Mediaumat.id – Ahli Pidana Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H. menerangkan, anggapan sedang diancam seperti disampaikan dalam surat terbuka wali murid perihal perkara kerudung siswi SMAN 1 Banguntapan, Bantul, DI Yogyakarta, adalah tidak tepat.
“Ancaman bagaimana? Ancaman itu harus ada alat, harus ada kekerasan, menyebabkan orang itu tidak merdeka,” ujarnya dalam Perspektif PKAD: Gorengan Paksa Jilbab, Islamofobia Merebak??!! di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data, Selasa (9/8/2022).
Sebagaimana diketahui, kutipan dari surat terbuka dimaksud sebagai berikut,
Nama saya, Herprastyanti Ayuningtyas, seorang ibu, perempuan Jawa, tinggal di Yogyakarta…
…Guru-guru yang merundung, mengancam anak saya, saya ingin bertanya,…
Lebih lanjut, berkenaan dengan surat itu, terdapat hal-hal yang sengaja ingin dikacaukan. Sebutlah istilah ancaman yang menurut Taufiq, termasuk bagian dari tindak pidana.
“Pembuktiannya tidak mudah. Karena salah satu unsur penting mengancam itu harus ada tiga,” tuturnya.
Pertama, harus dengan kekerasan. Kedua, berakibat seseorang tidak memiliki kemerdekaan. Ketiga, orang yang terancam akhirnya melakukan sesuatu dengan terpaksa.
Karena itu, kata Taufiq, Mahkamah Konstitusi memutus ayat pertama di Pasal 335 KUHP, dan hanya menghidupkan ayat yang kedua. Itu pun bunyinya menjadi ‘Barang siapa secara sengaja melawan hukum, memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain’.
Artinya, untuk menyebut suatu perbuatan bisa dikategorikan mengancam, harus dibuktikan terlebih dahulu. “Tanpa adanya ancaman kekerasan, tanpa adanya paksaan, dan tanpa adanya pelanggaran kemerdekaan, enggak bisa (dianggap mengancam),” tandasnya.
Maka itu, ia memandang, yang mengatakan kejadian terkait pemakaian kerudung tersebut termasuk perbuatan mengancam itu kalau bukan orang hukum, pasti hanya ingin persoalan ini menjadi ramai.
Namun terlepas itu, lanjut Taufiq, pelaku yang menyebarkan hoaks ancaman itulah yang justru harus dikenai peraturan pidana UU Nomor 1 tahun 1946 terutama Pasal 14.
“Justru yang menyebarluaskan beritanya itu layak diancam dengan pasal hoaks. Karena dia menyebarkan kabar bohong,” tukasnya.
Bahkan apabila ternyata mengandung fitnah, pelaku bisa dikenakan Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik berikut pasal selanjutnya mengenai fitnah.
Lantaran itu, ia pun menuturkan, sebelum mengatakan suatu perbuatan sebagai tindakan mengancam, harusnya mengklarifikasi terlebih dahulu dengan meminta pendapat ahli misalnya.
Sehingga tak ayal, ia pun meminta hak para guru terlibat diberikan kembali setelah sebelumnya dilakukan penonaktifan langsung oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X.[] Zainul Krian