Dari 0 Hingga 7, Prof. Fahmi Paparkan Berpikir Islami Level Tertinggi

 Dari 0 Hingga 7, Prof. Fahmi Paparkan Berpikir Islami Level Tertinggi

Mediaumat.info – Pembina Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) Prof. Dr. Ing Fahmi Amhar memaparkan, dari 0 hingga 7 level berpikir, berpikir islami adalah level tertinggi yang bahkan melampaui metode ilmiah.

“Level tertinggi (7) adalah berpikir islami. Berpikir islami adalah berpikir beyond inspiration, beyond innovation, beyond scientific way,” paparnya kepada media-umat.info, Rabu (24/4/2024).

Pasalnya, berpikir islami adalah menempatkan Islam sebagai ideologi. Sebab syahadat seorang Muslim termasuk falsafah yang bakal berpengaruh pada pandangan hidup, pola pikir, sikap, perilaku, membuat undang-undang, membuat struktur organisasi yang mengatur masyarakat, dsb.

Lebih dari itu, seorang Muslim tidak cuma berpikir dunia di masa sekarang, tetapi juga di masa akan datang. “Bahkan dia bisa ‘melihat’ apa yang tidak terdeteksi oleh panca indera, yaitu dunia akhirat,” tambahnya.

Dengan kata lain, tak hanya berpikir tentang dirinya tetapi juga tentang rahmat bagi alam semesta. Pun otomatis berpikir internasional, karena semua bangsa berhak untuk merasakan indahnya Islam.

Sebelumnya, profesor kelahiran Magelang 56 tahun lalu yang menyukai dunia ilmiah dan dakwah sejak remaja itu, mengungkapkan 3 hal mendasar untuk menentukan kualitas berpikir atau bisa didefinisikan sebagai aktivitas yang dimulai dari mendapatkan informasi atas sebuah fakta melalui panca indera, kemudian menghubungkannya dengan informasi yang telah disimpan sebelumnya di dalam otak.

“Ada tiga hal mendasar yang menentukan kualitasnya: (1) kualitas informasi fakta; (2) informasi yang disimpan sebelumnya; (3) bagaimana menghubungkannya,” ulasnya.

Tingkatan Berpikir

Untuk itu ia pun membeberkan beberapa tingkatan (levelling) seputar aktivitas berpikir manusia dari level terendah hingga tertinggi.

Di level terendah (0), menurutnya adalah berpikir irasional. “Boleh jadi informasi faktanya benar, atau informasi yang disimpan sebelumnya juga benar, tetapi kesimpulan yang dihasilkannya sebenarnya tidak nyambung,” ujarnya.

Semisal, dahulu di Hawaii terdapat mitos bahwa orang sehat harus berkutu rambut, karena orang sakit ternyata ditinggalkan kutu rambutnya.

“Kedua fakta (sehat/sakit dan kutu rambut) itu benar. Tetapi menghubungkannya salah, karena yang benar, ketika orang sakit, lalu dia demam, kutu rambut tidak tahan berada di kepalanya,” jelasnya, sebagaimana pula banyak pola berpikir irasional di beberapa ajaran agama dan kepercayaan, juga dunia politik, ekonomi, manajemen, dsb.

Berikutnya level (1) berpikir ilmiah, yang mencakup berpikir rasional maupun eksperimental, tergantung objeknya. Misal, jauh sebelum era manusia bisa melihat bumi dari ruang angkasa, mereka sudah bisa memastikan bahwa bumi ini bulat, berotasi pada porosnya, dan mengelilingi matahari.

“Tentu saja tidak semua hal bisa dipastikan secara rasional,” singgungnya, yang berarti untuk objek-objek tertentu memerlukan metode eksperimental seperti fisika, kimia, bioteknologi, material science, mesin, teknik sipil, dsb.

Setelah itu, level (2) berpikir inovatif atau berpikir agar sesuatu bisa menjadi manfaat bagi orang banyak, baik secara ekonomi, kemanusiaan, keindahan ataupun yang lain.

Contoh paling gampang, kata Prof. Fahmi, adalah Facebook dan Google. “Facebook bukan situs jejaring sosial pertama atau satu-satunya, Google juga bukan mesin pencari pertama atau satu-satunya. Tetapi kenapa Facebook dan Google menjadi sangat terkenal? Karena inovatif,” cetusnya.

Selanjutnya level (3) berpikir inspiratif. “Berpikir inspiratif adalah berpikir bagaimana bisa mencerahkan dan menggerakkan manusia atau masyarakat. Mereka menjadi seolah-olah tergerak dari dalam, bukan karena diarahkan oleh orang lain atau oleh sistem,” urainya.

Termasuk, kata Prof. Fahmi, adalah mereka yang pernah membalikkan situasi sangat memprihatinkan menjadi kesuksesan. Seperti, mampu menggerakkan anak muda yang tidak semangat belajar, pengusaha bangkrut agar bangkit lagi, politisi yang sedang difitnah lawan politiknya, hingga pengemban dakwah yang sedang patah semangat (futur).

Kemudian, masuk ke level (4) berpikir integratif yang cakupan berpikirnya lebih luas hingga se-Indonesia. Sebutlah memikirkan cara agar bangsa Indonesia menjadi bermartabat, mandiri, maju, dan bahkan bisa memberi manfaat bagi bangsa-bangsa lain.

Untuk itu, terlebih dahulu harus mengenal berbagai karakter yang ada di Indonesia. Mulai keanekaragaman suku yang tersebar di ribuan pulau. Pula berbagai situasi, sejarah dan aneka ragam perundang-undangan yang membentuk adat-istiadat, kebiasaan (habit) dan kultur yang berbeda-beda.

Disebabkan berpikir pada ruang lingkup Indonesia belumlah cukup, apalagi saat ini dunia saling terhubung dan terkait, Prof. Fahmi pun kemudian masuk level (5) berpikir independen di kancah internasional.

Terkait hal ini, seseorang harus memahami keragaman di tingkat dunia, termasuk sejarah, budaya, konstelasi politik dan ekonomi internasional, berikut intrik-intrik dan konspirasi yang mungkin ada.

“Ini adalah berpikir yang tidak mudah, karena tidak semua informasi dapat divalidasi atau diketahui akurasinya,” ujar Prof. Fahmi, yang kendati suatu konspirasi memang ada dan biasa terjadi di kancah politik atau ekonomi tetapi ternyata tak semua hal dapat dipastikan.

Selanjutnya adalah level (6) berpikir ideologis, tingkatan setelah berpikir independen di kancah internasional. “Di sinilah dia akan bersentuhan dengan sesuatu yang lain, bahwa kemajuan itu terkait dengan pandangan hidup (falsafah) yang memengaruhi pola pikir, pola sikap dan perilaku,” jelasnya.

Falsafah sendiri, bagi Prof. Fahmi, akan berpengaruh pada sistem peraturan yang dibuat, undang-undang, dan kepada struktur organisasi yang diterapkan atas bangsa tersebut.

Ia mengatakan, karena memikirkan banyak sekali hal sekaligus, berpikir level ini juga sangatlah sulit. Sehingga secara umum ajaran kapitalisme dan sosialisme bisa disebut ideologi.

Kapitalisme sebenarnya bertumpu pada pandangan sekulerisme, yang memisahkan agama dari perannya dalam kehidupan publik. Selanjutnya pandangan ini memberikan kebebasan maksimal dalam berbagai hal (liberalisme).

Meski begitu, kebebasan dalam hal praktiknya harus dibatasi oleh hukum yang dibuat bersama-sama oleh berbagai kelompok (pluralisme) yang melahirkan demokrasi.

Di sisi lain, demokrasi sendiri ternyata sangat tergantung kepada pemilik modal. Yang pada akhirnya, hasil dari demokrasi berupa undang-undang dan penguasa, semakin memperkuat posisi pemilik modal, inilah mengapa lebih disebut kapitalisme.

Level Tertinggi

Terakhir, level yang tertinggi (7) adalah berpikir islami seperti yang ia paparkan sebelumnya.

Karenanya, berpikir islami juga pasti berpikir Indonesia, yang menurut Prof. Fahmi, negeri kaya sumber daya tetapi juga kaya potensi bencana tempat tinggal Muslim terbanyak di dunia.

Menurutnya, berpikir islami pasti berpikir inspiratif. Lebih jauh juga bisa menggerakkan orang yang sudah bersyariah menjadi siap berdakwah, yang baru beribadah agar kaffah bersyariah, bahkan yang belum bersyahadat agar mau meyakini bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang wajib disembah selain Allah SWT, dan sesungguhnya Muhammad SAW adalah nabi dan utusan-Nya.

 

Malahan, ini jauh lebih dari sekadar inspirasi tentang pengalaman hidup. Karena menurutnya lagi, inspirasi dari Islam melampaui apa yang mungkin didapat seluruh manusia sepanjang pengalaman hidup mereka (beyond inspiration).

Artinya, berpikir islami juga pasti mendorong orang untuk berpikir inovatif, karena Islam berlaku hingga akhir zaman, tetapi tanpa ijtihad yang menghasilkan berbagai inovasi, akan banyak persoalan manusia yang tidak mendapatkan solusi.

Untuk dipahami, lanjut Prof. Fahmi, ijtihad sendiri lebih tinggi dari sekadar inovasi (beyond innovation), karena sedari awal sudah melibatkan Allah SWT, baik dari motivasinya (ontologi), cara mencapainya (epistemologi), hingga ke aplikasinya (aksiologi).

Terlebih, dasar keimanan (syahadat) memang sudah seharusnya dicapai dengan cara berpikir yang rasional, dan selanjutnya seperti soal malaikat atau hari kiamat, diturunkan dari dasar keimanan secara rasional.

Tetapi, kata Prof. Fahmi menegaskan, Islam tidak memberikan tempat untuk cara berpikir rasional, sebagaimana mereka yang mencampuradukkan agamanya dengan bid’ah, khurafat dan tahayul.

Terakhir ia menyampaikan, berpikir islami lebih dari sekadar berpikir ilmiah, dikarenakan informasi ilahiah yang diturunkan secara rasional memberikan petunjuk tentang berbagai hal yang memang bukan seluruhnya dapat ditemukan secara metode ilmiah.

Hal ini dikarenakan menyangkut tujuan hidup manusia, nilai-nilai yang mutlak harus dipertahankan, dan sistem pengaturan hidup manusia baik secara garis besar, maupun dalam beberapa hal cukup rinci.

“Juga tentang beberapa kabar gaib yang tentu di luar domain dunia ilmiah,” pungkasnya. [] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *