Mediaumat.id – Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng mengungkap alasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) —yang menjadi biang kerok jatuhnya minyak nasional— gagal direvisi.
“Mengapa selama ini UU Migas gagal direvisi sesuai aturan pembentukan peraturan perundangan yang berlaku?” ujarnya memulai penjelasannya kepada Mediaumat.id, Rabu (25/5/2022).
Ia menyebut ada empat alasan. Pertama, ego sektoral dari stake holder migas, khususnya lembaga legislasi (banyak fraksi). Kedua, adanya politik transaksional dari oknum lembaga legislatif dan eksekutif. Ketiga, sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah lemah. Keempat, pergantian aktor di badan legislatif sesuai dengan periode menjabat ditambah dengan tahapan pembentukan RUU menjadi UU yang begitu panjang.
Melempem
Salamuddin menyayangkan, pemerintah yang seharusnya pro aktif dalam mendorong revisi UU tersebut malah melempem. Ia pun menyebut empat faktor yang membuat pemerintah melempem. Pertama, tidak adanya kesepakatan mengenai konsep perubahan UU antara anggota legislasi dan pemerintah. “Pemerintah kurang inisiatif,” tegasnya.
Kedua, minat dan kepercayaan investor migas menurun dan muncul pandangan hukum di Indonesia mudah diintervensi. “BUMN banyak dirugikan, namun BUMN kurang inisiatif,” tuturnya.
Ketiga, implementasi antara UU dengan pelaksanaan tidak sesuai. Banyak pihak mengambil untung dari situasi tidak pasti. Keempat, keberlanjutan pembahasan RUU menjadi terhambat karena perbedaan pandangan dan kompetensi anggota badan legislatif yang terdahulu dengan yang sedang menjabat.
Menurutnya, gagalnya revisi UU tersebut telah berakibat pada beberapa hal. Pertama, kontrak-kontrak yang mengacu pada UU Migas seolah-olah memiliki kekebalan terhadap perubahan legislasi yang terjadi di Indonesia sehingga perubahan legislasi yang ada tidak bisa mempengaruhi kontrak-kontrak yang telah terjadi.
Kedua, nilai country risk menjadi tinggi dan mempengaruhi nilai investasi dan nilai pengembalian investasi atas risiko dan suku bunga bank. Ketiga, penyalahgunaan izin wilayah kerja, pengembangan lapangan migas, dan kecurangan amdal yang menimbulkan kerugian negara dapat terjadi dengan mudah.
Keempat, masing-masing pemangku kepentingan memperjuangkan kepentingan institusi bahkan jabatan masing-masing sehingga berpotensi mengorbankan kepentingan negara yang lebih besar.
Ia menilai, seharusnya menteri ESDM selaku leading sektor dalam migas berjuang atas nama pemerintahan Jokowi untuk empat hal. Pertama, menyelesaikan revisi UU Migas secara komprehensif. “Sekarang momentum yang pas pada saat harga minyak naik,” tegasnya.
Kedua, memberikan jaminan kepastian berusaha kepada BUMN migas dan menjamin segala risiko kepada investor yang bekerja sama dengan BUMN agar mereka tidak takut dengan hukum Indonesia.
Ketiga, menyerahkan sektor hulu migas di bawah komando Pertamina dengan dukungan kebijakan, anggaran dan mengusahakan investor yang bonafit untuk bekerja sama dengan Pertamina.
Keempat, meningkatkan sinergitas dan integritas pemangku kepentingan, melepaskan bisnis pribadi berkaitan dengan jabatan, membantu negara dalam meningkatkan penerimaan negara dari migas membangun stabilitas agar tercipta kepastian hukum dan kenyamanan dalam berusaha.
Biang Kerok
Daeng mengatakan, UU Migas perlu segera direvisi karena menjadi biang kerok jatuhnya produksi minyak, dan menurunnya pendapatan negara dari minyak. Ia membeberkan empat alasannya.
Pertama, keberadaan UU Migas ini tidak lagi kuat untuk mengatur migas. “UU ini telah beberapa kali mengalami pengujian di MK, yang mengakibatkan perubahan mendasar dari isi dan struktur kelembagaan yang diatur dalam UU Migas. Presiden SBY kala itu menyiasati putusan MK secara tidak tepat mengakibatkan konflik kelembagaan di migas parah dan berkepanjangan,” jelasnya.
Kedua, UU Migas menimbulkan aturan yang tidak pasti terkait kelembagaan, kontrak migas, dan konsep penguasaan negara atas migas. “Misalnya UU ini dapat diterjemahkan dalam konsep cost recovery, atau gross split atau bagi hasil lainnya yang meresahkan pelaku usaha migas,” terangnya.
Ketiga, UU Migas gagal dalam mengatasi konflik antara pemerintahan sendiri, konflik antar lembaga dan konflik antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam sektor migas, banyak sekali lembaga pemerintah atau entitas yang terkait pemerintah berebut otoritas dan memperjuangkan kepentingan sendiri sendiri. Meskipun semuanya tidak mampu bekerja mengangkat produksi migas.
Keempat, UU Migas gagal menarik minat pelaku usaha dalam menanamkan modalnya dalam investasi migas. “Juga gagal dalam menarik minat lembaga keuangan melakukan pembiayaan. Gagal menekan risiko usaha di bidang hulu migas,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it