Hari Anak Nasional, Anak Indonesia Masih Merana
Oleh Iwan Januar
Kemarin, 23 Juli, diperingati sebagai Hari Anak Nasional. Berbeda dengan negara lain, Indonesia menetapkan tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak sejak tahun 1985.
Namun apakah sejak dicanangkan sebagai Hari Anak, kemudian nasib anak di tanah air telah mengalami perbaikan secara sosial dan ekonomi? Inilah yang menjadi titik krusial yang justru terabaikan oleh pemerintah dan masyarakat.
Menilik catatan KPAI, masih banyak anak-anak di Indonesia berada dalam kondisi sosial dan ekonomi yang buruk. Berikut ini sejumlah data yang bisa dijadikan acuan kondisi nasib anak Indoensia:
Pertama, jumlah anak-anak Indonesia yang terancam kemiskinan masih terbilang tinggi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), data per September 2019 penduduk miskin di Indonesia masih mencapai 24,79 juta orang. Dengan tersebut, maka angka anak-anak yang akan kesulitan keluar dari garis kemiskinan juga masih cukup tinggi.
Angka kemiskinan ini diperkirakan meningkat di masa pandemi karena banyak usaha tersendat bahkan tutup dan tidak tahu kapan roda ekonomi bisa bergerak lagi.
Kedua, kemiskinan yang mengancam anak-anak Indonesia berimbas pada meningkatnya angka putus sekolah. Angka partisipasi pendidikan oleh anak usia sekolah di Indonesia disebut meningkat tiap tahunnya. Akan tetapi, total jumlah anak putus sekolah di 34 provinsi negara ini masih berada di kisaran 4,5 juta anak.
Dari data yang dimiliki Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), jumlah anak usia 7-12 tahun di Indonesia yang tidak bersekolah berada di angka 1.228.792 anak. Untuk karegori usia 13-15 tahun di 34 provinsi, jumlahnya 936.674 anak. Sementara usia 16-18 tahun, ada 2,420,866 anak yang tidak bersekolah.
Sehingga secara keseluruhan, jumlah anak Indonesia yang tidak bersekolah mencapai 4.586.332.
Di situs resminya, TNP2K mengungkap bahwa konsentrasi terbesar dari anak Indonesia yang tidak bersekolah atau putus sekolah berada di Provinsi Jawa Barat, dengan angka 958,599 anak. Disusul oleh provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, masing-masing di angka 677,642 dan 609,131 anak.
Ketiga, kemiskinan juga berdampak pada persoalan gizi buruk yang melanda anak-anak Indonesia. Menurut UNICEF, 50 persen bayi di Indonesia mengalami gizi buruk, atau sekitar 2,2 juta anak Indonesia terpapar masalah tersebut.
Masih menurut UNICEF, di Indonesia ada 50-59 persen anak di bawah lima tahun (balita) yang termasuk kategori “not growing well” atau pertumbuhannya tidak baik.
Keempat, selain berdampak pada meningkatnya angka putus sekolah, kemiskinan itu berimbas pada bertambahnya jumlah anak jalanan. Jumlah anak jalanan di Indonesia yang tersebar di 21 Provinsi, berdasarkan data Direktur Rehabilitasi Sosial Anak pada Kementerian Sosial, hingga Agustus 2017 mencapai angka 16.290 orang. Sebagian besar anak jalanan berasal dari Pulau Jawa, yang terdiri dari Provinsi Jawa Barat sebanyak 2.953 anak, diikuti DKI Jakarta yang mencapai 2.750 anak, lalu Jawa Timur 2.701 anak, serta Jawa Tengah sebanyak 1.477 anak. Di Provinsi Banten tercatat ada 556 anak, sementara di Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 503 anak.
Untuk provinsi di luar Pulau Jawa, tercatat yang tertinggi di Provinsi Sumatera Utara dengan populasi 1.000 anak, diikuti Sumatera Barat sebanyak 822 anak, serta Sulawesi Selatan sebanyak 652 anak.
Anak jalanan kerap kali mendapatkan kekerasan, semua beresiko dari pelecehan, eksploitasi dan main hakim sendiri bahkan kekerasan polisi dan preman yang mempekerjakan mereka untuk menghasilkan uang.
Kelima, anak-anak Indonesia berada dalam ancaman kekerasan bahkan kematian. Data yang dikumpulkan dan dianalisis Pusat Data dan Informasi atau Pusdatin Komnas Anak mencatat 216.897 kasus pelanggaran hak anak yang dimonitor Komnas Anak dari berbagai lembaga peduli anak di 34 provinsi dan 279 kabupaten/kota.
Sebanyak 58 persen merupakan kasus kejahatan seksual. Selebihnya adalah kasus kekerasan fisik, penelantaran, penculikan, eksploitasi ekonomi, perdagangan anak (chlid trafficking) untuk tujuan eksploitasi seksual komersial serta kasus-kasus perebutan anak.
Menurut data KPAI dari total jumlah anak di Indonesia yakni sebesar 87 juta, sebanyak 6 persennya mengalami kekerasan. Kasus teranyar di Bandung, seorang ayah tiri membunuh anaknya yang baru berusia lima tahun, lalu dimasukkan ke dalam toren.
Kekerasan seksual pada anak yang terakhir adalah kasus yang dilakukan WNA asal Prancis yang melakukan praktek pedofili pada tidak kurang 30 anak di
Keenam, pornografi juga menjadi persoalan sosial yang dihadapi anak-anak Indonesia. Kementerian PPPA pada 2017 mendapati hasil survey ada 97 persen dari 1.600 anak kelas tiga sampai enam SD sudah terpapar pornografi secara langsung maupun tidak langsung. Survei tersebut dilakukan dilakukan Kementerian PPPA pada 2017 di delapan provinsi Indonesia. Valentina menyebutkan anak yang terpapar pornografi bisa karena sengaja dan tidak sengaja. Dia membedakan anak yang terpapar pornografi dengan yang sudah adiksi terhadap pornografi.
Problem ini berdampak pada meningkatnya agresivitas perilaku seksual pada anak-anak. Beberapa kali dilaporkan kasus kekerasan seksual dengan pelakunya adalah anak-anak. Di sisi lain pergaulan bebas juga semakin meningkat. Beberapa waktu lalu di sebuah hotel di Jambi, aparat menangkap 37 pasang pelajar SMP tengah mengadakan pesta seks. Ditemukan juga alat kontrasepsi dan obat kuat dari tangan para pelajar tersebut.
Ketujuh, jumlah anak-anak Indonesia yang terlibat dalam tindak kekerasan juga terus meningkat. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut, sejak 2011 hingga akhir 2018, tercatat 11.116 anak di Indonesia tersangkut kasus kriminal.
Tindak kriminal seperti kejahatan jalan, pencurian, begal, geng motor, pembunuhan mendominasi. Komisioner KPAI Putu Elvina mengatakan, jumlah anak yang menjadi pelaku kejahatan pada 2011 mencapai 695 orang. Sementara untuk 2018, jumlah anak yang menjadi pelaku kejahatan meningkat drastis menjadi 1.434 orang.
Ala kulli hal, apakah peringatah Hari Anak Nasional hanya selebrasi kosong tapi minim program-program nyata untuk menyelamatkan anak-anak Indonesia? Fakta dan data memperlihatkan kondisi masih banyak anak Indonesia belum terangkat nasibnya menjadi lebih baik.
Realita ini adalah dampak pembangunan yang berbasis pada sekulerisme-kapitalisme, yang mengejar pertumbuhan ekonomi tapi miskin bahkan menafikan norma agama, termasuk perlindungan pada keluarga. Bahkan ironinya, agama Islam terus disudutkan sebagai ancaman dan disingkirkan dari kehidupan masyarakat.[]