Visualisasi Politik Luar Negeri Korosif Turki
Oleh: Umar Syarifudin (pengamat politik internasional)
Dikutip laman Anadolu Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan bahwa operasi militer negaranya di Suriah masih akan terus berlanjut. Setelah Turki berhasil menduduki kota Afrin, operasi berlanjut dengan target menguasai Tal Rifaat di Aleppo dalam waktu singkat dengan dalih wilayah Tal Rifaat telah menjadi markas organisasi teroris. Sebelumnya militer Turki berhasil menduduki Kota Afrin dari Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) pada tanggal 18/3/2018 ditandai dengan pengibaran bendera Turki di atas bangunan pemerintah daerah di sana.
Di bawah pemerintahan Erdogan, Turki lebah agresif dalam politik luar negerinya. Sebelumnya Turki pernah mengirim pesan kepada dunia internasional peringatan tentang niatnya untuk membentuk kekuatan militer terbesar di dunia – Army of Islam (Tentara Islam) yang berjumlah 57 negara untuk menyerang dan menghancurkan negara Yahudi yang terdiri dari 5 juta tentara yang hampir membuat cemas warga Israel. Pengumuman serius datang sebagai tanggapan terhadap keputusan Presiden Donald Trump untuk memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem sebagai pengakuan akan Kota Suci sebagai ibukota resmi negara Israel – keputusan yang membuat marah dunia Islam.
namun tampaknya Erdogan kembali memainkan sentimen kemarahan umat Islam, sebuah retorika kosong tanpa realisasi. Faktanya, AS terus menjalankan keputusannya tanpa ada intervensi dari Turki. Padahal satu-satunya cara untuk membebaskan Palestina dan semua wilayah Muslim lainnya yang diduduki adalah dengan menyatukan semua negeri muslim menjadi satu entitas tunggal yang akan menerapkan tata dunia yang adil.
Di saat ada puluhan ribu wanita dan anak-anak telah disembelih dengan parang dan pisau (Pembantaian Khoula); dibakar dengan senjata kimia dan bom fosfor, kehilangan nyawa mereka di bawah reruntuhan, serta hampir 5,5 juta warga Suriah menjadi pengungsi, dan kini jumlah pengungsi internal dinyatakan sebesar 6,1 juta dimana kondisi sehari-hari mereka menghadapi pembantaian dan penghancuran. Namun, hingga saat ini Turki belum menganggap pembantaian ini sebagai alasan yang cukup untuk memobilisasi pasukannya. Sebaliknya, ia mendukung Amerika Serikat dan Rusia dalam perjuangan mereka dengan segenap kekuatan mereka untuk menyelamatkan rezim Suriah. Turki telah berulang kali mendapat pujian dari Putin dan para pejabat Amerika.
Terkait kasus Afrin, operasi militer Turki di sana dimulai sekitar bulan Januari. Turki mengklaim operasi ini dilakukan untuk menumpas kelompok teroris serta milisi Kurdi yang mendiami wilayah tersebut dan mengancam keamanan perbatasannya. Adapun kelompoknya, antara lain YPG, PKK (Partai Pekerja Kurdistan), KCK (Persatuan Komunitas Kurdistan), dan PYD (Partai Persatuan Demokratik Suriah). Seorang pengamat Timur Tengah dari Rusia, yang menulis di situs berita pro-Kremlin, Vzglyad, mengatakan bahwa Turki kemungkinan membuat kesepakatan dengan Rusia untuk “mengizinkan pasukan rezim ke Idlib sebagai imbalan atas bagian yang tidak terganggu ke Afrin”. Operasi Afrin yang ditawarkan Turki kepada rezim Suriah sebagai alternatif yang buruk yang merugikan kaum muslim Suriah.
Apakah klaim Klaim Erdogan tentang “membentuk kekuatan militer terbesar di dunia” nyata? Pada kenyataannya publik mencermati peran Turki di Suriah sejak Revolusi Suriah dimulai. Turki, dalam kapasitasnya sebagai sekutu dekat AS, telah banyak terlibat di negara tetangga, Suriah dan Israel, untuk memberlakukan rencana Amerika. Untuk kasus Suriah misalnya, Turki berfungsi sebagai tuan rumah untuk “pemerintahan transisi sekuler” di masa depan. Turki diminta AS menjadi salah satu negara penjamin suksesi pemerintahan versi AS, selain Rusia dan Iran; telah melakukan intervensi militer dalam operasi lintas batas seperti “Operasi Euphrates Shield ” di Suriah Utara bersama dengan kelompok oposisi Suriah yang pro-Turki; untuk mengontrol zona de-eskalasi terbesar di Suriah, yaitu Idlib.
Saat Aleppo jatuh oleh rezim al Assad dan warga sipil dan pejuang yang tersisa dipaksa untuk pergi ke Idlib. Sekarang, mayoritas kelompok oposisi berpusat di provinsi Idlib yang merupakan zona de-eskalasi di bawah kendali Turki. Kelompok-kelompok oposisi tidak dapat dengan mudah melintasi zona ini, sehingga dalam arti mereka terperangkap. Selain itu, sesuai dengan perjanjian Astana, mereka dilucuti dan dikucilkan oleh Turki. dan Rusia membombardir Idlib dengan pasukan rezim al Assad sampai hari ini.
Pada titik ini, langkah Erdogan tidak sejalan dengan harapan umat, malah perlu dikritisi yang saat ini tampak melayani skenario Barat, di saat umat Islam di berbagai wilayah telah menyaksikan hampir 100 tahun menderita berbagai jenis pengkhianatan, penyiksaan, penderitaan dan pengabaian. Yang dibutuhkan dari orang-orang yang tertindas ini bukanlah makanan, atau barak darurat di kamp-kamp pengungsian. Namun mereka lebih membutuhkan perlindungan, kesatuan, dan perlindungan hakiki dari seluruh dunia Muslim. Masyarakat tidak butuh penguasa boneka yang telah merusak harapan, dan kerja keras umat Islam. Mereka telah berkontribusi untuk mencegah kebangkitan kebangkitan besar tak tertahankan yang sesungguhnya di dunia muslim ini akan membawa kedamaian bagi seluruh umat manusia ke setiap sudut dunia ini.[]