UU TPKS Disahkan, Begini Kritik Aktivis Gerakan Islam
Mediaumat.id – Advokat dan Aktivis Gerakan Islam Ahmad Khazinudin mengkritik substansi tentang definisi persetujuan seksual (sexual consent) yang termuat di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
“Secara filosofis memang paradigma sekuler liberal yang diadopsi untuk mendefinisikan suatu persoalan,” ujarnya dalam Talk Show: UU TPKS, Legalisasi Perzinaan? di kanal YouTube Ahmad Khozinudin, Senin (18/4/2022).
Artinya lanjut Ahmad, seperti halnya dalam hukum disebut dengan argumentum a contrario (penalaran dengan makna sebaliknya), atau dalam pandangan fikih Islam sebagai mafhum mukhalafah, berarti apabila tanpa kekerasan (baca: dengan persetujuan), suatu aktivitas seksual menjadi dibolehkan.
Diketahui, sejak diinisiasi tahun 2012 oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), RUU TPKS akhirnya resmi disahkan menjadi UU pada Selasa, 12 April 2022, melalui Rapat Paripurna DPR RI. Sebelumnya, pada Agustus 2021, RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) resmi berganti nama menjadi RUU TPKS. Lalu, masuk ke Prolegnas Prioritas 2022 pada Senin, 6 Desember 2021.
Namun begitu, setidaknya ada ada tiga ketentuan tindak pidana yang menurutnya bermasalah. Seperti pemaksaan pelacuran, perkawinan dan aborsi. “Saya garis bawahi ada tiga hal tindak pidana ini bermasalah. Seperti pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan dan pemaksaan aborsi,” jelasnya.
Maka patut ia khawatirkan, walau tidak ada definisi persetujuan seksual misalnya, dan dikarenakan argumentum a contrario, suatu tindakan aborsi dengan persetujuan akhirnya menjadi dibolehkan.
Begitu pun dengan perkawinan, yang menjadi terlarang apabila dengan dilaksanakan tanpa persetujuan. Celakanya, terkait dengan pelacuran, tambahnya, menjadi lumrah bila dilakukan dengan persetujuan.
Padahal, kata Ahmad, kalau dikaitkan dengan pandangan teologis tertentu, akidah Islam misalnya, perspektif persetujuan seksual amatlah keliru.
“Seorang anak (perempuan) yang sebenarnya tidak terlalu ridha dengan calon yang dipilihkan ayahnya, tetapi karena dia ingin berbakti kepada ayahnya, ingin mencari ridha Allah, dia juga mendiamkan dan akhirnya terjadilah pernikahan,” ucapnya memisalkan, yang bahkan hal itu menurutnya boleh dalam Islam.
“Akhirnya, witing tresno jalaran soko kulino. Setelah menjadi suaminya dia kemudian melayani suaminya, berkhidmat kepada suaminya, karena keyakinan dirinya itu, jaminan surga seorang istri itu adalah ketika dia bisa berkhidmat kepada suaminya, terjadi rumah tangga yang sakinah mawadah dan warahmah,” sambungnya.
Hal demikian, lanjut Ahmad, dalam persepektif UU TPKS bisa terkatagori pemaksaan. Sehingga, orang tua yang bersangkutan bisa saja dibui karena dianggap pula melakukan tindak pidana pemaksaan perkawinan.
KHUP
Dan yang paling utama, kata Ahmad yang mengatakan meski belum tahu definisi yang akan diadopsi di UU TPKS apakah sama atau berbeda dengan di RUU KUHP, tetapi yang pasti definisi zina yang diterapkan KUHP menurutnya bermasalah.
Sebab, unsurnya menjadi delik aduan dan mengharuskan salah satu pihak sudah menikah. “Kalau bujang, gadis yang melakukan hubungan seksual atas dasar suka sama suka, maka di dalam KUHP itu tidak menjadi satu kejahatan, tidak menjadi sesuatu yang tercela. jadi dibolehkan,” sesalnya.
Maka dari itu, ia berharap induk UU TPKS yaitu RUU KUHP yang rencananya akan disahkan menjadi UU pada pertengahan tahun ini, sudah memiliki basis teologis dan perspektif yang sesuai dengan akidah Islam. “Itu akan menentukan rincian tindakan-tindakan preventif yang akan diadopsi untuk menanggulangi kekerasan seksual,” tegasnya.
“Misalnya kalau basis teologisnya Islam, jelas dalam melakukan tindakan preventif, di antaranya ada perintah memisahkan laki-laki dan perempuan,” imbuhnya dengan menjelaskan juga, bahwa hukum asal perempuan atau laki-laki adalah bersama mahram atau komunitasnya.
Berikutnya, ada kewajiban mencari nafkah bagi laki-laki. Sehingga diharapkan perempuan tidak bakal berlarian ke ruang publik hanya untuk memenuhi nafkah. “Di situlah kemudian dia berpotensi mendapatkan delik kekerasan seksual. Di angkot dia mendapat kekerasan padahal dia mau berangkat ke pabrik,” ulasnya.
Sementara kondisi yang demikian itu, jelas Ahmad, dikarenakan sistem ekonomi yang tidak berpihak pada Islam. Sehingga tak heran, kewajiban mencari nafkah tidak bisa lagi digantungkan kepada laki-laki. Pasalnya dunia industri lebih menyukai pekerja perempuan.
Sedangkan terkait dengan kekerasan seksual yang selalu menyudutkan pelaku, menurut Ahmad bisa jadi, tidak selalu demikian. “Kejahatan bukan terjadi karena ada niat, tetapi karena ada kesempatan,” kutipnya dari karakter Bang Napi yang dulu biasa tampil di layar kaca berikut pesan-pesannya.
Maka itu lebih jauh ia menegaskan, bahwa perbuatan manusia hakikatnya bukan untuk dibebaskan seperti halnya kaum in determinisme yang memastikan bahwa manusia itu harus memiliki kehendak bebas dari harus dibebaskan.
Sebaliknya, bukan juga untuk dipaksa sebagaimana paradigma psikologi dari mazhab kaum determinisme yang menyangkal adanya kebebasan karena memang dipaksa oleh dialektika alam.
“Artinya individu itu dipaksa, individu itu seperti gerigi dalam roda-roda mesin yang tidak punya kehendak bebas,” tandasnya.
Sementara, Islam tidak melihat dengan kedua persepektif tersebut. “Islam melihat perbuatan manusia itu dalam perspektif syariah, hukum syara’,” tukasnya sembari menyebutkan ada lima ketentuan di dalam hukum syara’: wajib, sunnah, mubah/halal, makruh, dan haram.
Sebutlah pernikahan, yang kata Ahmad, bukan berarti ketika seseorang belum menikah lantas dibebaskan melakukan hubungan seksual yang itu akan menjadi penyebab hilangnya ruh berumah tangga nantinya. “Dan ini merusak. merusak keluarga di dalam sebuah negara,” timpalnya.
Dengan demikian, ia memandang, terlepas nanti RUU KUHP pun disahkan, masalah di UU TPKS tetap menjadi masalah implisit yaitu melegalisasi perzinaan.
Sebab, kembali ia menerangkan, penalaran argumentum a contrario yang menghilangkan unsur paksaan dan adanya unsur persetujuan, menjadikan suatu tindakan itu bukan lagi kekerasan seksual, tetapi justru dilegalkan.
Namun yang paling penting, pesan Ahmad, apakah aturan nanti akan sejalan atau tidak dengan pandangan teologis umat Islam yang memang punya perspektif khusus menyelamatkan umat dari segala persoalan, termasuk masalah seksual, tidak bisa tidak, umat harus kembali kepada paradigma Islam yang telah terbukti mampu mengatur individu, masyarakat hingga negara sekalipun.
“Dan di situlah urgensi penerapan syariat Islam yang berulang kali saya sampaikan,” pungkasnya.[] Zainul Krian