Soal:
Assalâmu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Semoga Allah melimpahkan berkahnya pada Anda dan semoga Allah memberi kami manfaat dengan ilmu Anda. Tetapi syaikhuna, saya punya dua pertanyaan seandainya Anda berkenan: Pertama, apa dalil bahwa pada wakaf itu disyaratkan pewakaf adalah pemilik fisik apa yang dia wakafkan? Kedua, apakah ada hukum-hukum lainnya selain wakaf yang berbeda dalam hal tasharruf pada tanah antara tanah ‘usyriyah dan tanah kharajiyah? Semoga Allah melimpahkan berkah kepada kita dan partai kita dalam usia dan kesehatan Anda dan semoga Allah membukakan kemenangan melalui kedua tangan Anda, selesai.
Yusuf Abu Islam
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Pertama, masalah wakaf di tanah kharajiyah, hal itu diperselisihkan di antara para fukaha:
1- Di antara mereka ada yang memperbolehkan wakaf pada apa yang diadakan di atas tanah kharajiyah berupa bangunan atau tanaman. Jika seseorang membangun sekolah di atas tanah kharajiyah yang dimilikinya maka dia boleh menjadikannya sebagai wakaf untuk para pelajar … Atau jika dia menanam phon-pohon zaitun misalnya, maka dia boleh menjadikan buahnya sebagai wakaf untuk orang-orang fakir yang memerlukan dengan ketentuan wakaf ini secara kontinyu (terus menerus).
Dinyatakan di al-Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah:
[Ibnu ‘Abidin menukilkan dari al-Khashshaf bahwa ia berkata: “sesungguhnya wakaf toko-toko pasar boleh jika tanahnya milik orang yang membangunnya dengan ijarah, yang mereka tidak dikeluarkan oleh penguasa darinya, dari sisi, saya melihatnya toko itu ada di tangan pemilik bangunan yang mereka wariskan dan dibagi di antara mereka, penguasa tidak mempersekusi mereka dalam hal itu dan tidak mengganggu mereka darinya. Melainkan untuknya fisik tanah yang dia ambil dari mereka dan disirkulasikan dari generasi dahulu ke generasi penerusnya, dan telah berlangsung lama dan dia di tangan mereka, mereka perjualbelikan dan mereka sewakan. Dan boleh dalam wasiyat-wasiyat mereka, mereka hancurkan bangunannya dan mereka kembalikan serta mereka bangun yang lainnya. Demikian juga wakaf adalah boleh.”
Ibnu Abidin berkata: dan dia menyetujuinya di al-Fathu dan arahnya kelangsungan selamanya. Dan jika yang ia jadikan di tanah itu tanaman maka hukum pada wakafnya seperti hukum bangunan. Adapun jika apa yang dia lsayakan pada tanah itu semata menguruknya dengan tanah atau kompos maka tidak boleh mewakafkannya] selesai.
2- Di antara mereka ada yang memperbolehkan wakaf manfaat hingga meskipun secara temporer. Jika salah seorang dari mereka menyewakan rumah selama satu tahun maka dia boleh menjadikan rumah ini sebagai wakaf untuk orang-orang yang memerlukan selama satu tahun yang disebutkan di dalam akad sewa … Atau menyewa tanaman selama jangka waktu hingga berakhirnya panen dan menjadikannya sebagai wakaf untuk orang-orang yang memerlukan selama panen sesuai akad sewa. Artinya, dia memperbolehkan wakaf manfaat dan bukan merupakan syarat harus secara kontinyu (selamanya) tetapi secara temporer juga boleh:
Dinyatakan di al-Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah: [jumhur fukaha hanafiyah, syafi’iyah dan hanabilah berpendapat tidak bolehnya wakaf manfaat sebab mereka mensyaratkan apa yang diwakafkan itu berupa harta yang dimanfaatkan seraya hartanya tetap bertahan, sebagaimana mereka mensyaratkan wakaf itu selamanya (Mughni al-Muhtâj, II/377; Syarhu Muntahâ al-Irâdât, II/492; al-Badâi’, VI/220; Hasyiyah Ibnu ‘Âbidîn, III/359) … dan malikiyah berpendapat bolehnya wakaf manfaat. Jadi siapa yang menyewa rumah selama jangka waktu tertentu maka dia boleh mewakafkan manfaat rumah itu pada jangka waktu itu, dan wakaf itu berakhir dengan berakhirnya jangka waktu tersebut, sebab menurut mereka tidak disyaratkan wakaf itu harus selamanya (asy-Syarhu al-Kabîr wa Hasyiyah ad-Dasûqî ‘alayhi, IV/76; asy-Syarhu ash-Shaghîr, II/298 cet. al-Halabiy)] selesai.
Kedua: ada pendapat yang rajih bahwa wakaf tidak boleh kecuali jika fisik hartanya milik pewakaf dan wakaf itu secara terus menerus. Dan ini yang kami rajihkan dalam masalah ini sesuai dalil-dalil shahih dalam masalah tersebut, dan berikut penjelasannya:
1- Di dalam Syarah Pasal 133 dari Muqaddimah ad-Dustûr bagian kedua dinyatakan sebagai berikut:
(Dan tanah ‘usyriyah dan kharajiyah boleh dipertukarkan dan diwarisi dari pemiliknya sebab itu adalah kepemilikan yang haqiqi bagi pemiliknya sehingga terhadapnya berlsaya semua hukum kepemilikan. Dan itu berkaitan denan tanah ‘usyriyah tampak jelas. Adapun untuk tanah kharajiyah, maka kepemilikannya seperti kepemilikan tanah ‘usyriyah dari sisi kepemilikan, dan tidak ada perbedaan di antara keduanya kecuali dalam dua perkara saja: pertama, berkaitan dengan zat fisik apa yang dimiliki dan kedua, berkaitan dengan apa yang wajib atas tanah itu.
Adapun berkaitan dengan zat fisik apa yang dimiliki maka pemilik tanah ‘usyriyah memiliki fisik dan manfaatnya, sementara pemilik tanah kharajiyah memiliki manfaatnya saja dan tidak memiliki fisiknya. Konsekuensinya, pemilik tanah ‘usyriyah jika ingin mewakafkan tanah yang dia miliki maka dia bisa melsayakan hal itu kapan saja dia inginkan. Sebab dia memiliki zatnya yakni fisiknya. Adapun pemilik tanah kharajiyah jika dia ingin mewakafkan tanah yang dia miliki maka dia tidak bisa melsayakan hal itu. Sebab wakaf itu di dalamnya disyaratkan pewakaf adalah pemilik zat apa yang dia wakafkan. Sementara pemilik tanah kharajiyah tidak memiiki zat tanah tersebut yakni fisiknya, melainkan dia memiliki manfaatnya, sebab fisiknya milik Baitul Mal.
Adapun berkaitan dengan apa yang wajib atas tanah, maka tanah ‘usyriyah wajib di dalamnya al-‘usyru (sepersepuluh) atau nishfu al-‘usyri (seperduapuluh), yakni wajib di dalamnya zakat atas zat harta yang dihasilkan jika mencapai nishab. Adapun tanah kharajiyah maka di dalamnya wajib kharaj, yakni kadar yang ditentukan oleh negara per tahun atasnya.) selesai. Seperti yang Anda lihat, wakaf tidak boleh pada tanah kharajiyah sebab wakaf itu disyaratkan kepemilikan fisik tanah tersebut, sedangkan tanah kharajiyah fisiknya adalah milik Baitul Mal. Jadi pemiliknya tidak memiliki fisiknya tetapi dia memiliki manfaatnya.
2- Kami telah mempublikasikan Jawab Soal pada 13/2/2019 seputar masalah itu. Mungkin Anda menunjuk padanya dalam pertanyaan Anda. Di situ dinyatakan:
(… misalnya, wakaf di dalam keabsahannya disyaratkan kepemilikan zat harta yang diwakafkan. Jadi pemilik tanah ‘usyriyah jika dia ingin mewakafkan tanah yang dia miliki maka dia bisa melsayakan itu kapan saja, sebab dia memiliki zatnya yakni fisiknya. Adapun pemilik tanah kharajiyah jika dia ingin mewakafkan tanah yang dia miliki maka dia tidak bisa melsayakan hal itu, sebab pewakaf itu disyaratkan dia adalah pemilik zat apa yang dia wakafkan. Sementara pemilik tanah kharajiyah tidak memiliki zat tanah tersebut yakni fisiknya, melainkan dia memiliki manfaatnya, sebab fisiknya milik Baitul Mal), selesai.
3- Adapun dalil atas pensyaratan kepemilikan fisik (pokok manfaat) untuk keabsahan wakaf, maka di antaranya sebagai berikut:
– Imam al-Bukhari telah mengeluarkan di dalam Shahîh-nya dari Ibnu Umar ra.
أَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ: «إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا» قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ قَالَ فَحَدَّثْتُ بِهِ ابْنَ سِيرِينَ فَقَالَ غَيْرَ مُتَأَثِّلٍ مَالًا
(bahwa Umar bin al-Khaththab mendapat tanah di Khaybar, lalu dia datang kepada Nabi saw meminta perintah Nabi saw pada tanah itu. Umar berkata: “ya Rasulullah, saya mendapat tanah di Khaybar, saya belum mendapat harta yang lebih berharga bagi saya darinya, lalu apa yang Anda perintahkan dengannya?” Nabi saw bersabda: “jika engkau mau engkau tahan pokok (asal)nya dan engkau bersedekah dengannya”. Ibnu Umar berkata; “maka Umar bersedekah dengannya bahwa tanah itu tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwarisi, dan ia bersedekah dengannya pada orang-orang fakir, kerabat, untuk memerdekakan budak, untuk perang di jalan Allah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak ada dosa orang yang mengurusnya untuk makan darinya secara makruf dan memberi makan orang lain tanpa memperkaya diri”. Dia berkata, “saya ceritakan hadits itu kepada Ibnu Sirin, dia berkata: “tidak mengumpulkan harta”.
– Imam al-Bukhari telah mengeluarkan di Shahîh–nya dari ibnu Umar ra:
أَنَّ عُمَرَ تَصَدَّقَ بِمَالٍ لَهُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ يُقَالُ لَهُ ثَمْغٌ وَكَانَ نَخْلًا فَقَالَ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي اسْتَفَدْتُ مَالًا وَهُوَ عِنْدِي نَفِيسٌ فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ» فَتَصَدَّقَ بِهِ عُمَرُ فَصَدَقَتُهُ تِلْكَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَفِي الرِّقَابِ وَالْمَسَاكِينِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَلَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُوكِلَ صَدِيقَهُ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ بِهِ
(Bahwa Umar bersedekah dengan harta pada masa Rasulullah saw, yang disebut Tsamghun, berupa kebun kurma. Umar berkata: “ya Rasulullah, saya mendapat harta dan harta itu bagi saya berharga, saya ingin bersedekah dengannya”. Nabi saw bersabda: “bersedekahlah dengan pokoknya, tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, tidak boleh diwarisi, tetapi buahnya diinfakkan”. Maka Umar bersedekah dengannya. Sedekahnya itu untuk perang di jalan Allah, membebaskan budak, orang-orang miskin, tamu, ibnu sabil dan kerabat, dan tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya untuk makan darinya secara makruf atau memberi makan temannya tanpa memperkaya diri).
– Imam Muslim juga telah mengeluarkan di dalam Shahîh–nya dari Ibnu Umar, ia berkata:
أَصَابَ عُمَرُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ: «إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا» قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُبْتَاعُ وَلَا يُورَثُ وَلَا يُوهَبُ قَالَ فَتَصَدَّقَ عُمَرُ فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ قَالَ فَحَدَّثْتُ بِهَذَا الْحَدِيثِ مُحَمَّدًا فَلَمَّا بَلَغْتُ هَذَا الْمَكَانَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ قَالَ مُحَمَّدٌ غَيْرَ مُتَأَثِّلٍ مَالًا قَالَ ابْنُ عَوْنٍ وَأَنْبَأَنِي مَنْ قَرَأَ هَذَا الْكِتَابَ أَنَّ فِيهِ غَيْرَ مُتَأَثِّلٍ مَالًا…
Umar mendapat tanah di Khaybar. Lalu dia datang kepada Nabi saw meminta perintah beliau pada tanah itu. Umar berkata: “ya Rasulullah saya mendapat tanah di Khaybar, saya belum mendapat harta yang lebih berharga bagi saya darinya, lalu apa yang engkau perintahkan dengannya kepadsaya?” Nabi saw bersabda: “jika engkau mau engkau tahan pokoknya dan engkau bersedekah dengannya”. Ibnu Umar berkata, maka Umar bersedekah dengannya, bahwa tidak boleh dijual pokoknya, tidak boleh dibeli, tidak boleh diwarisi, tidak boleh dihibahkan. Ibnu Umar berkata: “Umar bersedekah pada orang-orang fakir, kerabat, membebaskan budak, perang di jalan Allah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak ada dosa atas orang yang mengurusnya untuk mekan darinya secara makruf atau memberi makan temannya, tanpa memperkaya diri padanya”. Dia berkata, saya sampaikan hadits ini kepada Muhammad, ketika saya sampai tempat ini “ghayra mutamawwilin fîhi -tidak memperkaya diri di dalamnya-“ Muhammad berkata, “ghayra mutatstsilin mâlan -tidak mengumpulkan harta-“. Ibnu ‘Awn berkata, “dan orang yang membaca kitab ini telah memberitahu saya bahwa di dalamnya dia tidak mengumpulkan harta…)
Begitulah, hadits-hadits Nabi saw jelas dalam menjelaskan wakaf bahwa zat yang diwakafkan ditahan dan manfaatnya dijalankan. Penahannya mengharuskannya dimiliki fisiknya oleh orang yang menahannya, yakni orang yang mewakafkannya sebelum dia menahannya dan mewakafkannya, sebab orang yang tidak memiliki sesuatu dia tidak bisa menahannya. Jadi penahanan sesuatu tidak terjadi kecuali oleh pemiliknya sebab itu merupakan tasharruf pada fisik sesuatu itu. Jika fisik sesuatu bukan miliknya, lalu bagaimana dia boleh melsayakan tasharruf padanya dengan menahannya? … Dan Umar bin al-Khaththab ra adalah pemilik fisik apa yang Nabi saw perintahkan dia untuk menahannya sebagaimana yang ada di dalam hadits-hadits di atas. Umar ra: “mendapat tanah di Khaybar lalu dia datang kepada Nabi saw meminta perintah beliau padanya. Umar berkata: “ya Rasulullah, saya mendapat harta di Khaybar, saya belum mendapat harta yang lebih berharga bagi saya darinya, lalu apa yang engkau perintahkan dengannya?”. Artinya, Umar ra memiliki tanah itu dan menjadi tanahnya yakni dia memiliki fisiknya, kemudian dia datang bertanya kepada Nabi saw tentang bagaimana tasharruf dengan tanah itu … Jadi hadits tersebut menunjukkan atas disyariatkannya wakaf, jelas darinya bahwa pewakaf zat harta haruslah pemilik fisik harta itu … Rasul saw bersabda sebagaimana yang ada di hadits-hadits di atas:
«إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا…»، «تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ…»، «إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا…»
“Jika engkau mau engkau tahan pokoknya…”, “engkau bersedekah dengan asalnya”, “jika engkau mau engkau tahan asalnya …”.
Dan tanah kharajiyah fisiknya tertahan untuk Baitul Mal kaum Muslim. Jadi fisiknya bukan milik pemiliknya. Pemiliknya hanya memiliki manfaatnya saja. Selama pemiliknya tidak memiliki fisiknya karena tertahan milik Baitul Mal, lalu bagaimana dia bisa menahan fisiknya?
4- Ini yang kami rajihkan dan kami tabanni dikarenakan kesesuaian dalil-dalil syara’ atasnya. Yakni, tidak boleh wakaf tanah kharajiyah. Melainkan boleh menjualnya, menghibahkannya, bersedekah dengannya atau dengan harganya, dan semua aktifitas yang boleh secara syar’iy, kecuali seperti yang kami katakan, adalah wakaf yang mensyaratkan kepemilikan fisik, sementara dalam tanah kharajiyah fisiknya dimiliki Baitul Mal.
Ketiga, adapun pertanyaan Anda, “apakah ada hukum-hukum lain selain wakaf yang membedakan dalam tasharruf dalam tanah antara tanah kharajiyah dan tanah ‘usyriyah”, jawabannya bahwa kami tidak membahas perbedaan lainnya berkaitan dengan tasharruf atas tanah kharajiyah dan tanah ‘usyriyah kecuali dua perkara yang disebutkan di atas. Yakni, apa yang wajib atas tanah ‘usyriyah berupa zakat dan atas tanah kharajiyah berupa kharaj, dan perkara kedua, bolehnya wakaf pada tanah ‘usyriyah dan tidak bolehnya wakaf pada tanah kharajiyah.
Ini yang rajih menurut kami dan mutabannat di kami, wallâh a’lam wa ahkam.
Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
21 Rabiul Akhir 1441 H
18 Desember 2019 M
http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/64751.html
https://web.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/posts/1223325497864519?__tn__=K-R
http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/64751.html