Vaksinasi Covid-19 Dipercepat padahal Belum Lulus Uji Klinis, Begini Catatan Ilmuwan

Mediaumat.news – Pakar Biologi Molekuler Ahmad Rusydan Utomo Handoyo, Ph.D. mengingatkan pemerintah yang mempercepat vaksinasi Covid-19 sebelum lulus uji klinis yang akan dilakukan pada November 2020 di Bogor.

“Pemerintah harus mengomunikasikan secara transparan bagaimana perkembangan vaksin itu nantinya, tujuannya agar menjawab keraguan masyarakat terhadap efektivitas dan keampuhan vaksin ini, karena uji klinis belum selesai,” ungkapnya kepada Mediaumat.news, Rabu (21/10/2020).

Menurutnya, pemerintah juga perlu mengomunikasikan skenario terburuk, siapa yang bertanggung jawab lalu apa kompensasi dari uji coba tersebut. “Supaya ada pengayoman buat warga, kalau ada apa-apa negara hadir,” jelasnya.

Yang tak kalah pentingnya menurut Ahmad, vaksinasi nantinya jangan dianggap sebagai obat kebal Covid 19, karena data dari virus yang sudah mewabah di seluruh dunia saat ini sangatlah unik.

“Artinya, seperti ini mungkin orang-orang ini tidak akan sakit karena virus, tapi virus ini masih bisa menginfeksi, jadi nanti akan menimbulkan OTG (orang tanpa gejala), yang bisa menularkan ke orang yang belum tervaksinasi, karena vaksin ini tidak bisa serentak, bertahap, itu dampak lain yang bisa terjadi,” tegasnya.

Menurut Ahmad, yang paling penting penerapan test, tracing dan treatment harus lebih gencar dilakukan pemerintah dan masyarakat perlu lebih disiplin menerapkan 3 M (memakai masker, menghindari kerumunan dan mencuci tangan).

Ahmad juga menjelaskan fakta bahwa di seluruh dunia saat ini uji klinis tingkat akhir atau fase ketiga saat ini di seluruh dunia belumlah selesai.

“Apabila ada rencana vaksinasi sudah pasti itu bukanlah vaksin yang lulus uji klinis, terbukti memiliki keamanan dan keefektifan,” jelasnya.

Namun saat ini negara di mana pun di dunia memiliki UEA (emergency use authorization), yaitu klausul yang dimiliki oleh negara tertentu, tugas mereka adalah menimbang ketika ada situasi yang membutuhkan suatu solusi apakah itu obat, apakah itu vaksin, apakah itu alat deteksi.

“Mereka bisa melihat, kandidat obat atau kandidat alat deteksi yang masih pada uji coba seleksi dan harus dalam proses,” kata Ahmad.

Mereka akan mengevaluasi data-data yang terkumpul apakah menurut pandangan otoritas sudah cukup atau memenuhi syarat minimal sehingga bisa diberikan kepada masyarakat. Di Indonesia yang klausul UEA adalah BPOM.

“Jadi nanti yang bertanggung jawab soal vaksin itu adalah BPOM, secara formal vaksin di bulan November itu tetap harus menunggu restu dari BPOM, kalau misalnya BPOM merasa datanya masih belum meyakinkan ya nantinya vaksinya hanya bisa distok saja. Kalau misalnya sudah dibeli, untuk menunggu hasil uji klinis,” pungkasnya.[] Fatih Solahuddin

Share artikel ini: