Mediaumat.id – Praktisi IT Bangun Hartani menilai, banyaknya warganet yang setuju dan mendukung aksi peretas (hacker) Bjorka, sebagai akumulasi ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
“Karena akumulasi dari kondisi saat ini, khususnya di Indonesia, di mana netizen itu sudah distrust terhadap pemerintah,” tuturnya dalam Kabar Petang: Mengapa Bjorka Banyak Pendukung? di kanal YouTube Khilafah News, Senin (19/9/2022).
Artinya, akumulasi distrust atau ketidakpercayaan dan kekecewaan masyarakat seolah-olah diwakili oleh Bjorka yang terkesan melakukan perlawanan terhadap pemerintah.
“Seakan-akan ini kan perlawanan terhadap pemerintah dengan membongkar data-data penting dari pemerintah,” jelasnya.
Apalagi sebelumnya, Bjorka menyasar data-data sensitif dari para pejabat yang menurut Bangun, telah banyak mengecewakan warganet dalam hal ini masyarakat.
Tak ayal dengan implikasinya kepada situasi politik di tanah air yang saat relatif bergejolak, ditambah dengan amplifikasi oleh para warganet, akhirnya terbentuk suatu perlawanan terhadap pemerintah.
“Sejauh ini tentu, karena implikasinya pada akhirnya ke politik, maka mau tidak mau bahwa implikasi politik ini terlihat,” ulasnya.
Namun di balik banyaknya dukungan warganet, ia juga menduga ada orang dalam yang justru ikut membantu menyuplai data-datanya.
“Mungkin beberapa data itu dari hasil kebocoran dari jalur lain, tetapi kemudian ada tokoh-tokoh politik tertentu atau kelompok politik tertentu yang ikut mendukung kegiatan atau aktivitas Bjorka ini, sehingga kemudian disuplai juga datanya,” tandasnya.
Tak Amanah
Menurut Bangun, kebocoran data tersebut tak hanya melulu diakibatkan oleh Bjorka. Tetapi juga diakibatkan tidak amanahnya pemerintah menjaga data-data masyarakat.
“Jangan sampai nanti kesalahan itu hanya ditimpakan kepada para hacker, tetapi harusnya pemerintah pun mendapatkan konsekuensi dari ketidakamanahan dalam menjaga data ini,” terangnya.
Sebagaimana dipahami, pemerintah berkewajiban menjaga setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang.
Maknanya, terdapat ketentuan di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau UU Nomor 11 Tahun 2008 yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum.
Jelasnya, seperti di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019, aturan turunan dari UU ITE, menyatakan, penyelenggara sistem elektronik (PSE) wajib memiliki dan menjalankan prosedur dan sarana untuk pengamanan sistem elektronik dalam menghindari gangguan, kegagalan dan kerugian.
“Namun pertanyaannya kan, standar mana yang dipakai? Terus kemudian apakah pemerintah melakukan pengawasan terhadap PSE ini?” sambungnya, seraya menyebut lucu ketika melihat ayat ketiga yang berbunyi:
‘Dalam hal terjadi kegagalan atau gangguan sistem yang berdampak serius sebagai akibat perbuatan dari pihak lain terhadap sistem elektronik, PSE wajib mengamankan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik, dan segera melaporkan dalam kesempatan pertama kepada aparat penegak hukum dan kementerian atau lembaga terkait’.
“Pertanyaannya, kalau kemudian PSE-nya itu adalah aparat itu sendiri atau lembaga pemerintah dan itu yang kemudian terkena, terbobol, lalu harus melapor ke siapa?” senyumnya.
Dengan demikian, janganlah ketika aurat pemerintah dibuka lantas serta merta menyalahkan pihak yang selalu colak-colek. “Harusnya seimbang,” timpalnya.
Tak Semua Peretas Buruk
Tak bisa dipungkiri, lanjut Bangun, tidak semua peretas adalah buruk. “Lembaga pemerintahan, lembaga swasta, banking, dsb., itu pasti akan memanfaatkan hacker untuk menguji ketangguhan security dari aplikasi yang dia publish ke publik,” bebernya.
Dengan kata lain, sampai kapan pun para peretas bakal selalu dilibatkan untuk menguji sistem keamanan elektronik dimaksud.
Hanya, yang mungkin perlu diklasifikasikan, kata Bangun, ada beberapa peretas yang disebut whitehack atau peretas baik, dan blackhack atau peretas jahat.
Terlepas itu, ia pun berharap agar Bjorka segera menghentikan aktivitasnya. Sebab dari sudut pandang Islam, mengekspos data-data sensitif masyarakat sebaiknya tidak dilakukan.
“Memang itu nanti bisa dimanfaatkan oleh pihak lain yang berniat buruk, karena sebaiknya memang perlu izin dahulu dari pemiliknya,” tuturnya menjelaskan.
Kepada pemerintah pun ia mengimbau untuk mengelola data-data sensitif masyarakat dengan tata kelola yang baik.
“Aturan-aturannya sudah ada, regulasinya mungkin sekilas cukup. Hanya saja turunan dari regulasi tersebut itu tidak diturunkan dengan tata kelola yang rapi sesuai best practices di sistem keamanan informasi yang baik,” urainya.
Misalkan, kata Bangun, UU ITE berikut PP turunannya tidak dijelaskan menggunakan standar-standar sistem keamanan informasi yang mana.
Sebutlah standar ISO 27001. “Itu kan standar internasional terkait sistem keamanan informasi,” sebutnya.
Apalagi pemerintah sedang menggalakkan Industri 4.0, tren otomasis dan pertukaran data terkini dalam suatu teknologi yang mencakup sistem siber-fisik, internet untuk segala, komputasi awan, dan komputasi kognitif.
Namun terlepas itu pula, Bangun menyebutkan, bahwa dukungan dan harapan dari warganet atas Bjorka, harusnya menjadi kesempatan bagi para pengemban dakwah untuk muncul ke ‘permukaan’ menentang segala kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat. “Ini jadi momentum yang baik saya kira,” pungkasnya.[] Zainul Krian