Utang Tembus Rp6.570,17 Triliun, Tanda Kinerja Perekonomian Lemah
Mediaumat.news – Semakin besarnya utang pemerintah yang tercatat di kementerian keuangan per akhir Juli 2021 dan telah menembus angka Rp6.570,17 triliun dengan rasio lebih dari 40% terhadap produk domestik bruto (PDB), menandakan kinerja perekonomian di Indonesia sangat lemah.
“Utang itu menandakan bahwa kinerja dari ekonomi, bahwa transaksi dan pondasi ekonomi kita itu sangat lemah dan tidak memberikan pendapatan (nilai tambah) atas modal (utang pokok),” ujar peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dr. M Rizal Taufikurrahman dalam Kabar Petang: Bahaya Laten Warisan Utang Luar Negeri, Selasa (31/8/2021) di kanal YouTube KC News.
Ia menyebutkan, dari kenaikan utang tahun 2020 ke 2021 yang sebesar Rp1.135,31 triliun, sekitar Rp700 triliunnya digunakan untuk pembiayaan program percepatan ekonomi nasional (PEN). Meski demikian, besaran utang yang notabene sudah menyentuh hampir Rp6600 triliun tersebut, menurutnya menjadikan beban pembiayaan APBN bertambah sangat berat.
Di sisi lain, sebagaimana kekhawatiran BPK yakni rasio utang terhadap PDB yang terus meningkat, Rizal juga menilai hal itu sebagai ketidakmampuan pemerintah menutupi defisit anggaran kecuali dengan utang. “Bahkan setiap tahun kita malah selalu menambah utang. Dan utang pokoknya juga bertambah, bunga utang pinjaman juga semakin besar,” ungkapnya.
Bahkan seperti diprediksi sebagian kalangan, pada akhir periode pemerintahan saat ini, akan mewariskan utang sebesar Rp10.000 triliun kepada pemerintah berikutnya. “Jangan main gas aja terus. Lama-lama kita tahu mobil jebol, utang banyak. Nyampai sih di tujuan, tapi kita malah punya banyak kewajiban termasuk penambahan utang itu,” tuturnya mengibaratkan.
Politik Anggaran
Ia mengatakan, semua itu dampak paradigma APBN yang masih mengedepankan pengeluaran (defisit) daripada pendapatan. “Mestinya itu dipikir ulang, apakah memang itu efektif? Karena selama ini kita di dalam perekonomian, kita melalui pendekatan politik anggaran seperti itu,” ungkapnya.
Apalagi Rizal melihat, manajemen utang untuk pembangunan di sektor riil terutama yang bisa mencetak nilai tambah terhadap pendapatan maupun penyerapan tenaga kerja nasional saat ini sangat buruk. Sehingga, kemampuan di dalam meningkatkan kesejahteraan dan perbaikan pertumbuhan ekonomi juga sangat lemah.
Oleh karena itu, semestinya pemerintah sudah mulai mengefektifkan sekaligus memproduktifkan utang dengan hasil nilai tambah sebagai upaya untuk membayar utang dengan tanpa utang. “Bukan utang lagi atau dibayar dengan utang lagi atau gali lubang tutup lubang. Mestinya tidak begitu,” tandasnya.
Lebih dari itu selain untuk PEN, lanjut Rizal menekankan, semestinya utang juga didorong ke sektor riil, terutama industrialisasi melalui industri manufaktur. Jika tidak, maka kinerja ekonomi akan semakin berat.[] Zainul Krian