Utang Tersembunyi Indonesia, Upaya Siasati Regulasi Rasio Utang?

Mediaumat.news – Tanggapi laporan riset lembaga AidData yang membeberkan sejumlah negara menumpuk utang tersembunyi, termasuk Indonesia, Ketua Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) Dr. Julian Sigit, M.E.Sy. menilai, hal itu bisa menjadi upaya menyiasati regulasi terkait besarnya rasio utang.

“Bisa jadi kalau kita melihat bahwa utang tersembunyi itu adalah bagian dari untuk menyiasati bahwa rasio utang Indonesia dalam konteks PDB ini kan kalau dalam konteks regulasi ada batasannya,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Jumat (8/10/2021).

Dilihat secara regulasi, lanjut Julian, rasio utang yang diperbolehkan tidak lebih dari 60 persen terhadap PDB. Sementara jumlah utang pemerintah Indonesia berdasarkan data per April 2021 yang dipublikasikan Kemenkeu sudah mencapai sekitar Rp6527 triliun, atau rasionya sudah mencapai 41 persen lebih.

Sehingga apabila utang tersembunyi Indonesia seperti yang AidData sebutkan sebesar kurang lebih Rp266 triliun ikut dipublikasikan, maka persentasenya bisa lebih. “Bisa jadi ini muatan untuk tidak memperbesar rasio utang Indonesia, utang luar negeri terutama seperti itu,” tekannya sekali lagi.

Julian melihat, utang tersembunyi tentu semakin menambah beban APBN. “80 persen lebih APBN itu disumbang dari hasil pajak. Kalau pajak kan dari masyarakat. Ujung-ujungnya nanti yang akan terbebani adalah masyarakat,” ujarnya.

Maka itu, agar dalam konteks pembayaran utang pemerintah tidak terkesan ‘gali lubang tutup lubang’, Kemenkeu akhirnya berencana mengoptimalkan masyarakat untuk membayar pajak dengan salah satunya mewajibkan atau menyinkronkan nomor induk KTP dengan wajib pajak.

Apalagi jika dilihat dari alokasi APBN untuk membayar utang per tahunnya saja sangat besar. “Bahkan ini melebihi anggaran untuk kesehatan, untuk pendidikan. Rasionya cukup besar, sekitar Rp400 triliun anggaran untuk bayar utang,” bebernya.

Bukan Sekadar Utang

Lebih dari itu, Julian mengatakan, utang luar negeri dalam konteks tersembunyi bukan sekadar urusan utang piutang semata. Tapi merupakan cara paling berbahaya untuk merusak kedaulatan atau eksistensi suatu negara.

“Kalau ditelaah lebih jauh dalam konteks politik ekonomi, ini memang sejalan dengan visi misi dari negara Tiongkok (Cina) yang ingin mewujudkan jalur sutera yang bombastis,” jelasnya.

Pasalnya, dari data yang ia dapatkan, Cina telah mengeluarkan anggaran sekitar 85 miliar dolar AS per tahun untuk pembangunan infrastruktur di luar negaranya termasuk Indonesia. “Dan data ini tentu dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan anggaran dari AS,” imbuhnya.

Namun di sisi lain, berdasarkan data lain yang juga Julian dapatkan, ternyata pemerintah Cina sendiri juga memiliki utang tersembunyi yang cukup besar. Di tahun 2020 saja sekitar 14.8 triliun yuan, atau kurang lebih sekitar 2,3 triliun dolar AS.

Meski demikian, tetap saja skema-skema utang yang ditawarkan Cina sebenarnya dapat menghancurkan nilai mata uang negara debitur. “Ini terjadi di negara yang dia itu sulit membayar, akhirnya mata uang yuanlah yang kemudian dijadikan mata uang negaranya,” tambahnya.

Selain itu, bahaya jangka panjang sebuah utang bisa pula menyasar kedaulatan negara. Bahkan menurutnya, bisa jadi komoditas-komoditas berharga bagi negara debitur, terutama dalam konteks ini Indonesia, dijadikan sebagai garansi untuk membayar utangnya. “Maka memang, sedikit banyak bahwa utang itu adalah bentuk penjajahan gaya baru,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: