UU Omnibuslaw Cipta Kerja Memarjinalkan Hak – hak Rakyat?
Oleh: Fajar Kurniawan (Analis Senior PKAD)
UU Omnibuslaw disahkan. DPR dan pemerintah dianggap banyak kalangan mengkhianati rakyat dengan menyepakati RUU ini. Beberapa pasal UU Cipta Kerja dianggap menyengsarakan buruh antara lain dihilangkannya pesangon, dihapuskannya UMP, UMK, dan UMSP serta upah buruh yang dihitung per jam.
Selain itu, RUU ini juga menghapuskan semua hak cuti tanpa ada kompensasi. Di antaranya cuti sakit, cuti kawinan, khitanan, cuti kematian, dan cuti melahirkan hilang dan tidak ada kompensasi. Bencana lainnya, UU Omnibus Law ini akan memberi hak kepada pengusaha untuk mengganti – outsourching – dengan kontrak seumur hidup. Buruh akan berstatus kontrak yang terus-menerus diperpanjang. Masih banyak pasal lain yang sangat mengeksploitasi dan menindas buruh. Antara lain, semua karyawan berstatus tenaga kerja harian, libur hari raya hanya pada tanggal merah dan tidak ada penambahan cuti. Selain itu, tenaga kerja asing bebas masuk, dan istirahat hari Jumat hanya satu jam, termasuk Salat Jumat.
Selain itu UU ini dilandasi oleh tingginya motif politik dan ekonomi penguasa, faktor penarik datangnya investasi asing ke negara ini adalah mentalitas Pemerintah Indonesia yang hingga saat ini belum berubah: dianggap sebagian kalangan bergantung pada kekuatan asing untuk membangun negara ini. Strategi pembangunan yang ditempuh Pemerintah saat ini secara substansial tidak berbeda dengan rezim-rezim kapitalis. Dengan mendorong investasi, Pemerintah justru semakin menjerumuskan negara ini dalam kubangan utang. Ketergantungan utang menyebabkan sebagian alokasi APBN terserap hanya untuk membayar utang dan bunganya dalam jangka waktu yang panjang.
Aliran modal yang lebih bebas dalam kerja sama ekonomi komprehensif antara Indonesia dengan asing tercermin pada penggabungan pasar saham, penawaran surat utang, asuransi dan perbankan. Standarisasi aturan dan kualifikasi profesional di sektor keuangan akan menjadi terintegrasi. Dengan liberalisasi dan integrasi sektor finansial, dana investasi dari negeri ini akan lebih mudah tersedot keluar. Arus keluar-masuk investasi portofolio akan makin besar. Nilai tukar mata uang akan lebih mudah bergejolak. Krisis yang terjadi di Uni Eropa dan AS akan makin mudah berdampak ke Indonesia. Pengaruh bank-bank Eropa, China dan AS akan makin dalam dan luas. Transfer modal ke negara2 asing dalam bentuk laba akan meningkat.
Selain itu, kemandirian negara ini juga tergadaikan karena komitmen utang yang disepakati mensyaratkan berbagai hal yang menguntungkan negara pemberi utang, namun merugikan negara ini, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang politik, pertahanan dan keamanan.
Hal yang juga sangat mendasar adalah utang-utang yang ditarik oleh Pemerintah dan BUMN di atas merupakan utang ribawi yang diharamkan secara tegas oleh Islam. Oleh karena itu, tidak ada cara yang dapat ditempuh oleh penduduk negeri ini untuk membebaskan negara ini dari utang dan cengkeraman kepentingan negara dan lembaga donor kecuali dengan kembali menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Sistem tersebut nantinya akan menjalankan roda perekonomian yang mandiri sesuai dengan Islam dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia negeri ini, termasuk menghindari berbagai perjanjian luar negeri yang bertentangan dengan Islam termasuk utang piutang ribawi.
Kerja sama ekonomi anatara Indonesia dan asing akan membuat arus investasi dan jasa termasuk bidang industri, kesehatan dan pendidikan makin deras membanjiri. Tenaga kesehatan dan pengajar luar akan mudah masuk. Para investor asing akan mudah mendirikan pabrik-pabrik dan rumah sakit dan sekolah berkelas Internasional.
Negeri ini kaya akan sumber energi, sumberdaya mineral, sumberdaya nabati dan SDA lainnya. Dengan liberalisasi perdagangan, liberalisasi investasi, liberalisasi energi dan liberalisasi sektor lainnya, kekayaan itu akan lebih menjadi jarahan, sumber bahan baku, sumber keuntungan untuk pihak luar.
Masih ada ancaman lain yang tak kalah berbahaya, yaitu kehancuran basis kehidupan keluarga. Saat beban hidup makin berat, setiap laki-laki ‘terpaksa’ akan menggadaikan tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah keluarga, kemudian bergeser kepada perempuan yang lebih ‘bisa bersaing’ di dunia kerja, termasuk untuk menjadi TKW di luar negeri. Akibatnya, tentu sudah dapat ditebak, yaitu hancurnya sendi-sendi rumah tangga.
Perilaku para pemimpin ini semakin menegaskan mandulnya peran mereka sebagai pemimpin negara, yang lebih memilih untuk memfasilitasi perdagangan internasional dan investasi asing masuk ke negara mereka daripada mensejahterakan dan mengurusi langsung perekonomian rakyatnya. Alih-alih mensejahterakan rakyat kebebasan masuknya investasi dan dominasi asing di dalam pasar domestik, jelas menjadi sarana penjajahan yang paling efektif, dan membahayakan perekonomian negeri-negeri Muslim.
Telah lama terbukti bahwa rezim perdagangan bebas adalah sarana penjajahan negara-negara Barat terhadap negeri-negeri Muslim; seperti ungkapan Henry Clay – seorang negarawan AS “Sebagaimana kita, bangsa-bangsa lain tahu, apa yang kita maksud dengan ‘perdagangan bebas’ tidak lebih dan tidak kurang dari keuntungan besar yang kita nikmati, untuk mendapatkan monopoli dalam segala pasar produksi kita dan mencegah mereka agar tidak menjadi negara produsen.” Di sisi lain potensi pasar dan investasi ekonomi di Indonesia hanya akan dimanfaatkan oleh negara-negara raksasa ekonomi untuk menjadi alat pemulihan krisis finansial diderita UE, AS dan China hari ini yang membutuhkan pasar riil untuk produk mereka. Rezim ini adalah penikmat sekulerisme dan penggila pertumbuhan ekonomi yang akan memperlakukan masyarakat muslim tidak lebih seperti mesin ekonomi penghasil uang yakni sebagai pasar dan buruh murah.[]