Waketum MUI: TWK Mengalihkan Permasalahan KKN yang Sudah Parah

Mediaumat.news – Wakil Ketua Umum MUI Dr. H. Anwar Abbas, M.M., M.Ag. menyatakan polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) yang terjadi di KPK untuk mengalihkan permasalahan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sudah parah.
“Adanya pertanyaan dalam TWK ini menurut saya untuk mengalihkan perhatian, terutama kepada masalah KKN yang sudah parah,” ungkapnya dalam Diskusi Online Media Umat: Pancasila atau Al-Qur’an? (Mengkritisi TWK KPK), Ahad (13/6/2021) di kanal Youtube Media Umat.
Menurutnya, masalah yang disinggung dalam pertanyaan TWK seperti Taliban, radikalisme dan terorisme bukanlah masalah yang sedang menimpa negeri ini. Masalah utama saat ini adalah korupsi yang sudah membuat negeri ini porak poranda.
“Dari data, ada 30 menteri yang ditangkap, gubernur ada 22, bupati dan walikota 124. Ini negeri seperti apa? Jadi, menurut saya negeri ini dalam bahaya kalau melihat data yang terungkap itu, tapi pemerintah kita malah mengalihkan perhatian kita terhadap Taliban, radikalisme dan terorisme, padahal sendi-sendi kehidupan berbangsa itu sudah mereka gerus lewat KKN ini,” jelas Anwar.
Anwar juga mengomentari nepotisme yang sudah banyak merusak BUMN. Penunjukan orang-orang yang tidak berkompeten hanya karena balas jasa kemenangan pilpres itu bisa menghancurkan bangsa.
“Sekarang saya lihat, Garuda utang berapa? BRI utang, negeri ini sudah dililit utang, menteri keuangan juga pusing untuk mencari sumber pendapatan, bahkan muncul ide-ide untuk mengenakan PPN terhadap sembako dan dunia pendidikan, ini sebuah kepanikan,” katanya.
Ia menegaskan, dirinya tidak setuju dengan rencana TWK yang akan dilakukan bukan hanya di KPK karena pertanyaan dalam tes tersebut sangatlah tendensius, terutama kepada Islam.
“Saya tidak setuju dengan TWK karena tendensius, tetapi saya setuju kalau semuanya dididik termasuk presiden dan wakil presiden, para menteri, supaya kita tahu siapa yang paling mengerti dengan wawasan kebangsaan,” jelas Anwar.
Pertanyaan dalam TWK itu menjadi cerminan bahwasanya tidak ada keadilan dan kebenaran yang sebenarnya, yang ada adalah keadilan dan kebenaran yang ditentukan oleh penguasa. “Jadi, menurut saya saat ini kebenaran itu kalau dibenarkan oleh penguasa. Jadi kebenaran dan keadilan yang sebenar-benarnya itu saat ini tidak ada,” pungkasnya.[] Fatih Solahuddin