Mediaumat.id – Sejumlah warga Kediri melakukan aksi damai bela Rempang di beberapa titik di antaranya di perempatan Alun-Alun Kota Kediri, Sabtu (23/9/2023). Mereka bersuara lantang menolak relokasi dan investasi sekaligus menyuarakan penolakan UU Omnibus Law.
Hadi Sasongko, salah satu peserta aksi menyatakan keprihatinan menyaksikan intimidasi aparat saat hendak melakukan pengukuran lahan.
“Rakyat sendiri tentu punya alasan untuk menolak relokasi. Meski pemerintah berdalih bahwa warga belum memiliki hak legalitas tanah. Namun, jauh sebelumnya, warga telah mengajukan legalitas tanah, tetapi tidak kunjung diberikan,” ungkapnya.
Ia menambahkan, perencanaan proyek Rempang Eco-City sejak awal tidak partisipatif sekaligus abai pada suara masyarakat adat, padahal masyarakat telah menempati wilayah tersebut sejak 1834.
“Pemerintah juga berdalih bahwa pembangunan Rempang Eco-City merupakan proyek strategi nasional yang dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi,” imbuh Hadi.
Lantas ia menanyakan, “Apakah proyek strategis nasional ini harus mengorbankan rakyat?”
“Melihat latar belakang kasus ini jelas kepada siapa pemerintah berpihak,” ungkap Hadi.
Peserta lainnya, Yuli Sarwanto ikut berkomentar, bahwa kasus di Pulau Rempang bukanlah kasus pertama.
“Berdalih proyek strategi nasional dan mengejar pertumbuhan ekonomi, pemerintah mengorbankan rakyat,” ungkap Yuli.
Menurutnya, kalaupun ada relokasi dan ganti rugi, hal demikian hanyalah obat penenang. Untuk jangka panjang proyek-proyek tersebut hanya menguntungkan segelintir orang. Sejatinya, proyek tersebut adalah proyek korporasi.
“Harus diakui, jeratan investasi para oligarki sudah sedemikian parah. Terlebih setelah ketuk palu UU Omnibus Law yang menghapus seluruh hambatan masuknya investasi di lapangan,” tegas Yuli.
Alhasil, tambah Yuli saat pembangunan suatu negara hanya bersandar pada investasi, saat itu pula arah pembangunan ditentukan segelintir orang. Melalui investasi pula, korporasi dengan mudah mendikte kebijakan pemerintah meski harus mengorbankan rakyat.[] Taufik