UU IKN Rusak Secara Struktural dan Prosedural Hukum

Mediaumat.info – Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) dikategorikan secara hukum sebagai kerusakan struktural dalam prosedural hukum.

“Berkaitan dengan UU otorita IKN itu sangat luar biasa sekali dan sebenarnya secara hukum itu bisa dikategorikan sebagai kerusakan struktural dalam prosedural hukum,” ujar Advokat Muhammad Afif Sholahudin dalam Dialogika: Masyarakat Diusir, Asing Diundang ke IKN; Rakyat vs Ologarki? di kanal YouTube Peradaban Islam ID, Sabtu (16/3/2024).

Pada pasal 42, misalnya.

“Bunyinya gini di ayat pertama, seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan kebijakan pelaksanaan kegiatan persiapan pembangunan, dan pemindahan IKN serta penyelenggaraan pemerintahan daerah khususnya Ibu Kota Nusantara, dan yang B itu peraturan perundangan-perundangan yang mengatur tentang pemerintah daerah itu dinyatakan tidak berlaku,” ucapnya.

Dari bunyi ayat tersebut, bebernya, jelas sekali sangat mengarah pada bentuk pertentangan antara UU yang dipertentangkan dengan UUD 1945.

“Ini kalau misalkan semakin dilabrak bentuk dari tindakan otoriter pemerintah dan juga DPR serta menunjukkan hukum ini dijadikan sebagai alat untuk meraih kekuasaan semau-maunya saja,” bebernya.

Afif menyesalkan prinsip negara ini yang katanya adalah negara hukum namun pada realitanya itu mereka sendiri yang melakukan pelanggaran.

“Oleh karena itu sebenarnya pelanggaran-pelanggaran ini harus ditampakkan terus, diperlihatkan simpel saja,” tuturnya.

Penangkapan

Afif juga menyesalkan terkait penangkapan warga, ketua RT, RW bahkan kepala desa yang ditangkap tanpa adanya surat penangkapan, dan dituduh mengancam proyek pembangunan IKN, meski akhirnya dibebaskan namun masih dalam kategori tersangka sehingga harus wajib lapor, bahkan ada yang ketika bebas keluar pun harus digunduli.

“Jadi, sudah meregulasi yang paling tinggi itu dibuat sediktator mungkin tindakan represif itu, dan dipertontonkan kepada masyarakat supaya jangan ada yang protes,” ungkapnya.

Ini kejam secara strutural, lanjutnya, yang seolah-olah dianggap sebagai kewenangan padahal ternyata itu adalah penuntutan dari rakyat atas hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat, tidak diambil paksa.

“Sebenarnya ujung-ujungnya tujuan hukum itu tidak menciptakan keadilan, kenapa, karena hukum itu menciptakan keseimbangan untuk pembuat hukum dan keadilan itu merupakan standar dari sebuah pemikiran dari si pembuat hukum,” bebernya.

Jadi, lanjutnya, kalau misalkan menurut masyarakat itu tidak adil itu sah-sah saja, namun jika itu dikatakan si pembuat hukum itu adil walapun represif yaitu adalah sebuah pembenaran.

“Karena memang tujuan pembuatan hukum itu ya itu tadi (keseimbangan bagi pembuat hukum),” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi

Share artikel ini: