UU Minerba Pro Korporasi, Produk Demokrasi untuk Keruk Bumi Pertiwi

Oleh: Wahyudi al Maroky | Dir. PAMONG Institute

Wabah corona yang melanda dunia, termasuk Indonesia semestinya membuat kita introspeksi diri dan fokus menangani wabah tersebut. Banyak doa dan fokus menanganinya agar wabah itu segera berakhir.

Namun tentu tak semua manusia berfikir demikian. Ada saja yang tetap fokus pada agenda masing-masing. Bahkan ada yang memanfaatkan situasi ini demi kepentingan pribadi dan kroninya.

Di tengah kesibukan para petugas medis dan anak bangsa yang berjuang keras menghadapi ganasnya wabah corona, DPR dan pemerintah malah sibuk membahas masalah tambang. Seolah urusan tambang itu lebih penting bagi rakyat daripada cegah virus corona.

Bahkan DPR telah mengesahkan perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) alias UU Minerba. Meski banyak kritik dari publik namun DPR yang dipimpin Puan Maharani itu tetap mengesahkan UU Minerba dalam Rapat Paripurna yang digelar Selasa (12/5/2020).

RUU Minerba ini dibahas dan disahkan dalam situasi wabah corona. Banyak kritik, namun tetap disahkan. Publik menduga ada kepentingan pro korporasi dan ologarki tambang dalam UU ini. Setidaknya ada empat hal penting dibalik UU minerba ini:

PERTAMA; UU Minerba pro korporasi dan oligarki. Bahkan beberapa ahli mengatakan UU ini sarat kepentingan oligarki tambang.

Ekonom Senior Faisal Basri mengatakan ada indikasi menyelamatkan bandar tambang. “Ini elite pesta pora di tengah kondisi seperti ini. Mereka menyelamatkan bandar tambang batu bara dengan UU Minerba,” kata Faisal dalam diskusi virtual ILUNI UI, Rabu (13/5/2020).

Hal senada disampaikan Pengamat Hukum Pertambangan dan SDA Universitas Tarumanegara Ahmad Redi. Menurutnya RUU Minerba jelas hanya dalam rangka mengakomodir perusahaan-perusahaan PKP2B tanpa berpikir untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Direktur IRESS Marwan Batubara mengatakan, betapa kuat dan berkuasanya oligarki penguasa-pengusaha, yang belakangan juga sudah melibatkan DPD RI. Ia mengajak semua elemen masyarakat untuk tetap melakukan advokasi agar BUMN-lah yang diberi mandat mengelola tambang sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945.

KEDUA; UU Minerba Sangat dipaksakan. Apalagi negeri ini sedang hadapi wabah corona. Ekonom Senior Faisal Basri mengaku heran dengan rencana pengesahan tersebut di tengah kondisi pandemi seperti ini.

Direktur Eksekutif Pushep Bisman Bhaktiar mengatakan pembahasan RUU Minerba sangat dipaksakan di tengah pandemi COVID-19. “Tidak ada yang mendesak dengan RUU Minerba ini, kecuali soal perpanjangan PKP2B,” ungkapnya kepada CNBC Indonnsia.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang, Merah Johansyah mengatakan bahwa Pemerintah secara sadar memberikan bentuk jaminan (bailout) untuk melindungi keselamatan elite korporasi, tetapi tidak bagi lingkungan hidup dan rakyat. (tempo.co, 12 Mei 2020).

KETIGA; UU Minerba ini produk dari proses Demokrasi. Banyak pihak yang mengkritik UU Minerba dan UU lainnya yang merupakan hasil proses Demokrasi yang merugikan publik dan pro korporasi. Namun mereka tidak mengkritik sistem demokrasi sebagai penyebab lahirnya UU tersebut.

Lahirnya UU yang pro oligarki maupun yang pro korporasi tak lepas dari pelaksanaan demokrasi itu sendiri. Siapa pun pejabat publik, untuk duduk di kursinya harus mengikuti proses demokrasi yang tak gratis. Bahkan harus mengikuti proses pesta demokrasi yang super mahal.

Dalam demokrasi yang super mahal, nyaris tak ada pejabat publik (rezim) yang terbebas dari Utang. Minimal punya utang janji politik. Setidaknya punya tiga utang politik yang harus dilunasi. Utang kepada para investor politik, kepada partai politik pengusung, kepada rakyat pemilih.

Utang kepada para investor Politik (para pengusaha pemilik modal). Akibat Biaya pesta demokrasi itu dibayar dengan memberikan jabatan atau kebijakan yang berpihak pada kepentingan bisnis mereka. Di titik inilah bertemunya dua kepentingan. Kepentingan bisnis para investor politik dan politisi.

Cara mudah melunasi utang politik kepada para investor politik ini adalah dengan menyetujui proyek-proyek bagi mereka. Tak heran jika sebuah negara yang selesai melaksanakan pesta demokrasi akan membangun banyak proyek besar. Strategi lain adalah pemberian ijin usaha (baik perkebunan, pertambahan, kehutanan, kelautan, dll) kepada para investor politik sebagai kompensasi partisipasi investasi dalam pesta demokrasi.

KEEMPAT; Pengelolaan tambang versi Islam. Dalam Islam, tambang batubara maupun tambang lain yang berlimpah merupakan kepemilikan umum (milkiyah ammah). Negara wajib mengelolanya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, di antaranya untuk biaya pendidikan, kesehatan dan keamanan seluruh rakyat.

Haram hukumnya menyerahkan pengelolaan tambang tersebut kepada swasta (termasuk kepada oknum menteri, mantan menteri, dll). Apalagi kepada asing (seperti AS, Cina, India, dll). Barang tambang tersebut harus dikelola negara dan untuk kemakmuran rakyat bukan segelintir orang.

Jika ada perselisihan dalam pengelolaan kekayaan alam dan urusan yang lain maka semsetinya dikembalikan kepada hukum yang bersal dari zat Yang Maha Baik. Itulah hukum Allah dalam kitab suciNya. “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (TQS. Al-Mā’idah: 45)

Kiranya kekayaan alam bisa menjadi baerkah bagi negeri ini. Bukan hanya dinikmati para korporasi apalagi hanya dinikmati pihak asing. Semestinya kita segera mengurus kekayaan alam dengan Hukum yang sesuai Fitrah Manusia agar damai sejahtera penuh barokah negeri ini. Semoga.[]

Sumber: Facebook.com

Share artikel ini: