WTO, Alat Negara Maju Mendesakkan Kepentingan ke Negara Berkembang
Mediaumat.id – Menyoroti gabungan organisasi masyarakat sipil yang mengecam dan menolak kehadiran Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena banyak merugikan rakyat kecil, Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak mengiyakan WTO memang alat negara maju mendesakkan kepentingan ke negara berkembang.
“WTO, sebagaimana halnya IMF dan Bank Dunia, dapat dikatakan sebagai alat negara-negara maju untuk mendesakkan kepentingan mereka ke negara-negara berkembang,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Sabtu (4/12/2021).
Ishak mengkritik agenda liberalisasi perdagangan dunia oleh WTO yang didorong ke seluruh negara tanpa kecuali. Padahal kondisi di masing-masing negara berbeda-beda. Ia membandingkan, negara-negara maju seperti AS dan negara-negara Eropa memiliki sektor pertanian yang kuat sebab mendapatkan subsidi yang besar dari negara. Sementara kebanyakan negara-negara berkembang yang mengandalkan sektor pertanian tidak demikian.
Oleh karena itu, ungkap Ishak, ketika WTO mendorong liberalisasi ke negara-negara berkembang tersebut, maka sektor pertanian yang menjadi tulang punggung ekonomi sebagian besar penduduk mereka terhempas oleh barang-barang dari negara-negara maju. Akibatnya kemiskinan di negara-negara berkembang tersebut semakin bertambah.
“Dampak-dampak seperti ini tidak lagi menjadi perhatian WTO,” ucap Ishak.
Selain itu, Ishak memandang, beberapa kebijakan negara-negara berkembang untuk melindungi ekonomi mereka kerap kali mendapatkan tekanan dari WTO. Ia mencontohkan, proteksi sektor pertanian Indonesia yang berhasil digugat dan dimenangkan oleh AS dan New Zealand di WTO, sehingga bukan hanya aturan itu dicabut, tetapi Indonesia diminta membayar denda sekitar Rp5 triliun.
Akibatnya, kata Ishak, produk-produk pertanian dari AS dan New Zealand, seperti kedelai, daging, dan buah-buahan, dapat masuk ke Indonesia dengan tarif yang rendah. Sehingga dalam jangka panjang, Indonesia semakin bergantung pada produk-produk pertanian impor.
Contoh lainnya, menurut Ishak, adalah kebijakan pemerintah yang melakukan larangan ekspor raw material hasil pertambangan agar dapat diolah terlebih dahulu di Indonesia. Sehingga diharapkan memberikan nilai tambah ekonomi yang lebih besar bagi Indonesia. Tapi saat ini juga digugat di WTO oleh importir dari Uni Eropa yang merasa dirugikan oleh aturan-aturan tersebut.
“Nah, seringkali sengketa-sengketa perdagangan seperti ini dimenangkan oleh negara-negara maju,” bebernya.
Contoh yang mutakhir sebut Ishak, WTO malah mendukung vaksin berbayar ke negara-negara berkembang yang diproduksi oleh negara-negara maju, dengan alasan untuk menjaga hak cipta. Padahal, dengan pengabaian hak intelektual tersebut vaksinasi di negara-negara berkembang khususnya di Afrika yang sangat rendah dapat membantu percepatan penanganan pandemi Covid-19 di level global.
Namun menurut Ishak, WTO yang juga didukung oleh Bank Dunia menolak hal tersebut dengan alasan akan menghambat inovasi di sektor farmasi. Padahal seperti diketahui, produsen vaksin sebagian besar berasal perusahaan-perusahaan di negara-negara maju.
“Dengan demikian, semestinya Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya tidak bergabung dengan organisasi tersebut,” pungkas Ishak.[] Agung Sumartono