Stay at Home; Mewujudkan PSBB Ramah Anak
Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si (Koordinator LENTERA)
Stay at home dan program physical distancing selama pandemi corona meniscayakan program school from home (SFH) untuk para peserta didik. Sekolah-sekolah diliburkan. Kegiatan belajar-mengajar dipindahkan di rumah melalui instruksi daring (online) dari sekolah/guru.
Namun demikian, SFH ini bukan tanpa residu sosial di tengah keluarga. Terlebih, para orang tua juga sedang dalam kondisi work from home (WFH). Bahkan ada yang stay at home karena memang sudah di-PHK oleh tempat asalnya bekerja.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyatakan, bahwa penyebaran COVID-19 di Indonesia telah berimplikasi pada aspek sosial-ekonomi serta kesejahteraan masyarakat. Perempuan dan anak adalah kelompok rentan yang terdampak paparan COVID-19 baik pada aspek kesehatan sosial dan ekonomi.
Karena itu, ketika banyak yang terdampak corona, ini bukan hanya soal pengusaha yang bangkrut, buruh yang banyak di-PHK, atau driver ojek online yang kehilangan pelanggan. Namun jauh dari lampu sorot kehidupan, nyatanya banyak anak-anak yang terampas haknya saat pandemi. Khususnya di tengah pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Menurut Menteri Bintang, setidaknya tercatat ada 407 anak telah menjadi korban kekerasan selama pandemi corona merebak di Indonesia. Jika dirinci, 407 orang itu terdiri dari 300 anak perempuan dan 107 anak laki-laki. Seluruh total korban tersebut muncul dalam 368 kasus yang terjadi sepanjang 2 Maret hingga 25 April 2020 (tirto.id, 01/05/2020).
Di samping itu, Bintang juga merilis hasil survei online dari kementeriannya terhadap 717 anak-anak di 29 provinsi terkait program belajar di rumah selama pandemi. Hasilnya, sebanyak 91 persen anak-anak mendapatkan pendampingan dari orang tua selama belajar di rumah (kompas.com, 23/04/2020).
Menanggapi hal ini, Komisi Nasional Perlindungan Anak Arits Merdeka Sirait memprediksi angka kasus kekerasan di lapangan lebih tinggi dari yang dilaporkan Kementerian PPPA. Menurut Arits, salah satu faktor penyebab meningkatnya kekerasan terhadap anak secara tajam (407 korban selama dua bulan) karena memang PSBB yang diteken oleh Presiden Joko Widodo tak berperspektif ramah anak. Menurut Arits pula, tidak ada satu pun aturan di situ yang membahas anak. PSBB hanya untuk orang dewasa, khususnya para pekerja. Sementara untuk anak-anak tidak diatur.
Lebih lanjut Arits menduga, dengan keadaan orang tua yang kehilangan pekerjaan, minimnya penghasilan, dan ketersediaan pangan yang terbatas, potensi kekerasan terhadap anak-anak di rumah semakin meningkat. Ini karena PSBB tak pernah mengatur bagaimana membuat rumah yang ramah terhadap anak, sehingga kekerasan itu bukan sesuatu yang mustahil.
Menurut Arits, hak bermain sudah hilang selama pandemi. Belum lagi jika dalam satu rumah ada beberapa anak. Yang di situ mungkin ada yang memunculkan kejengkelan, atau yang lain.
Oleh karena itu, lanjut Arits, perlu ada gerakan pengawasan, pengaduan, dan perlindungan anak-anak dari potensi kekerasan yang dilaksanakan oleh Satgas COVID-19 di tingkat RT hingga Kelurahan. Intinya, tingkat akar rumput harus turut serta membangun lingkungan yang ramah anak selama PSBB, agar selama di rumah anak-anak tidak jadi korban kekerasan.
Memang, suasana SFH pasti berbeda dengan belajar di sekolah. Sementara, output sistem pendidikan tentu selalu diharapkan menuju terwujudnya generasi yang cerdas dan peduli negeri. Pasalnya, yang terjadi secara umum sistem pendidikan saat ini tidaklah sejalan dengan cita-cita capaian outputnya. Banyak orang tua yang dengan begitu saja menyerahkan pendidikan anaknya kepada sekolah tanpa mengupayakan konsep pendidikan di rumah. Inilah sejatinya yang membuat fungsi keluarga dan rumah kehilangan suasana sebagai tempat belajar-mengajar.
Padahal seharusnya, rumah dan keluarga adalah sekolah pertama dan utama bagi anak. Dengan para ibu selaku guru dan ayah selaku kepala sekolahnya.
Masalahnya, keluarga yang semestinya menjadi pelaku utama pendidikan generasi muslim saat ini juga mayoritas masih berbasis sekular. Masih banyak keluarga muslim yang tidak menyadari pentingnya memiliki tujuan untuk melahirkan generasi dambaan umat.
Pun tantangan internal dari diri orang tua. Banyak di antara mereka yang enggan bersusah payah dan bersungguh-sungguh menanamkan dasar-dasar tauhid (keislaman) yang memadai bagi anak-anak. Implikasinya, mereka lemah dalam mengawasi pergaulan anak. Mereka juga minim memberi teladan dalam sikap keseharian terhadap anak-anaknya.
Sungguh di era sekular ini semakin nampak nyata, parahnya disfungsi keluarga. Padahal keluarga adalah salah satu pihak yang melaksanakan amanah mendidik generasi. Bahkan tak jarang para ibu, selaku guru pertama dan utama di rumah untuk anak-anak, malah tidak punya kesempatan mendidik anak dengan baik karena terpaksa harus menghabiskan banyak waktu di luar rumah turut mencari nafkah.
Inilah mengapa, pembelajaran anak harus senantiasa dikembalikan pada misi penciptaannya oleh Sang Pencipta, Allah SWT. Yang tak lain yaitu untuk beribadah kepada-Nya. Ini sebagaimana firman Allah dalam QS Adz-Dzariyat [51] ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Memang benar, keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi para calon pemimpin. Keluarga ideal akan mampu berperan menjadi wadah pertama pembinaan keislaman dan sekaligus membentengi anak-anak dari pengaruh negatif dari luar.
Peran keluarga menjadi penting karena orang tualah yang paling tahu bagaimana perkembangan dan kemajuan anak, baik fisik maupun mentalnya. Ini sebagaimana firman Allah SWT berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (TQS At-Tahrim [66]: 6).
Dengan mengembalikan peran sebagai sesama hamba Allah, antar anggota keluarga dapat saling mendekatkan diri. Seluruh aktivitas di rumah, selalu diupayakan dalam rangka ketaatan kepada Allah. Langkah ini agar program stay at home senantiasa terealisasi dalam suasana ruhiyah. Hingga dapat memicu semangat untuk mewujudkan visi penciptaan manusia itu sendiri menuju karakter khoyru ummah (umat terbaik).
Dengan demikian, masa physical distancing para murid dengan bersekolah di rumah, justru bisa menjadi sarana untuk merevitalisasi peran keluarga dalam mendidik generasi sehingga bukan kendala lagi untuk mewujudkan PSBB yang ramah anak.[]