Hukum Transplantasi Katup Jantung Babi Pada Manusia
Tanya :
Ustadz, ada teman harus mengganti katup jantung. Bagaimana hukumnya kalau menggunakan katup dari babi? Karena yang paling cocok itu katanya. Syukron. (Arief, Bogor).
Jawab :
Transplantasi katup jantung babi pada manusia adalah proses pemindahan jaringan katup jantung babi pada jaringan katup jantung manusia. Katup jantung adalah semacam “jendela” yang terdapat di antara atrium dan ventrikel pada jantung. Antara atrium kanan dan ventrikel kanan terdapat katup tricuspid. Antara atrium kiri dan ventrikel kiri terdapat katup mitral. Katup-katup ini dapat bermasalah, dan secara medis dapat diganti dengan katup jantung dari babi, yang dikatakan sebagai katup jantung paling cocok untuk jantung manusia. (M. Hasbi, Transplantasi Organ Tubuh Manusia Dengan Organ Babi Menurut Hukum Islam, hlm. 5).
Bolehkah transplantasi ini dalam syariah Islam? Jawabannya, tergantung hukum berobat dengan zat najis atau zat haram dalam syariah Islam, sebab babi adalah zat najis. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/384; Shalih Kamal Shalih Abu Thaha, At Tadaawi bi Al Muharramaat, hlm. 57-60).
Dalam masalah ini ada tiga pendapat; pertama, jumhur ulama mengharamkan berobat dengan zat yang najis atau yang haram, kecuali dalam keadaan darurat. (Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, I/492; Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, IX/662; Imam Syaukani, Nailul Authar, XIII/166).
Kedua, sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah dan sebagian ulama Syafiiyah menghukumi boleh (jawaz) berobat dengan zat-zat yang najis. (Izzuddin bin Abdis Salam, Qawa’id Al Ahkam fi Mashalih Al Ahkam, II/6; Imam Ash Shan’ani, Subulus Salam, VI/100).
Ketiga, sebagian ulama lainnya seperti Taqiyuddin an Nabhani, menyatakan makruh hukumnya berobat dengan zat yang najis atau yang haram. (Taqiyuddin al Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyah, III/116).
Pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah pendapat yang memakruhkan, karena mampu mengompromikan semua dalil, baik yang mengharamkan maupun yang membolehkan. Dalil kemakruhannya adalah adanya larangan berobat dengan zat najis atau haram, namun disertai kebolehan untuk menggunakannya. Larangan tersebut antara lain sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya Allah-lah yang menurunkan penyakit dan obatnya, dan Dia menjadikan obat bagi setiap-tiap penyakit. Maka berobatlah kamu dan janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR Abu Dawud, no 3376). Juga sabda Nabi SAW,”Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kalian pada apa-apa yang telah Allah haramkan atas kalian. (HR Abu Ya’la, Ibnu Hibban dan Thabrani).
Namun, ada beberapa qarinah (petunjuk, indikasi) berupa hadis-hadis yang menunjukkan kebolehan berobat dengan zat najis atau zat haram. Di antaranya, dalam Shahih Bukhari terdapat hadis, orang-orang suku ‘Ukl dan Urainah datang ke kota Madinah menemui Nabi SAW lalu masuk Islam. Namun mereka kemudian sakit karena tidak cocok dengan makanan Madinah. Nabi SAW lalu memerintahkan mereka untuk meminum air susu unta dan air kencing unta… (Shahih Bukhari, no 231; Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, I/367). Hadis ini menunjukkan bolehnya berobat dengan zat najis, karena air kencing itu najis.
Dalam Musnad Imam Ahmad, Nabi SAW pernah memberi rukhshah (keringanan) kepada Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam untuk mengenakan sutera karena keduanya menderita penyakit kulit. (HR Ahmad, no. 13178).
Hadis-hadis di atas menjadi qarinah bahwa larangan berobat dengan zat najis atau haram bukanlah larangan haram, melainkan larangan makruh. Kesimpulannya, transplantasi katup jantung babi pada manusia hukumnya makruh. Wallahu a’lam.[] M Shiddiq al Jawi
Sumber: Tabloid MediaUmat Edisi 205