat diplomatik antara kedua kerajaan itu silih berganti baik dengan nada marah, menyerah, menyerang, dan memohon pengampunan. Pada permulaan tahun 187 Hijriah, Khalifah Harun al-Rasyid mulai menampakkan kekuatan pasukan yang besar kepada Irene, ratu Romawi.

Saat itu, Ratu Romawi langsung takluk kepada Khalifah Harun al-Rasyid dengan mengakui kekuasaan Daulah Abbasiyah. Bahkan, Ratu Irene dari Romawi membayar pajak (jizyah) dan menyatakan taat kepada Harun al-Rasyid.

Namun, pengganti Ratu Irene, Raja Naqfur, justru bersikap menentang kekuasaan Harun Al-Rasyid. Ia pun menulis surat yang membuat gusar dan marah Khalifah Harun.

Mengutip tulisan Ath-Thabari dalam kitab Jilid 6, Yusuf Al-I’sy menulis sebagai berikut. Raja Naqfur telah meminta kembali harta pajak yang telah diberikan oleh pendahulunya, Ratu Irene, dengan kata-kata yang mencaci-maki dan bernada perang.

Kata-kata yang sangat mengiris hati Khalifah Harun yaitu, “Jika kamu telah membaca suratku, kembalikanlah harta yang telah diberikan kepadamu serta selamatkanlah dirimu dari harta yang akan kamu peroleh. Jika tidak, akan ada perang antara aku dan engkau.”

Membaca surat tersebut, Khalifah Harun Al-Rasyid sangat marah luar biasa dan menulis surat balasan yang bernada sangat menghina Raja Romawi itu. Naqfur pun disebut “Anjing Romawi” dengan kata-kata yang sangat singkat, yakni: “Jawabannya adalah hal yang akan kamu lihat, bukan kamu dengar.”

Sejumlah sumber Barat juga mencatat elegannya diplomasi Islam di Era Abbasiyah. Seperti yang terjadi antara Harun al-Rasyid dengan Raja Prancis Charlemagne.

Kedua tokoh itu saling bertukar utusan yang membawa hadiah dari pemimpin masing-masing. Sang Khalifah memberikan jam air yang dapat bergerak. Di antara hadiah dari Charlemagne adalah kunci Baitul Maqdis dan Gereja al-Qiyamah. Peristiwa itu terjadi pada 800 M.[]

Sumber: khazanah.republika.co.id

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *