Soal:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Syaikhuna al-jalil, semoga Allah memebri kami manfaat dengan ilmu Anda dan menjadikan upaya Anda untuk menolong agama Allah yang haq berada dalam timbangan kebaikan Anda.
Pertanyaan saya syaikhiy al-jalil adalah zakat zaitun apakah kita mengeluarkannya berupa zaitun atau berupa minyak?
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Syukriy al-Bahriy – Tunisia
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Ya akhiy, kita mengadopsi bahwa tidak ada zakat pada selain gandum, jelai, kurma dan kismis di antara buah-buahan. Kami telah menjelaskan hal itu di buku kami dan di Jawab Soal:
1- Dinyatakan di buku al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah halaman 157-158:
[Jenis hasil pertanian dan buah-buahan yang di dalamnya wajib zakat.
Zakat wajib pada gandum, jelai, kurma dan kismis. Hal itu karena Musa bin Thalhah meriwayatkan dari Umar bahwa ia berkata:
«إِنَّمَا سَنَّ رَسُولُ اللهِ ﷺ الزَّكَاةَ فِي هَذِهِ الأَرْبَعَةِ: الْحِنْطَةِ، وَالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرِ، وَالزَّبِيبِ» رواه الطبراني
“Rasulullah saw tidak lain hanya menetapkan zakat pada empat ini: gandum, jelai, kurma dan kismis” (HR ath-Thabarani).
Dan juga dari Musa bin Thalhah, ia berkata:
«أَمَرَ رَسُولُ اللهِ ﷺ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ – حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ – أَنْ يَأْخُذَ الصَّدَقَةَ مِنَ الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ، وَالنَّخْلِ، وَالْعِنَبِ» رواه أبو عبيد
“Rasulullah saw memerintahkan Mu’adz bin Jabal -ketika mengutusnya ke Yaman- agar mengambil shadaqah (zakat) dari gandum, jelai, kurma dan kismis” (HR Abu Ubaid).
Hadis-hadis ini menjelaskan bahwa zakat pada hasil pertanian dan buah-buahan tidak lain diambil dari empat jenis ini: gandum, jelai, kurma dan kismis, dan tidak diambil dari jenis-jenis hasil pertanian dan buah-buahan lainnya. Hal itu karena hadis pertama, dikeluarkan dengan lafal innamâ yang menunjukkan pembatasan (al-hashr). Dan yang menegaskan pembatasan wajibnya zakat pada empat jenis ini adalah apa yang dikeluarkan oleh al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabarani dari hadis Abu Musa dan Mu’adz ketika Nabi saw mengutus keduanya ke Yaman untuk mengajarkan kepada manusia perintah agama mereka. Beliau bersabda:
«لَا تَأْخُذَا الصَّدَقَةَ إِلاَّ مِنْ هَذِهِ الأَرْبَعَةِ: الشَّعِيرِ، وَالْحِنْطَةِ، وَالزَّبِيبِ، وَالتَّمْرِ»
“Jangan kamu berdua ambil shadaqah (zakat) kecuali dari empat jenis ini: gandum, jelai, kurma dan kismis”.
Al-Baihaqi berkata tentang hadis tersebut: “para perawinya tsiqah dan hadis itu bersambung (muttashil)”. Hadis ini jelas di dalamnya ada pembatasan pengambilan zakat pada hasil pertanian dan buah-buahan, dari empat jenis ini. Sebab lafal illâ jika didahului oleh alat penafian atau larangan maka memberi faedah membatasi apa yang sebelumnya atas apa yang sesudahnya, artinya membatasi pengambilan shadaqah (zakat) atas empat jenis yang disebutkan sesudahnya, yaitu jelai, gandum, kurma dan kismis.
Dan karena lafal gandum (al-hinthah), jelai (asy-sya’îr), kurma (at-tamru) dan kismis (az-zabîb) yang dinyatakan di dalam hadis-hadis tersebut adalah ismun jâmidun sehingga tidak mencakup yang lainnya, tidak secara manthuq, tidak secara mafhum dan tidak pula secara iltizâm. Sebab itu bukan isim sifat, dan bukan ism ma’ân, tetapi dia terbatas pada benda-benda yang dinamai dan disebut. Karena itu, dari lafalnya tidak bisa diambil makna al-iqtiyât (makanan pokok), atau kering (al-yabis), atau simpanan (al-iddikhâr), sebab lafalnya tidak menunjukkan makna-makna dan sifat-sifat ini. Hadis-hadis ini yang membatasi wajibnya zakat pada empat jenis hasil pertanian dan buah-buahan ini, menjadi mengkhususkan lafal-lafal umum yang dinyatakan di dalam hadis:
«فِيمَا سَقَتِ السَّمَاءُ الْعُشْرُ، وَفِيمَا سُقِيَ بِغَرْبٍ، أَوْ دَالِيَةٍ، نِصْفُ الْعُشْرِ»
“Dalam apa yang diairi oleh langit (air hujan) maka sepersepuluh dan dalam apa yang diairi dengan girba atau timba (zakatnya) seperduapuluh”.
Dengan demikian, maknanya bahwa dalam apa yang diairi oleh langit (air hujan) berupa gandum, jelai, kurma dan kismis (zakatnya) sepersepuluh dan dalam apa yang diairi dengan girba atau timba (zakatnya) seperduapuluh.
Dan tidak wajib zakat pada selain keempat jenis hasil pertanian dan buah-buahan itu. Oleh karena itu, zakat tidak diambil dari durra, padi, jagung, buncis, kacang, adas dan biji-bijian lainnya. Sebagaimana zakat juga tidak diambil dari apel, pir, jeruk, aprikot, dan buah-buahan lainnya. Sebab biji-bijian dan buah-buahan ini tidak dicakup oleh lafal al-qumhu (gandum), asy-sya’îr (jelai), at-tamr (kurma) dan az-zabîb (kismis), sebagaimana juga tidak ada nas shahih yang dapat dijadikan sandaran, tidak ada ijmak atasnya. Dan tidak dimasuki oleh qiyas, sebab zakat termasuk ibadah, dan ibadah tidak dimasuki oleh qiyas, dan dibatasi pada topik nas saja. Sebagaimana juga tidak diambil zakat dari sayur mayur seperti mentimun, labu, terong, lobak, wortel, dan lain-lain. Diriwayatkan dari Umar, ‘Ali, Mujahid dan selain mereka bahwa tidak ada zakat dalam sayuran. Hal itu diriwayatkan oleh Abu Ubaid, Al-Bayhaqi, dan lain-lain.] Selesai.
2- Kami telah menegaskan perkara ini dalam Jawab Soal tanggal 08/11/2013.
3- Kemudian dalam Jawab Soal tanggal 12/01/2005 kami membicarakan zakat zaitun menurut beberapa mazhab. Kami katakan:
[ …………………
Dan mereka berbeda pendapat tentang zakat zaitun:
Zakat zaitun wajib menurut hanafiyah, malikiyah, asy-Syafi’iy dalam qawl al-qadîm dan satu riwayat Ahmad:
Sementara asy-Syafi’iy dalam qawl al-jadîd, Ahmad dalam riwayat yang lain, mereka mengatakan tidak ada zakat pada zaitun (lihat al-Mughnî, Syarhu al-Minhâj, Syarhu al-Kabîr bab zakat).
…. dan ada pendapat-pendapat lainnya.
Begitulah, Anda lihat bahwa mazhab-mazhab berbeda pendapat dalam selain empat jenis tersebut. Saya menyebutkan kepada Anda, perbedaan pendapat mereka saja, sebab Anda menyebutkan bahwa mazhab-mazha sepakat atas semua jenis hasil pertanian dan buah-buahan. Dan jika tidak, maka patokannya adalah dalil. Dan kami telah menjelaskan dalil-dalil shahih yang sesuai atas topik tersebut dan bahwa zakat hanya dalam empat jenis yang disebutkan karena keseuaiannya dengan dalil shahih atasnya] selesai.
Saya kutipkan sebagian yang dinyatakan terkait hal ini dari al-Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah:
[Al-mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah, 24/348 menurut penomoran asy-Syamilah).
Zaitun menurut orang yang mengatakan diambil zakat darinya, jika termasuk zaitun yang darinya diperas minyak maka diambil sepersepuluh dari minyaknya setelah diperas, meski minyaknya sedikit. Sebab minyak itulah yang disimpan. Jadi itu pada posisi pengeringan pada semua buah. Dan jika yang disimpan adalah berupa biji maka diambil sepersepuluh dalam bentuk biji jika biji itu mencapai lima wasaq. Ini adalah mazhab al-mâlikiyah dan al-hanâbilah. Malik berkata: “jika zaitun mencapai lima wasaq maka diambil seperduapuluh dari minyaknya setelah zaitun itu diperas. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat dikeluarkan sepersepuluh darinya dalam bentuk biji atas semua kondisi], selesai.
Jika penanya adalah syabab Hizb maka dia harus mengamalkan tabanni pada kami. Jadi tidak wajib atasnya mengeluarkan zakat zaitun, dan ketika itu tidak perlu bertanya: “zakat zaitun apakah kita keluarkan berupa zaitun atau berupa minyak?” Adapun jika si penanya bukan syabab Hizb maka dia harus beramal sesuai pendapat yang dia adopsi. Dan dia harus merujuk kepada mazhab yang dia adopsi dalam topik zakat zaitun, dan apakah pengeluarannya dalam bentuk zaitun atau minyak.
Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
29 Jumadal Ulâ 1444 H
23 Desember 2022 M
https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/86087.html