Mediaumat.id – Santainya pemerintah Republik Indonesia menanggapi rilis Peta Baru Cina 2023 yang mencakup Laut Cina Selatan (LCS) serta mencaplok wilayah sengketa maritim zona ekonomi eksklusif (ZEE) Malaysia, Filipina, Indonesia serta Vietnam, Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana mempertanyakan, apakah wilayah Indonesia aman dari klaim Cina?
“Apakah Indonesia tidak tersentuh oleh Peta Baru Cina? Apakah betul wilayah Republik Indonesia aman dari klaim Cina? Atau karena kita memang tidak mau menyinggung the big brother (saudara tua) ini dari sisi diplomasi?” ungkapnya dalam video Peta Baru Cina, Negara-Negara Tetangga Cemas Pemerintah RI Santai? melalui kanal YouTube Justice Monitor, Senin (18/9/2023).
Agung heran, Filipina dan Malaysia sudah komplain terhadap Peta Baru Cina ini, tapi bagi pemerintah Indonesia seperti tidak ada pengaruhnya.
Agung mengingatkan, Peta Baru Cina ini merupakan hidden agenda (agenda tersembunyi) Cina untuk ekspansi. Meski hidden agenda, ucapnya, bisa dibaca melalui kacamata geopolitik.
“Dari kasus Peta Baru Cina ini tampaknya Cina tengah menjalankan teori ruang ala Frederich Ratcel yang intinya berbunyi ‘hanya bangsa unggul yang melegitimasi hukum ekspansi’,” duganya.
Ia melanjutkan, itulah mengapa Cina berani menolak Unclos 1982 (hukum laut internasional yang mengatur batas-batas maritim seperti laut teritorial, ZEE, landas kontinen dan lainnya).
Isu Pembuka
Agung menduga, isu ilegal fishing (penangkapan ikan secara ilegal) di Laut Natuna Utara yang viral beberapa waktu lalu, berdasarkan pola asymmetric warfare (perang asimetris) hanyalah isu pembuka agar Cina menguasai nine dash line (sembilan garis putus-putus) yang lebih luas melalui kekuatan nonmiliter.
“Isu Natuna cuma pintu pembuka, buktinya tindakan tersebut selain di-backup oleh coast guard (penjaga pantai) juga pada jarak tertentu diduga ada kapal militer Cina membayangi para nelayan yang mencuri ikan di ZEE. Jadi apakah ini ada restu dari Cina? Walhasil perlu diwaspadai klaim Cina ini,” ungkapnya.
Agung khawatir, jika hal ini tidak ditanggapi oleh pemerintah Indonesia, kejadian ini berpotensi akan terus berulang.
“Kepentingan rakyat harus didahulukan, dan penguasa harus menyiapkan strategi antisipasi dan terutama tidak membuat kebijakan grubak-grubuk (gegabah), lemah dan bergantung kepada Cina,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun