Empat Persoalan Kinerja Bea Cukai
Mediaumat.info – Pengamat Ekonomi Dr. Fahrul Ulum menyatakan ada empat persoalan terkait kinerja Direktorat Bea Cukai.
“Berkaitan dengan kebijakan kemudian sistemnya, praktiknya dan sumber daya manusianya, empat persoalan itu menjadi sangat penting,” ujarnya dalam Kabar Petang: Bea Cukai Ramai “Dirujak” Netizen, Memeras Uang Rakyat? di kanal YouTube Khilafah News, Selasa (30/4/2024).
Fahrul mengungkapkan, sumber daya manusia (SDM) yang baik itu tatkala dia masuk ke dalam sistem yang tidak baik kadang menjadi tidak baik.
“Jadi kalau kita lihat sistemnya kemudian praktik-praktik yang ada di sekitar (Direktorat) Bea Cukai, keluhan-keluhan di masyarakat kasus demi kasus, ratusan kasus, ribuan kasus kemudian yang mencuat viral di masyarakat itu menjadikan selain opini itu suasana atau lingkungan kerja di sekeliling mereka itu menjadikan orang yang baik kadang harus buat tidak baik pula,” ulasnya.
Oleh karena itu, ujarnya, begitu banyaknya praktik kecurangan yang ada di satu departemen, yang ada di satu direktorat bisa saja itu mempengaruhi SDM yang lain untuk berbuat yang tidak baik, padahal awalnya juga dia orang baik.
Menurutnya, ada satu pameo itu beberapa SDM-nya sering kali oknum-oknumnya memanfaatkan kelemahan-kelemahan dari objek pajak yaitu cukai mereka yang ditarik.
“Cukai barang tertentu sebenarnya tidak masuk dalam barang mewah amat, tetapi karena ada peraturan atau pasal yang membicarakan tentang barang mewah, ini di informasikan sebagai barang mewah dengan tarif yang sangat tinggi dan itu ditakut-takuti ini, ‘Kalau mengikuti aturan yang ada nanti eh biayanya sampai segini’,” tuturnya sambil mencontohkan.
Oleh karena itu, tukasnya, kemudian diatur bersama dan sebagainya. Kadang kala juga melakukan intimidasi, pernah terjadi di Jogja itu yang kemarin juga mencuat, pengancaman, intimidasi yang dilakukan oleh oknum.
Lihat Status Orang
Fahrul menyebutkan, dalam sistem ekonomi Islam itu tidak hanya melihat barang tetapi juga melihat status orang yang melakukan ekspor impor.
Karena, lanjutnya, ini demi keamanan negara. Jadi kalau sudah berbicara tentang ekonomi Islam dalam hal ekspor impor dalam hal bea cukai maka ini masuk pula dalam ranah politik ekonomi Islam.
Terkait tentang aturan bea cukai di dalam ekonomi Islam, tuturnya, maka yang pertama adalah dilihat komoditas, yang kedua dilihat pelaku ekspornya, yang ketiga adanya lembaga bea cukai yang orang-orangnya disebut sebagai asir itu harus ada badan pengawas eksternal yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengawasi asir.
Ia menjelaskan, syarat untuk menjadi asir yaitu petugas bea cukai, pertama adalah takwa. Kalau dalam Islam, takwa ini berkaitan dengan potensi yang sangat mungkin bagi petugas bea cukai itu untuk berbuat zalim, penyelundupan, suap dan sebagainya.
“Oleh karena itu yang dilihat pertama kali adalah takwa,” tegasnya.
Fahrul memaparkan, Islam itu membagi para pelaku pelaku bisnis yang melewati sebuah negara yang membawa komoditas dan harus membayar cukainya itu ada tiga. Pertama, Muslim. Kedua, kafir dzimmi. Ketiga, kafir harbi.
Kalau Muslim, menurut Fahrul, membawa barang dagangan yang melewati satu negara maka ini tidak ditarik karena Muslim itu tidak ditarik cukai, dia hanya dikenakan atas barang yang telah dia miliki sudah haul dan sudah nisab 1 tahun maka dia cuma terkena 1/4 dari usyur, 1/4 dari usyur itu adalah 1/40 adalah setara dengan zakat.
Untuk pelaku bisnis yang kafir dzimmi, imbuhnya, maka dia terkena setengah dari usyur cukainya itu, kalau kafir Harbi yang melakukan aktivitas muahid atau perjanjian maka dia terkena usyur 1/20, itulah cukainya.
“Oleh karena itu sebenarnya di dalam Islam, cukai itu ada,” pungkasnya. [] Muhammad Nur
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat