Kemana Larinya Keuntungan Penjualan Pertamax Rp 170 Triliun?

 Kemana Larinya Keuntungan Penjualan Pertamax Rp 170 Triliun?

Pengamat perminyakan Rudi Rubiandini membeberkan sedikitnya ada Rp 170 triliun selisih harga jual Pertamax oleh Pertamina selama tidak ada penyesuaian dengan harga jual minyak dunia yang sudah mengalami penurunan.

Menurut Rudi Rubiandini, uang Rp 170 triliun itu tidak masuk ke kas negara. Uang tersebut merupakan selisih harga penjualan Pertamax selama Maret dan April 2020 ditambah empat hingga delapan bulan ke depan.

Rudi melanjutkan nilai jual BBM kini menjadi USD 30 per barrel. Didapat dari harga ICP rata-rata USD 20 per barrel ditambah biaya-biaya USD 10 per barrel. Untuk memudahkan, maka mengambil saja harga produk BBM yang biasa dijual di stok singapura, namanya MOPS, juga saat ini harganya sekitar USD 30 per barrel.

Lebih lanjut, menurut Rudi, untuk menghitung harga jual ke SPBU, masih harus ditambah biaya transportasi, subsidi silang harga sama, keuntungan Pertamina, losses, dan lain-lain senilai Rp 1.800 per liter. Kemudian ditambah PPn sebesar 10%, PBBKB sebesar 5%, serta keuntungan SPBU dan transportasi atau margin sebesar 10%.

“Sehingga dengan harga saat ini dan kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat saat ini, akan ketemu harganya Rp 5.500 per liter,” terang Rudi.

“Yang jadi masalah, sudah dua bulan harga minyak dunia turun, Pertamina belum menurunkan harga Pertamax dari Rp 9000 per liter. Kemana kelebihan Rp 3.500 per liter? Hitung saja 1 juta barrel (159 juta liter) per hari, selama dua bulan dan plus 4-8 bulan ke depan, akan jadi Rp. 170 Triliun, dan tidak masuk ke kas negara,” ungkap Rudi.

Pihak Pertamina sendiri menjelaskan alasan mengapa harga BBM di dalam negeri tidak serta turun mengikuti harga minyak mentah dunia. Pertama, Pertamina, sebagai BUMN akan mengikuti ketetapan pemerintah.

Pertimbangan kedua yakni peran Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) punya kewajiban membeli minyak dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas yang beroperasi dalam negeri.Tujuannya untuk menekan defisit migas yang jadi perhatian Presiden Joko Widodo sejak tahun lalu. Sayangnya, saat ini harga minyak yang dibeli dari KKKS dalam negeri tidak semurah jika Pertamina impor.

Seperti diakui oleh Dirut Pertamina, Nicke Widyawati, harga minyak yang diproduksi lebih mahal dibandingkan dengan impor. “Setelah kita bongkar, ternyata banyak regulasi seperti perpajakan. Memang bebannya lebih tinggi,” ucapnya, Senin, 21 Januari 2020.

Komentar:

Perminyakan di Indonesia sedari dulu memang tidak lepas dari berbagai problem kepentingan pengusaha migas asing maupun lokal, serta para pejabat pemburu rente. Tidak heran rakyat tidak banyak mencicipi manisnya keuntungan minyak bumi. Termasuk saat harga minyak dunia turun lebih dari 50 %, dan banyak negara sudah menurunkan harga BBM, pemerintah justru mempertahankan harga BBM.

Mantan Staf Khusus ESDM Said Didu menyebutkan bila Pertamina sengaja mengambil sejumlah kebijakan untuk tetap mempertahankan harga BBM. Penyebabnya adalah keluarnya Keputusan Menteri ESDM No 62K/MEM/2020 tanggal 20 Februari 2020 yang intinya bahwa harga BBM di Indonesia didasarkan pada harga rata-rata produk kilang minyak di Singapura (MOPS – Mean Oil Platts Singapore) dan hanya dapat ditinjau setiap 2 bulan, yaitu setiap tanggal 24 pada bulan genap.

Dengan permen tersebut maka harga BBM di Indonesia tidak lagi terkait langsung dengan penurunan harga minyak mentah dunia, tetapi tergantung berapa harga minyak hasil kilang Singapura.

Permen tersebut ganjil karena diterbitkan saat harga minyak mentah dunia mulai turun, kemudian harga BBM ditinjau setiap 2 bulan, kemudian harga BBM menggunakan standar harga produk kilang Singapura (MOPS) – bukan harga dasar.

Selain itu kewajiban Pertamina membeli crude oil dalam negeri dari berbagai perusahaan kilang minyak berdasarkan perjanjian KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) justru menjadi beban karena harga yang dijual oleh KKKS jauh lebih mahal dari minyak impor, diakibatkan terlalu banyak regulasi.

Kenyataan yang menyedihkan, minyak bumi yang menjadi kekayaan alam justru tidak bisa dinikmati rakyat. Bahkan di saat harga BBM turun justru pemerintah tetap tidak mau menurunkan harga, padahal negara mendapatkan keuntungan besar.

Ini adalah hasil karut marut tata kelola migas di tanah air sebagai ekses sistem kapitalisme. Dimana kekayaan alam tidak diberikan pada pemiliknya, umat, tapi justru dinikmati oleh kaum kapitalis pertambangan, mafia, dan pejabat pemburu rente.

Negara yang harusnya melindungi kepemilikan umat dan mendistribusikannya pada mereka secara adil, justru melindungi para pengusaha migas. Bahkan keuntungan yang didapat dari tataniaga migas pun tidak dinikmati rakyat, melainkan secuil saja.

Hanya Syariat Islam yang bisa melindungi kepemilikan umat seadil-adilnya.
Dalam Islam migas termasuk kepemilikan umum yang berhak dinikmati umat, bukan diserahkan pada swasta. Negara Khilafah hadir untuk melindungi kepentingan umat dengan tidak tidak mengambil keuntungan kecuali biaya produksi yang layak.

Penguasa hari ini telah mengkhianati kepemilikan umat dan merampas apa yang seharusnya menjadi milik umat. Untuk itu mereka membuat berbagai aturan dan mengubahnya semau mereka asalkan bisa melindungi kepentingan segelintir orang dan kaum kapitalis.

« مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ »

“Tidaklah seseorang diserahi oleh Allah untuk mengurus rakyat lalu dia mati dan di hari saat kematiannya dia menipu rakyatnya, melainkan Allah haramkan surga untuknya.”(HR. Muslim)

Share artikel ini:

Related post

1 Comment

  • ya tinggal tunggu hasil pemeriksaan BPK toh, khan nggak mungkin dibuku ke rekening pribadi Ahok. tdk semua orang menjadi maling spt dia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *