Wajib Mengangkat Seorang Khalifah dan Tidak Boleh Lebih dari Satu: Hanya Pendapat HTI?
Oleh: Rokhmat S. Labib
Dalam sidang gugatan HTI kepada Menkumham di PTUN hari Kamis, 15/3/18 kemarin pihak pemerintah menghadirkan Ahmad Ishomuddin, M.Ag sebagai ahli.
Ada banyak pernyataan ahli tersebut yang bermasalah. Namun di antara yang mendesak untuk ditanggapi adalah pernyataannya tentang kewajiban mengangkat satu orang khalifah sekaligus larangan adanya khalifah lebih dari satu.
Menurutnya, ini hanya pendapat HTI. “Hanya HTI saja yang mewajibkan penegakan sistem khilafah dengan kewajiban mengangkat satu orang khalifah, sedangkan di dunia ini hanya boleh ada satu kekhilafahan saja,” ujar Ishomuddin yang pernah menjadi saksi meringankan pada sidang Ahok tahun lalu.
“Tidak ada seorang pun dari madzhab Sunni dalam kitab-kitab mereka yang mewajibkan hanya ada satu negara yang sah di dunia yang sangat luas ini wajib berada dalam genggaman kekuasaan satu orang khalifah,” kata dosen UIN Raden Intan Lampung itu.
Lalu dia berkata “Kitab-kitab fiqh empat madzhab hanyalah mewajibkan pengangkatan pemimpin (nashb al-imam), sebagaimana kewajiban tersebut berdasarkan dalil al-Quran, al-Sunnah, dan al-Ijma’ (konsensus ulama),”
Benarkah kewajiban mengangkat seorang khalifah bagi kaum Muslimin di seluruh dunia dan tidak boleh lebih dari hanya pendapat HTI dan tidak ada seorang pun ulama fiqh yang berpendapat serupa?
Tidak benar. HTI tidak menyendiri dalam soal ini. Banyak ulama yang berpendapat serupa. Mereka pun menyatakan bahwa tidak boleh mengangkat lebih dari seorang khalifah atau imam..
Imam Ibnu Katsir, ketika menerangkan QS al-Baqarah [2] ayat 30, beliau berkata:
فأما نصب إمامين في الأرض أو أكثر فلا يجوز لقوله عليه الصلاة والسلام “من جاءكم وأمركم جميع يريد أن يفرق بينكم فاقتلوه كائناً من كان” وهذا قول الجمهور، وقد حكى الإجماع على ذلك غير واحد منهم إمام الحرمين،.
Adapun mengangkat dua orang imam atau lebih di muka bumi, maka hal itu tidak boleh, berdasarkan Sabda Nabi saw: “Barang siapa yang mendatangi kalian sedangkan urusan kalian terkumpul (pada satu khalifah), dia ingin memecah belah kalian maka bunuhlah siapapun dia.” Ini merupakan pendapat jumhur dan tidak hanya satu orang yang meriwayatkan bahwa itu merupakan ijma’, di antaranya adalah Imam al-Haramain.” (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, I/94).
Telah maklum, menurut para ulama kata al-imam dan al-khalifah itu mutaradif (sinonim).
Hal yang sama juga dikatakan al-Syaikh Abdurrahman al-Jazairi. Ulama tersebut berkata:
اتفق الأئمة رحمهم الله تعالى على : أن الإمامة فرض وأنه لا بد للمسليمن من إمام يقيم شعائر الدين وينصف المظلومين من الظالمين وعلى أنه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا إمامان لا متفقان ولا مفترقان
Para imam (madzhab) rahimahullah sepakat bahwa al-imamah (kepemimpinan) itu fardhu; dan kaum muslimin harus memiliki seorang imam yang menegakkan syiar-syiar agama dan membela orang-orang yang didzalimi dari orang-orang dzalim; Dan bahwa tidak boleh ada dua orang imam atas kaum Muslimin pada waktu yang sama di seluruh dunia, baik keduanya bersepakat atau bertentangan (al-Jaziri, al-Fiqh al Madzahib al-Arba’ah, vol.5/97).
Al-Imam al-Nawawi rahimahullah ketika menerangkan Hadits Nabi saw:
« كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِىٌّ خَلَفَهُ نَبِىٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ ». قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ « فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ ».
Dahulu Bani Israel diatur urusan mereka oleh para nabi, setiap kali seorang nabi wafat digantikan oleh nabi yang lain, dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para khalifah dan mereka banyak.” Mereka (para sahabat) berkata: “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau bersabda: “Penuhilah baiat yang pertama lalu yang pertama, berikan kepada mereka hak mereka, dan sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka diminta mengurusnya. (HR Muslim)
Menjelaskan Hadits tersebut, beliau berkata:
ومَعْنَى هَذَا الْحَدِيث : إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَةٍ بَعْد خَلِيفَة فَبَيْعَة الْأَوَّل صَحِيحَة يَجِب الْوَفَاء بِهَا ، وَبَيْعَة الثَّانِي بَاطِلَة يَحْرُم الْوَفَاء بِهَا ، وَيَحْرُم عَلَيْهِ طَلَبهَا ، وَسَوَاء عَقَدُوا لِلثَّانِي عَالِمِينَ بِعَقْدِ الْأَوَّل أَوْ جَاهِلِينَ ، وَسَوَاء كَانَا فِي بَلَدَيْنِ أَوْ بَلَد ، أَوْ أَحَدهمَا فِي بَلَد الْإِمَام الْمُنْفَصِل وَالْآخَر فِي غَيْره ، هَذَا هُوَ الصَّوَاب الَّذِي عَلَيْهِ أَصْحَابنَا وَجَمَاهِير الْعُلَمَاء
Makna hadits ini adalah apabila seorang khalifah dibaiat setelah setelah ada khalifah, maka bai’at yang pertamalah yang benar dan wajib dipenuhi. Sedangkan bai’at yang kedua adalah batil dan haram dipenuhi. Haram pula baginya (orang yang dibaiat yang kedua itu) menuntut baiat, sama saja apakah orang yang membaiat orang kedua itu mengetahui atau tidak. Sama juga apakah kedua orang (yang dibaiat) itu berada dalam dua negeri atau satu negeri; salah satunya berada di negeri imam yang terpisah atau di tempat lainnya. Inilah pendapat yang benar menurut madzhab kami dan kebanyakan para ulama’ (al-Imam al-Nawawi, Syar-h Muslim ‘alâ al-Nawâwi. Vol. 6/291).
Penjelasan Imam al-Nawawi ini sangat jelas, bahwa adanya dua orang khalifah pada waktu yang bersamaan merupakan sesuatu yang tidak diperbolehkan. Kemudian dai berkata:
وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوز أَنْ يُعْقَد لِخَلِيفَتَيْنِ فِي عَصْر وَاحِد سَوَاء اِتَّسَعَتْ دَار الْإِسْلَام أَمْ لَا
Dan para ulama sepakat bahwa tidak boleh diangkat dua orang khalifah dalam masa yang sama, baik dar Islam luas maupun tidak (al-Imam al-Nawawi, Syar-h Muslim ‘alâ al-Nawâwi, VI/291).
Selain hadits tersebut, larangan tersebut juga terdapat dalam beberapa hadits lain. Seperti sabda Rasulullah saw:
«إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ، فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا»
Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.
Kedua hadit tersebut jelas melarang dengan tegas diangkatnya khalifah pada waktu yang bersamaan. Kerasnya hukuman bagi pelakunya menunjukkan bahwa itu merupakan perbuatan yang diharamkan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kewajiban mengangkat seorang khalifah dan tidak boleh lebih dari satu merupakan pendapat para ulama mu’tabar. Maka bagaimana bisa dikatakan itu hanya pendapat HTI?
Kita tidak memaksa orang lain untuk memiliki pendapat yang berbeda. Namun menjadi masalah ketika orang tersebut membawa-bawa nama ulama, namun para ulama yang disebutnya justru berbeda dangan yang dikatakan.
Jika ahli dari pemerintah itu mengatakan “Saya belum menemukan,” atau “Saya belum mengetahuinya,” tentu kita bisa memakluminya. Sebab, betapa pun pandainya seseorang, tidak menjamin bahwa dia mengetahui semuanya.
Berbeda halnya ketika dia mengatakan ‘tidak ada satu pun’. Ini jelas merupakan pengingkaran terhadap suatu fakta. Ketika faktanya justru menunjukkan sebaliknya, bisa dianggap berdusta. Masalahnya menjadi semakin berat ketika itu disampaikan di depan hakim dalam sebuah pengadilan di bawah sumpah.
Apakah keterangan orang seperti ini masih bisa diterima dan dijadikan rujukan oleh hakim?
Semoga kita senantiasa diberikan Allah Swt petunjuk yang benar sekaligus kekuatan untuk menjalaninya. WaL-lah a’alam bi al-shawab []