Wajib Bersyukur Menjadi Pejuang Agama Islam

Mediaumat.info – Kiai Abu Zaid dari Tabayyun Center mengatakan kaum Muslim yang menjadi pejuang agama Islam haruslah bersyukur.
“Kita di sini harus bersyukur, dari yang bukan siapa-siapa tapi dipilih Allah untuk memikul tugas mulia (pejuang agama-Nya), sementara orang yang siap secara ilmu tidak dipilih,” ungkapnya dalam Liqa Syawal: Ied Mubarak, Merajut Ukhuwah dalam Dakwah, yang diselenggarakan Madrasah Dirasah Islamiyah, Ahad (28/04/2024) di Depok.
Ia pun melanjutkan dengan pertanyaan. “Bagaimana kita mewujudkan rasa syukur itu?” tanyanya kepada ratusan peserta yang hadir.
Menurutnya, untuk mewujudkan rasa syukur dengan bersabar dalam menjalani aktivitas dakwah, misalnya, mengaji pekanan. Jika tidak disabari akan terasa berat, apalagi punya guru yang kurang menyenangkan (judes, galak, jika ditanya jawabnya kurang jelas, kurang mengerti keadaan santrinya) atau sudah sepuh, dan tsaqafahnya tidak bertambah. Hal ini akan membosankan tetapi ingat, tetap harus bersabar.
“Kita harus paham bahwa ngaji sepekan sekali bukanlah untuk kepentingan pribadi kita, dengan ngaji sistem pemerintahan Islam, sistem pergaulan Islam, sistem ekonomi Islam, dan lain-lain itu adalah untuk kepentingan Islam sedunia,” ungkapnya.
Tak hanya itu, ia menilai pengajian setiap pekan adalah perkara yang sangat penting karena di dalamnya penuh dengan keberkahan, sesama pejuang saling menyayangi dan saling perhatian. Bertemu dengan guru, walaupun secara fisik kurang membahagiakan tapi guru membawa berkah.
“Dengan datang dan duduk kita di kajian sudah menjadi keberkahan, jika tidak paham atau ilmunya kurang, bisa bertanya pada guru-guru yang menjadi rujukan kita, atau melihat video, buku atau media cetak lainnya tentang tsaqafah,” jelasnya.
Eksistensi Dua Perkara
Menurutnya, mengaji pekanan menentukan eksistensi dua perkara. Pertama, eksistensi jamaah dakwah, meskipun dakwah sudah meluas tetapi belum ada kelompok halaqah ngaji pekanan berarti eksistensi jamaah belum ada.
Kedua, eksistensi keberadaan diri santri sebagai pengemban dakwah ditentukan oleh konsistensi santri dalam ngaji pekanan.
“Mensyukuri kegiatan rutin harus sabar, seolah-olah menjadi perkara penting dalam kehidupan sehari hari, seperti bernapas. Kalau tidak melakukan aktivitas dakwah itu seakan akan kita berhenti bernapas maka akan mati, maka keberadaan kita sebagai pejuang dianggap tidak ada,” ujarnya.
Ia pun mengingatkan, dakwah butuh pengorbanan bukan tenaga, bukan uang ataupun ilmu tetapi yang paling penting adalah waktu. Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah dalam surah al-‘Asr ayat 1-3, ‘Demi waktu, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan Kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.’
“Waktu bagi kehidupan manusia adalah modal utama seperti seorang pedagang, modal pokoknya adalah uang dalam perdagangan ada untung dan rugi. Manusia diberikan oleh Allah modal yang paling penting yaitu waktu, sementara ilmu, harta, tenaga, pikiran, semuanya numpang di waktu. Selama masih ada waktu kita bisa manfaatkan ilmu, tenaga, harta, pikiran, untuk dakwah,” tegasnya.
Namun jika ajal sudah tiba, jelasnya, maka harta dan ilmu tidak bisa dipakai. Waktu mau dipakai atau tidak untuk berjuang maka akan habis, maka akan rugi karena waktu tidak akan kembali kecuali orang-orang yang beramal shalih dan bertakwa, sebagai bekal di akhirat. Sebagai pejuang harus menyediakan waktu untuk berdakwah dan mengatur jadwalnya. “Jika kita menyediakan waktu dengan serius ilmu, harta, keluarga akan ikut,” tegasnya.
“Satu perkara yang ditakuti oleh kita adalah reseki dan masa depan anak, yang mengakibatkan terhambatnya mengaji pekanan, ragu untuk melangkah, bahkan mengurangi waktu untuk berdakwah. Yakinlah bahwa urusan dunia yang kita pikul pada masanya akan selesai,” pungkasnya. [] Nusroh
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat