Oleh: Guru Abdul Hafiz (Pengasuh Pesantren Al-Quran Darul Inqilabi Karang Intan Martapura)
Jika kita saksikan kondisi masyarakat akhir-akhir ini, maka penyebab berbagai kisruh yang terjadi adalah karena hilangnya rasa keadilan, suap dan korupsi, bukan karena agama, syari’ah atau hal lain yang sering dipropagandakan sebagai radikalisme.
Rasulullah saw pernah mengutus Abdullah bin Rawahah r.a. ke Khaibar untuk menaksir pembagian hasil panen kebun antara umat Islam dan Yahudi. Orang-orang Yahudi segera mengumpulkan berbagai macam perhiasan dari istri-istri mereka, lalu mereka mau menyerahkannya sebagai ‘hadiah’ (suap).
Mereka berkata kepada Abdullah bin Rawahah: Semua perhiasan ini untuk kamu, ringankanlah kami dan berilah tambahan pada bagian kami.”
Abdullah bin Rawahah menjawab: “Wahai kaum Yahudi! Demi Allah, kalian adalah makhluk ciptaan Allah yang paling aku benci, meski demikian, kebencianku tidak akan membuatku berbuat lalim kepada kalian. Adapun semua perhiasan yang kalian berikan kepadaku sebagai suap, itu semua adalah haram, dan kami tidak memakannya.” Mereka menjawab: “Dengan (keadilan) seperti ini, tegaklah langit dan bumi.”(HR. Imam Malik).
Imam Bukhari juga meriwayatkan bahwa seorang perempuan telah mencuri setelah futuh Makkah. Kemudian kaumnya minta tolong kepada Usamah ibn Zaid r.a. untuk melobi Rasulullah agar membatalkan hukuman kepada wanita tersebut. Ketika Usamah r.a menyampaikan maksudnya, berubahlah wajah Rasulullah karena marah, lalu Beliau pun bersabda: “Apakah kamu mengajakku berkompromi dalam satu hukum di antara hukum-hukum Allah?. Usamah pun menyesal dan berkata: “Mohonkan ampun untukku wahai Rasulullah.”
Kemudian Rasulullah SAW berpaling, lalu berdiri dan berkhutbah dengan memuji Allah kemudian bersabda: Amma ba’du, sesungguhnya hancurnya manusia sebelum kalian karena apabila ada yang mencuri dari kalangan bangsawan mereka, mereka membiarkannya, dan apabila yang mencuri dari kalangan lemah, mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi dzat yang diri Muhammad di tangan-Nya seandainya Fathimah anaknya Muhammad mencuri pasti aku potong tangannya.”
Jika hidup saat ini, mungkin Abdullah bin Rawahah akan digelari radikal, karena sikapnya kepada Yahudi: “Demi Allah, kalian adalah makhluk ciptaan Allah yang paling aku benci”, namun keadilan beliau menjadikan orang-orang Yahudipun rela. Rasulullahpun mungkin akan dicap radikal, garis keras, tidak bisa diajak kompromi, hingga tetap bersikeras memotong tangan wanita tersebut.
Namun, keadilanlah yang menjadikan tatanan masyarakat menjadi baik, hingga orang-orang Yahudipun memujinya. Keadilan akan terjadi jika terpenuhi dua hal: Pertama, memposisikan siapa saja sejajar dihadapan hukum, baik orang tersebut dicintainya atau dibencinya, anaknya sendiri ataupun anak musuhnya, menguntungkan dirinya ataupun merugikan dirinya. Kedua, hukum yang dijalankan adalah hukum Allah Ta’ala.
Jika ingin menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran, maka keadilan inilah yang harus diperhatikan. Dan jika kita perhatikan dua hal terkait keadilan di atas, jika mau jujur kita akan jumpai bahwa kedua-duanya dalam kondisi bermasalah.
Lihatlah kasus yang menimpa Despianor, seorang guru honorer, ‘wong cilik’ di ujung Kalimantan Selatan ini dijerat dengan UU ITE, dituduh menyebar kebencian, padahal setelah saya cari dan lihat akun FB nya (https://web.facebook.com/despii.despii.77 dan https://web.facebook.com/despiiiiii) yang disampaikannya hanyalah tentang dakwah seputar khilafah dan syari’ah. Despianoor sudah ditahan, dan sedang menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Kotabaru. Penulis sendiri hadir pada sidang ke-3 pada Rabu, 2 September 2020 (https://media-umat.info/jadi-majelis-istigasah-puluhan-ulama-doakan-kebebasan-despi-di-halaman-pn-kotabaru).
Sementara lihatlah unggahan-unggahan Deny Siregar, Ade Armando, Abu Janda dll, sudah dilaporkan masyarakat namun ‘tidak ada’ tindakan yang berarti.
Lihat juga kasus Novel Baswedan dan kasus penyiraman air keras yang lainnya, maka siapapun yang masih bisa berfikir normal akan berkesimpulan bahwa saat ini ‘kesetaraan di depan hukum’ sedang bermasalah.
Adapun terkait hal kedua, yakni hukum itu sendiri, maka adil itu jika hukum yang dipakai adalah hukum Allah Ta’ala. Dalam Ibânat al-Ahkâm Syarh Bulûgh al-Marâm dijelaskan: “Imam atau pemimpin yang adil adalah penguasa umum yang mengikuti perintah-perintah Allah Ta’ala, hingga ia menempatkan segala sesuatu di tempatnya tanpa kelebihan dan tanpa kekurangan.”
Jika dikaitkan dengan hal ini, maka postingan-postingan Despi justru sedang berupaya menyelamatkan bangsa ini, yakni dengan menyuarakan keadilan dalam hal yang kedua ini. Jika tidak ada yang menyerukan, dan penguasa dibiarkan memilih hukum selain hukum Allah Ta’ala, maka kerusakanlah yang akan senantiasa terjadi. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: … Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan menjalankan hukum-hukum Allah dan mereka memilih-milih apa yang diturunkan Allah, kecuali Allah akan menjadikan bencana di antara mereka.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad Hasan).
Namun, dua hal yang akan mewujudkan keadilan hakiki tersebut bisa jadi akan menjadikan orang yang mengusahakannya dicap sebagai radikal, setidaknya oleh Rand Corporation, ‘The full imposition of shari’a creates a good and just society’ merupakan ciri-ciri radikal kata mereka [Cheryl Benard, Civil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategies (Santa Monica, CA: RAND, National Security Research Division, 2003), h. 8.][]