Gunakan Akalmu, Jangan Jadi “Yes Man”

 Gunakan Akalmu, Jangan Jadi “Yes Man”

Allah subhānahu wa ta’āla membedakan manusia dan memuliakannya dari makhluk lain dengan akal. Allah subhānahu wa ta’āla menjadikan akal sebagai sebab dibebankan berbagai kewajiban. Sebab dengan akal ini, manusia akan mencapai kebenaran tentang keberadaan Allah subhānahu wa ta’āla, mengerti keagungan ayat-ayat ciptaan-Nya, serta paham akan maksud Allah subhānahu wa ta’āla menciptakan alam semesta, manusia dan kehidupan.

Islam mengatur cara berpikir seorang Muslim, dan cara yang benar menggunakan akalnya, serta mengendalikan dirinya sesuai dengan hukum-hukum syariah. Seorang Muslim adalah potret kepribadian yang unik dan terhormat, yang memiliki pendapat dan keputusan, yang mampu memahami, menghubungkan dan mempersepsikan, dengan berlandaskan pada dasar-dasar yang kuat untuk mencapai hasil yang benar. Banyak sekali ayat Al-Qur’an dan hadist Nabi yang mendorong seorang Muslim untuk menggunakan akalnya dalam berenung, bernalar dan berpikir. Allah subhānahu wa ta’āla sangat memuji mereka yang melakukan ibadah ini melalui firman-Nya: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (TQS Ali Imran [3] : 191).

Di sisi lain, terdapat celaan dan peringatan berupa hukuman berat menanti siapa saja yang menyia-nyiakan akalnya, dan menjadi bergantung pada orang lain, dengan ketergantungan yang tanpa penopang pemikiran sedikit pun. Allah subhānahu wa ta’āla berfirman: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (TQS Al-A’rāf [7] : 179).

Abdullah bin Masud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Jangan menjadi imma’ah (yes man)”. Mereka berkata: “Apa imma’ah (yes man) itu?” Dia berkata: “Orang yang berkata: Saya bersama orang-orang, jika mereka di jalan yang benar, maka saya juga di jalan yang benar; jika mereka tersesat, maka saya juga tersesat”.

Sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud menarik perhatian kami dan memperingatkan kami tentang kondisi  (imma’ah, yes man) yang mungkin menyusup ke negara-negara Islam. Kondisi ini telah ada di umat-umat sebelumnya. Allah subhānahu wa ta’āla telah menyebutkan dalam Al-Qur’an banyak contoh umat di mana kondisi  (imma’ah, yes man) ini telah menyebar dan menjadi perilakunya. Dan kita sekarang melihatnya dengan mata telanjang bahwa hal itu mulai meresap ke dalam individu umat kita dan telah mempengaruhi mereka.

Al-Imma’u: Orang yang mengatakan pada siapapun: “Ana ma’aka, aku bersamamu”. Orang seperti ini tidak pernah teguh pendirian atas sesuatu, karena tidak punya pandangan yang kuat. Allah subhānahu wa ta’āla menyebutkan tentang mereka para manusia imma’ah (yes man) dengan gambaran yang jelas. Allah subhānahu wa ta’āla: “Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: ‘Kami telah beriman’. Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, maka mereka mengatakan: ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok’.” (TQS Al-Baqarah [2] : 14).

Imma’ah (yes man) adalah kebalikan dari pribadi ideologis. Manusia ideologis mengemban pandangan hidup tertentu, dan seperangkat konsep yang menjadi dasar semua tindakannya, sehingga pendapat dan tindakannya didasarkan pada sudut pandang ideologis, yang kemudian menjadikannya pribadi yang mandiri dalam pengambilan keputusan sebagai orang yang memiliki pendapat dan pengaruh. Adapun imma’ah (yes man) adalah pribadi lepas yang tidak punya gagasan, yang hanya mengikuti arus kemanapun ia pergi, terkadang ia ikut dan terkadang ia berlaku munafik, ia tidak memiliki konsep yang mendasari tindakannya, namun bergantung pada konsep orang yang diikutinya, pendapatnya berubah-ubah, realitas kondisi imma’ah (yes man) ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah subhānahu wa ta’āla dengan firman-Nya: “Mereka dalam kondisi ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir).” (TQS An-Nisa’ [4] : 143). Slogannya dalam menjalani kehidupan:

Saya hanya mengikutinya, jika ia tersesat, maka saya tersesat; jika ia lurus, maka saya juga lurus”.

Kondisi dimana umat Islam hidup ini merupakan akibat alami dari upaya berabad-abad oleh negara-negara Barat, yang dengannya mereka bekerja untuk menghancurkan ikatan yang mengikat umat Islam. Barat melakukan invasi budaya dengan menawarkan pandangan hidup Barat menggantikan pandangan hidup Islam, dan menyerang konsep-konsep yang dimiliki umat Islam, serta menciptakan keretakan antar umat Islam dan entitas mereka yang menerapkan pandangan hidup Islam pada mereka. Setelah usahanya yang keras itu, Barat mampu menghancurkan entitas ini, dengan keputusan untuk menghapus sistem kekhalifahan, yang di atas puing-puing reruntuhannya muncullah negara-negara kecil boneka, yang mengemban sifat imma’ah (yes man), yang mengekor pada negara-negara Barat, di mana keputusan politik dalam dan luar negerinya dirampas, tidak punya pendapat dan masukan, yang bekerja hanya untuk menyenangkan para majikannya, sekalipun dengan mengorbankan kepentingan rakyatnya, juga menerapkan undang-undang dan pandangan hidup negara yang diikutinya, meskipun bertentangan dengan akidah (keyakinan) rakyatnya!

Media telah mengambil peran terbesar dalam mengkonsolidasikan konsep-konsep yang salah di antara masyarakat Muslim, dan meningkatkan sifat imma’ah (yes man) mereka, melalui identifikasi mereka dengan Barat, tentang manifestasi sipilnya, perkembangan ilmu pengetahuan, budaya, arsitektur dan ekonomi, serta kebebasannya yang diklaimnya, sebagai usaha membentuk keyakinan Muslim terhadap model Barat, bahwa tidak ada kebangkitan bagi kaum Muslim tanpa mengadopsi model-model ini dan menerapkannya.

Bidang pendidikan juga mengambil perannya dalam memasukkan racun ke dalam madu, dengan mendistorsi sejarah Islam, dan bekerja untuk menciptakan generasi yang berkepribadian lemah dan ketergantungan. Untuk itu, dalam kurikulumnya mulai memasukkan tokoh-tokoh busuk dan jahat, membersihkan sejarahnya dan menonjolkannya sebagai para pemimpin dan teladan yang harus diikutinya.

Akibatnya, kondisi imma’ah (yes man) mulai berpindah dari negara ke rakyat. Sungguh sangat disayangkan, kondisi ini mulai menyebar dan menghancurkan masyarakat, akal mulai disia-siakan dengan dengan jelas, dengan mengidolakan tokoh-tokoh yang dibesarkan media, dalam cara berpikir, pakaian, makanan dan gerakan, di antaranya tokoh-tokoh agama, media, pemikir, peneliti, politisi, bahkan penyanyi dan penari, di mana dengan mengikutinya menjadi penyebab kebanggaan dan kemuliaan.

Maka kondisi kita menjadi seperti yang dijelaskan oleh orang yang jujur dan berkata benar, dan tidak pernah berbicara atas dorongan hawa nafsu. Dari Abu Sa’id radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam besabda: “Kalian pasti akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta hingga seandainya mereka manempuh (masuk) ke dalam lobang biawak kalian pasti akan mengikutinya”. Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang baginda maksud Yahudi dan Nashrani?”. Beliau menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)”. (HR Bukhari).

Menghadapi kenyataan pahit yang telah menimpa umat Islam ini, kita harus meletakkan poin-poin pada huruf-huruf sebagai ungkapan yang membawa gagasan dan solusi untuk melepaskan umat Islam dari kondisi imma’ah (yes man) yang telah menghancurkan masyarakatnya ini. Langkah terpenting yang harus diambil adalah kembali pada sīrah (sejarah kehidupan) teladan kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan bagaimana Beliau mengubah konsep yang ada di masyarakat jahiliyah. Kondisi mereka lebih buruk dari kondisi kita, dengan mengikuti adat istiadat dan tradisi nenek moyang. Allah subhānahu wa ta’āla berfirman: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (TQS Al-Baqarah [2] : 170).

Ya, ini adalah kondisi mereka, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghancurkan pemikiran dan konsep yang sudah usang, dan menggantinya dengan konsep Islam yang jelas. Jadi, Beliau membuat untuk mereka jalan yang lurus dengan fitur dan tujuan yang jelas, kemudian dengan sabar beliau mengajak mereka ke jalan tersebut. Pada saat yang sama, Beliau mendidik para Sahabat agar mereka menjadi pemimpin yang memiliki ideologi dan pemikiran, juga dasar negara yang ideologis, yang merdeka ketika menetapkan politik dalam dan luar negerinya, undang-undang dan hukum-hukumnya berasal dari syariah, itulah negara yang dibangun oleh bangsa yang besar. Jika orang-orang berbuat baik, maka negara berbuat baik; jika orang-orang berbuat buruk, maka negara berbuat baik kepada mereka dan tidak menzaliminya.

Marilah kita semua berjuang untuk membebaskan bangsa kita dari kondisi lemah dan ketergantungan yang menyelimutinya, dan membangkitkan lagi untuk mengembalikannya ke posisinya yang sebenarnya, sebagai umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia.

Wahai kaum Muslim, Allah subhānahu wa ta’āla sangat senang melihat pengaruh nikmat-Nya pada hamba-Nya. Sementara akal adalah salah satu nikmat terbesar. Jadi bersyukurlah atas nikmat ini, dan “gunakan akalnya, jangan jadi imma’ah (yes man)”. [Yasir Abul Walid]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *