WNA Cina Curi Tambang Emas 774 Kg di Kalbar, PAKTA: Tak Mungkin Tak Terdeteksi Sejak Awal
Mediaumat.info – Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Permana mengatakan, mustahil aparat penegak hukum tidak mendeteksi sejak awal terkait adanya aktivitas penambangan emas ilegal oleh warga negara asing (WNA) asal Cina di Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar) baru-baru ini.
“Enggak mungkin tidak terdeteksi,” tegasnya kepada media-umat.info, Sabtu (28/9/2024).
Dengan kata lain, enggak mungkin aparat penegak hukum yang notabene sarat dengan sumber daya yang memengaruhi efektivitas penegakan hukum di dalamnya, tak sanggup sekadar mengetahui adanya aktivitas ilegal tersebut.
Dan menurutnya pula, tidaklah mungkin si penambang bisa leluasa hingga menghasilkan ratusan kilogram emas dan juga perak, jika aparat yang berwenang tak membiarkan karena memang sudah berbagi ‘jatah’ di antara mereka.
“Ya karena main mata dengan para penambang ilegal ini, karena sudah berbagi jatah gitu,” singgung Erwin.
Terkuak sebelumnya, WNA asal Cina berinisial YH terlibat penambangan emas ilegal di Kabupaten Ketapang, Kalbar, yang disidangkan di Pengadilan Negeri Ketapang pada 28 Agustus 2024 lalu.
Perbuatan YH membuat negara rugi hingga Rp1,02 triliun. Angka itu dihitung berdasarkan hilangnya cadangan emas akibat penambangan ilegal.
Dalam persidangan terungkap logam mulia yang berhasil digasak YH melalui aktivitas penambangan ilegal yang dilakukannya di Ketapang sebanyak 774,27 kg emas dan 937,7 kg perak.
Hakikat Ilegal
“Ilegal itu adalah suatu aktivitas pelanggaran terhadap hukum-hukum dari pemilik yang sah dari tambang itu,” jelas Erwin, menyinggung terbongkarnya penambangan ilegal dari sudut pandang Islam.
Maknanya, agar aktivitas penambangan sumber daya alam menjadi benar dan legal, apa pun bentuknya, termasuk emas, haruslah seizin pemilik yakni Allah SWT, dan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan-Nya.
Namun ia menyayangkan, tata kelola dari berbagai jenis pertambangan di negeri ini, tak satu pun yang mendasarkan pada Islam.
“Apakah tambang-tambang di Indonesia ini dikelola sesuai dengan hukum Islam? Kan enggak,” cetusnya, seraya memaparkan dampak buruk berupa distribusi hasil dari pengelolaan tambang yang justru lebih besar dinikmati oleh segelintir orang dalam hal ini oligarki.
Maknanya, ketika tak diatur dengan sistem Islam, tak terlihat pula suatu keadilan baik dari sisi pengelolaan lebih-lebih berkenaan distribusi hasil tambang di tengah kehidupan masyarakat.
Ditambah, ia tak melihat para penguasa berperan aktif dalam mengawasi kegiatan pertambangan dan hubungannya dengan kesejahteraan masyarakat.
Padahal keberadaan tambang yang pada dasarnya milik umum, pemanfaatannya harus berdampak positif bagi kehidupan khalayak ramai. Bahkan ujung-ujungnya tak bakalan mengancam kedaulatan negara sebagaimana saat ini terjadi.
Alhasil keberadaan penguasa saat ini dipandang sebagai stempel “perampokan” sumber daya alam negeri ini. “Akhirnya ya dijadikan stempel saja itu, anggota dewan, pancasilanya juga,” pungkasnya. [] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat