Mediaumat.news – Terkait utang luar negeri Indonesia yang tembus US$422,6 miliar per akhir Februari 2021 kemarin atau Rp6.164,46 triliun (kurs Rp14.587 per dolar AS), dinilai Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak sangat berbahaya bagi kedaulatan negara.
“Bergantung pada utang termasuk utang luar negeri sangat berbahaya bagi kedaulatan negara,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Ahad (18/4/2021).
Ishak mengatakan, perkembangan utang tersebut menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia semakin bergantung kepada pembiayaan luar negeri, baik pemerintah ataupun swasta. Meskipun porsi utang luar negeri dibandingkan dengan utang obligasi hanya sekitar 15 persen.
Risiko
Menurut Ishak, utang luar negeri mengandung berbagai risiko. Pertama, resiko teknikal. Ini adalah kerugian akibat pelemahan nilai tukar yang dapat mengakibatkan peningkatan nilai utang.
Kedua, resiko suku bunga. Beberapa utang yang mengacu pada bunga mengambang, juga menyebabkan beban negara meningkat seiring dengan kenaikan suku bunga acuan tersebut. Akibatnya kata Ishak, cicilan utang yang dibayar akan semakin besar. Apalagi struktur ekonomi Indonesia dan dunia saat ini sangat rapuh, yang bisa mengarah pada krisis, sehingga perubahan-perubahan tersebut sangat mungkin terjadi sewaktu-waktu.
Ketiga, secara fundamental, utang luar negeri yang ditarik pemerintah selalu dikaitkan dengan kepentingan negara atau lembaga pemberi utang. “Kasus utang kereta cepat Jakarta-Bandung menjadi contoh nyata bagaimana kuatnya Cina mendikte pembangunan infrastruktur yang dibiayai oleh utang tersebut,” bebernya.
Keempat, risiko terbesar dari utang luar negeri tersebut adalah adanya dosa. Karena pemerintah menarik utang berbunga yang secara pasti telah dinyatakan keharamannya oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
Menurut Ishak, utang riba ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi asas perekonomian Indonesia dan negara-negara di dunia.
Tanpa Utang
Ishak menyatakan, ada tiga hal yang harus dilakukan agar negara bisa membangun tanpa utang. Pertama, negara harus mengubah paradigma mereka bahwa utang bukan hanya berbahaya secara ekonomi, tetapi juga berbahaya dalam jangka panjang, yakni di akhirat kelak.
Kedua, Indonesia adalah negara yang sangat kaya, khususnya SDA, sehingga dengan mengelola kekayaan tersebut maka pendapatan negara akan menjadi sangat besar.
Ketiga, pemerintah harus meninggalkan sistem kapitalisme dan mengadopsi sistem Islam. Sebab sistem Islam akan melarang transaksi riba dalam semua level kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sistem Islam juga akan mengelola SDA yang menjadi milik umum sehingga pendapatan negara akan lebih melimpah dibandingkan saat ini, kekayaan tersebut justru dikelola oleh swasta dan asing,[] Agung Sumartono