Manusia Berserikat dalam Padang Rumput, Air dan Api
“Al-muslimûna syurakâ`un fî tsalâtsin: fî al-kalâ`i wa al-mâ`i wa an-nâri”
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Hadits tersebut menyatakan bahwa kaum Muslim (manusia) berserikat dalam air, padang rumput, dan api. Dan bahwa ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu. Imam as-Sarakhsyi di dalam al-Mabsûth menjelaskan hadits-hadits di atas dengan mengatakan, bahwa di dalam hadits-hadits ini terdapat penetapan berserikatnya manusia baik muslim maupun kafir dalam ketiga hal itu. Demikian juga penafsiran syirkah (perserikatan) dalam air yang mengalir di lembah, sungai besar seperti Sihun-Jihun (Amu Darya-Syr Darya), Eufrat, Tigris dan Nil, maka pemanfaatan air itu posisinya seperti pemanfaatan matahari dan udara di mana muslim maupun non muslim sama saja dalam hal ini. Dan tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi seseorang dari pemanfaatan itu. Ini seperti pemanfaatan jalan umum dari sisi berjalan di jalan itu. Dan maksud lafazh syirkah bayna an-nâs (berserikat di antara manusia) adalah penjelasan ketentuan pokok ibahah (kebolehan) dan kesetaraan (musâwah) di antara manusia dalam pemanfaatan (ketiganya) hanya saja ketiga barang itu dimiliki oleh mereka (bersama-sama). Maka air di lembah itu bukan milik seseorang.
Para ulama terdahulu sepakat bahwa air sungai, danau, laut, saluran irigasi, padang rumput adalah milik bersama, dan tidak boleh dimiliki/dikuasai oleh seseorang atau hanya sekelompok orang. Mereka berbeda pendapat tentang sumur, mata air di tanah milik seseorang, padang rumput yang sengaja ditanam seseorang di tanahnya dan semisalnya, apakah boleh dimiliki pribadi ataukah milik umum. Ash-Shan’ani al-Amir dalam Subul as-Salâm mengatakan: “dan dikatakan mungkin yang menyebabkan adanya perbedaan dalam hal air, hal itu karena kemumuman kebutuhan dan toleransi manusia dalam hal (pemanfaatan) itu”.
Hadits tersebut menggunakan bentuk isim jamid, dan isim tidak memiliki mafhum. Maka dari hadits itu sendiri tidak bisa ditarik mafhum ataupun illat. Sehingga terkesan bahwa berserikatnya manusia dalam ketiga hal itu karena zatnya, artinya manusia berserikat dalam sembarang air, padang rumput dan api. Namun jika dikaji lebih jauh dalam masalah ini, ternyata Rasulullah SAW membolehkan sumur di Thaif dan Khaibar dimiliki oleh individu untuk menyirami kebun. Seandainya berserikatnya manusia itu karena zatnya, tentu Rasulullah SAW tidak akan membolehkan air sumur itu dimiliki oleh individu. Dengan demikian, berserikatnya manusia dalam ketiga hal pada hadits di atas bukan karena zatnya, tetapi karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh orang banyak (komunitas) dan jika tidak ada maka mereka akan berselisih atau terjadi masalah dalam mencarinya. Artinya berserikatnya manusia itu karena posisi air, padang rumput dan api sebagai fasilitas umum yang dibutuhkan secara bersama oleh suatu komunitas atau masyarakat. Sifat ini merupakan ‘illat istinbâthan dari perserikatan manusia dalam ketiga hal itu.
Maka meski hadits itu menyebutkan tiga macam (air, padang rumput dan api), namun disertai ‘illat yaitu sifatnya sebagai fasilitas umum yang dibutuhkan secara bersama oleh suatu komunitas. Kaedah ushul menyatakan “al-hukm yadûru ma’a ‘illatihi wujûdan wa ‘adaman (ada dan tidaknya hukum mengikuti ada dan tidaknya ‘illat)”. Sehingga sesuatu apa saja (air, padang rumput, api, sarana irigasi, dan selainnya) yang memenuhi sifat sebagai fasilitas umum yang dibutuhkan secara bersama oleh komunitas atau masyarakat yang jika tidak ada masyarakat akan berselisih dalam mencarinya, maka manusia berserikat di dalamnya. Artinya sesuatu itu merupakan milik umum di mana manusia berserikat dalam memilikinya. Sesuatu itu tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh individu, beberapa individu ataupun negara sekalipun. Individu, sekelompok individu atau negara tidak boleh menghalangi individu atau masyarakat umum memanfaatkannya, sebab harta semacam ketiganya itu adalah milik mereka secara berserikat. Namun, agar semua bisa mengakses dan mendapatkan manfaat dari ketiganya, negara mewakili masyarakat mengatur pemanfaatannya, sehingga semua masyarakat bisa mengakses dan mendapatkan manfaat secara adil dari harta-harta milik umum itu. waLlâh a’lam bi ash-shawâb. [] Yahya Abdurrahman
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 223