Mediaumat.id – Perihal disahkannya RUU Ibu Kota Negara (IKN) menjadi UU oleh para wakil rakyat di Senayan pada Selasa (18/1), mengundang tanya banyak pihak termasuk dari Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY).
“Sebenarnya mereka itu sedang bekerja untuk siapa? Kalau betul untuk rakyat, ini hari survei-survei membuktikan, tadi survei sudah disampaikan itu saya kira angkanya itu bukan kecil ya, penolakan itu sampai 60, 70 bahkan ada 80%,” ujarnya dalam Bedah Media Umat: Ibu Kota Baru, Untuk Siapa? di kanal YouTube Media Umat, Ahad (23/01/2022).
Memang, lanjut UIY, pindah ibu kota negara bukan perkara istimewa. Banyak negara lain yang melakukan itu. Australia memindahkan ibu kotanya dari Sydney ke Canberra. Malaysia pun sama, dari Kuala Lumpur ke Putrajaya, dsb.
Hanya saja secara Indonesia, menurut UIY tidak ada pertimbangan krisis atau pun keharusan mendesak untuk memindahkan ibu kota. “Tidak ada sense of crisis, tidak ada sense of urgency, tidak ada sense of macam-macam,” ucapnya.
Justru ia melihat permasalahan di Jakarta, semisal kepadatan penduduk, banjir maupun kemacetan, sudah lebih bagus dari sebelum-sebelumnya. “Bahkan sudah masuk sebagai salah satu kota dengan transportasi publik terbaik,” ungkapnya.
Kalaupun gagasan pindah ibu kota pernah terjadi di masa Bung Karno yang ingin memindahkan dari Jakarta ke Palangkaraya, menurut UIY, tidaklah cukup menjadi dasar harus pindah sekarang.
Ia juga menilai, isu pemindahan IKN menghangat sepulang Presiden Jokowi dari Dubai awal November lalu dengan membawa komitmen investasi hingga Rp637 triliun. “Investor di sana mempertanyakan, apa landasan hukumnya untuk bisa ini (investasi aman)?” bebernya.
Sehingga, UIY menyimpulkan, lebih ke faktor bisnis saja yang menjadi dasar memindahkan IKN dari Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. “Jadi lebih faktor-faktor itu, faktor-faktor ekonomi, faktor-faktor bisnis,” tuturnya.
Padahal, menurutnya, keadaan negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Sebutlah angka 30 juta rakyat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan menurut Bappenas, untuk memperoleh Rp10 ribu per orang, per hari saja mereka sulit.
Belum lagi angka putus sekolah yang juga masih cukup tinggi. Usia pendidikan sekolah saat ini hanya mencapai pendidikan 8 tahun. Artinya, menurut UIY, tingkat SLTP saja enggak selesai karena memang kebanyakan dari mereka kesulitan biaya.
Ibarat ada istilah anak durhaka, pemimpin atau penguasa negeri ini ia gambarkan sebagai orang tua yang durhaka. “Itu tak ubahnya seperti ini, ini ada orang tua punya anak banyak. Anaknya itu tidak semuanya sekolah. Ada yang kelaparan, ada yang punya masalah kesehatan segala macam, lalu dia bikin rumah mewah, dia beli mobil mewah,” terangnya.
Maka itu, ia anggap sangat wajar jika banyak pihak yang menolak UU IKN ini. “(Bahkan) orang-orang seperti Prof. Azyumardi Azra yang biasanya sangat pro terhadap rezim, ini hari dia turun gunung juga untuk membangkitkan perlawanan terhadap keputusan ini,” tandasnya.
Kekuatan Uang
Dengan kekuatan uang, para oligarki membeli birokrasi, yang dengan itu mereka mudah memperoleh konsesi termasuk pengelolaan sumber daya alam khususnya batu bara yang harganya akhir-akhir ini menjadi polemik.
Sebagaimana di dalam UU Minerba No. 3/2020, terdapat pasal 169 yang menjamin kepastian perpanjangan kontrak hingga 2 kali 10 tahun dengan opsi 2 kali 10 tahun lagi. Padahal di UU Minerba sebelumnya, UU No. 4/2009, harus dikembalikan kepada negara.
Apalagi diketahui, ladang batu bara yang luasnya mencapai 380.000 hektare berikut cadangan yang sangat melimpah dan dikuasai oleh 7 pemilik Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) itu dalam waktu kurang dari lima tahun, habis masa kontraknya.
Kebijakan royaltinya pun banyak menuai sorotan publik. Karena memang diatur hingga 0%. “Memang PKP2B menantikan betul itu perpanjangan otomatis. Dapatlah dia 2 kali 10 dengan opsi 2 kali 10 lagi, 40 tahun, royalti 0%. Itu gurih sekali,” jelasnya.
Selain itu, banyak keputusan-keputusan publik yang menurut UIY, tidak masuk akal bagi rakyat biasa, tetapi sesuai dengan kemauan para oligarki. UU Minerba salah satunya.
Begitu pula dengan pengesahan RUU IKN tempo hari. Yang dengan itu, para oligarki pemilik modal akan dengan leluasa berhitung terkait investasi di daerah calon ibu kota negara tersebut.
Padahal, meskipun dibantah oleh pemerintah terkait skema pembiayaan dengan porsi 53% diambil dari APBN, UIY mengatakan, tetap saja berdampak akan dikuranginya alokasi pembiayaan penting lainnya. “Artinya yang menjadi korban adalah rakyat, yang pesta pora adalah oligarki. Jadi di mana keadilan itu?” herannya.
Oligarki Hilang
Menurutnya, oligarki bisa hilang dengan beberapa kondisi. Pertama, apabila sumber-sumber dana mereka diputus. Dengan kata lain, usaha mereka mengeksploitasi pengelolaan sumber daya alam khususnya batu bara itu dihentikan. Lantas pengelolaannya dilakukan oleh negara.
Kedua, mengeringkan kolam kapitalisme yang telah menjadi habitat para oligarki pemilik modal. “Oligarki itu tumbuh di dalam lingkungan kapitalistik. Jika kapitalisme kering, ibarat kolam tadi itu, maka ikan selesai,” gambarnya.
Namun menurut UIY tidak berhenti di situ. Memutus dan mengeringkan kolam kapitalisme hanya mungkin dilakukan oleh pemimpin yang kuat berikut sistem alternatif yang menggantikan kolam tersebut.
“Tidak ada ini hari yang bisa kokoh melawan kapitalisme kecuali Islam, sistem ekonomi Islam. Itulah yang akan mengeringkan kolam kapitalisme, oligarki pemilik modal akan selesai,” tuturnya.
Sebab selain sesuai syariat, kacamata akhirat akan menjadi pertimbangan penguasa dalam setiap pengambilan keputusan publik.
“Jikalau dia mengambil keputusan bertentangan dengan syariat, urusannya bukan dengan manusia, dengan rakyat, tetapi urusannya dengan Allah sampai negeri akhirat,” tegasnya.
Maka itu, ia mengingatkan, semua tidak ada yang abadi termasuk kekuasaan yang telah serampangan mengambil keputusan. “Itu akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat dan pasti ada penyesalan yang luar biasa pada suatu waktu nanti di sana,” pungkasnya.[] Zainul Krian