Utang Pemerintah Nyaris Rp 4.000 Triliun, Ini Rinciannya
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat, jumlah utang pemerintah pusat hingga akhir 2017 nyaris Rp 4.000 triliun atau angka tepatnya sebesar Rp 3.938,7 triliun atau 29,2% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Jika dihitung sepanjang 2017, pemerintah pusat telah mengambil utang sebanyak Rp 472 triliun jika dihitung dari posisi 2016 yang sebesar Rp 3.466 triliun.
Melansir APBN Kita, Jakarta, Selasa (16/1/2018). Jumlah utang pemerintah pusat Rp 3.938,7 triliun ini terdiri dari instrumen pinjaman sebesar Rp 744,0 triliun atau 18,9% dari total, dan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 3.194,7 triliun atau 81,1%.
Adapun, jumlah outstanding SBN tersebut belum termasuk prefunding yang dilakukan di akhir 2017 sebesar US$ 4 miliar yang akan dicatatkan di tahun 2018.
Dari total instrumen yang sebesar Rp 744,0 triliun, komposisi pinjaman luar negeri mencapai Rp 738,4 triliun di mana dari total tersebut terbagi lagi berdasarkan pemberi pinjaman seperti bilateral sebesar Rp 313,7 triliun, multilateral sebesar Rp 381,2 triliun, komersial sebesar Rp 42,6 triliun, dan pinjaman kredit ekspor (suppliers) sebesar Rp 1,0 triliun. Sedangkan untuk pinjaman dalam negeri sebesar Rp 5,5 triliun.
Dalam portfolio SBN, porsi SBN berdenominasi valas lebih kecil dibandingkan SBN rupiah, masing-masing 21,7% atau Rp 853,6 triliun untuk SBN valas, dan 59,4% atau Rp 2.341,1 triliun untuk SBN rupiah.
Hal ini menunjukkan cukup rendah dan masih terjaganya risiko nilai tukar dari portofolio utang pemerintah. (sumber: detik Finance)
Komentar :
Bahaya utang bagi negara
- Peningkatan jumlah utang yang sangat masif pada rezim ini menujukkan semakin tidak kreatifnya pemerintah dalam mencari sumber-sumber penerimaan APBN selain utang. Padahal negara ini amat kaya raya sehingga sumber pendapatan negara semestinya sangat besar. Sayang, kekayaan itu lebih banyak dinikmati swasta terutama asing.
- Padahal, peningkatan utang akan membuat jumlah belanja yang tidak produktif dalam bentuk bunga utang, semakin meningkat. Di sisi lain belanja subsidi untuk kesejahteraan rakyat cenderung dipangkas. Dengan kata lain, peningkatan utang dapat membuat rakyat semakin sulit.
- Selain itu, struktur utang saat ini yang saat ini sebagian besar dalam bentuk surat berharga sangat beresiko terhadap stabilitas perekonomian. Apalagi porsi kepemilikan investor dimana asing sudah mencapai 40 persen. Kepercayaan para investor terhadap obligasi tersebut sangat ditentukan oleh kondisi pasar baik domestik ataupun global yang dapat mengalami gejolak secara tiba-tiba. Jika hal itu terjadi maka investor akan ramai-ramai melepas kepemilikan mereka sehingga imbal hasil surat berharga akan naik.
- Hal ini akan memberikan beban yang semakin besar pada APBN karena biaya pembayaran bunga meningkat. Selain itu, nilai tukar rupiah akan mengalami pelemahan yang lebih dalam terhadap mata uang asing terutama dollar. Jika demikian, dampaknya akan merembet ke mana-mana.
- Terakhir, semakin besar jumlah utang, maka semakin besar pula transaksi riba yang dilakukan pemerintah. Ini berarti selain membawa negara ini pada potensi krisis yang lebih besar, pemerintah juga semakin menenggelamkan negara ini pada kemaksiatan kepada Allah swt. Ini adalah kemungkaran yang seharusnya ditentang oleh publik. (Ishaq)