Bila Klaster Pendidikan Tidak Dicabut dari Omnibus Law, Ini Bahayanya…

 Bila Klaster Pendidikan Tidak Dicabut dari Omnibus Law, Ini Bahayanya…

Mediaumat.news – Bila Klaster Pendidikan tidak dicabut dari UU Omnibus Law sebagaimana yang dinyatakan Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim ‘pencabutan klaster pendidikan dari UU Ciptaker hanyalah prank (penipuan)’ maka akan terjadi setidaknya lima bahaya.

“Jika yang disahkan tentang kluster pendidikan itu masih terkait dengan yang terdapat dalam usulan draf RUU yang lalu maka ada beberapa hal yang menjadi catatan penting,” ujar Pengamat Pendidikan Fahmy Lukman kepada Mediaumat.news, Kamis (8/10/2020).

Pertama, jika DPR dan pemerintah menghendaki mengapitalisasi, meliberalisasi, dan dan mengomersialisasikan pendidikan dalam rangka “demi masuknya penanaman modal asing (foreign direct investment ‘FDI)” maka terlebih dahulu harus merevisi dan mengubah dulu Pembukaan dan UUD 1945.

“(Karena) keberadaan pendidikan itu dalam konstitusi RI, Pasal 28 c dan e UUD 1945, merupakan  kewajiban negara. Dalam kaitan ini, pendidikan merupakan fungsi sosial, bukan fungsi ekonomi dan bisnis,” beber mantan Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI di Kairo tersebut.

Kedua, pendidikan akan berubah menjadi mesin industri yang sangat tergantung pada investasi dan produk pendidikan menjadi komoditas ekonomi yang sangat erat kaitannya dengan mekanisme pasar. Pada aspek ini, terkait dengan standar pendidikan nasional berpeluang besar dihapuskan karena dipandang tidak urgen.

Ketiga, apabila pendidikan dalam semua jenjang dilakukan privatisasi maka hal ini menyebabkan substansi pendidikan pada setiap jenjang pendidikan, termasuk pada pendidikan tinggi secara nasional berpeluang menjadi rusak dan kehilangan arah.

Hal ini berdampak pada pemisahan kehidupan akademis dengan realitas kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. “Inilah yang mendorong kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia ke arah pola kehidupan sekuler-liberal akut dan radikal. Pada titik ini berpeluang memunculkan diskriminasi, ketimpangan dan ketidakadilan sosial,” bebernya.

Keempat, keberadaan norma budaya dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia akan semakin tergerus dan terdegradasi akibat persaingan yang ketat antara sekolah dan pendidikan tinggi pribumi dengan sekolah dan pendidikan tinggi asing yang didirikan di Indonesia. “Otonomi pengelolaan perguruan tinggi (PT) bisa menjadi optional antara nirlaba dan tidak, termasuk memudahkan pendidikan asing berdiri di Indonesia,” katanya.

Dalam Pasal 90 misalnya, menurut Fahmy, ada satu persyaratan yang dihapuskan terkait dengan PT asing yang didirikan di Indonesia harus terakreditasi di negaranya, termasuk ketentuan di daerah mana boleh berdiri, jenis, program studi yang boleh dikembangkan, serta kewajiban kerja sama dengan PT lokal dihapus juga.

“Pelanggaran sanksi administratif, pidana, dan denda juga turut dihapuskan. Begitu pula akan terjadi dosen atau calon dosen yang memperoleh gelar kesarjanaan di LN maka tidak wajib diakreditasi untuk mendapatkan sertifikat pendidik, sementara lulusan dalam negeri harus/wajib,” ungkapnya.

Kelima, peluang terjadi disintegrasi bangsa semakin lebar akibat terjadi perbedaan potensi antar daerah yang menyebabkan kecemburuan sosial. “Harus diingat bahwa Indonesia berpenduduk 270 juta jiwa dengan keragaman suku, bangsa, dan agama merupakan pangsa pasar yang besar dalam bisnis dan perdagangan,” pungkasnya.[] Billah Izzul Haq

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *