Utang Luar Negeri dan Cetak Uang Bukan Solusi untuk Negeri
Berdasarkan pemberitaan liputan6.com 07/04/2020, defisit APBN untuk menjaga stabilitas ekonomi akibat Covid-19 bisa mencapai Rp 853 triliun atau setara dengan 5,07 persen dari PDB. Dan salah satu opsi untuk mengatasi defisit ini adalah dengan menambah hutang luar negeri.
Oleh karena itulah, pemerintah menerbitkan obligasi global atau surat utang global dengan nilai US$ 4,3 miliar atau Rp 68,8 triliun (kurs Rp 16.000). Surat utang ini merupakan surat utang denominasi dolar AS terbesar sepanjang sejarah yang diterbitkan pemerintah Indonesia (detik.com, 07/04/2020).
Sedangkan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI memberikan masukan kepada Bank Indonesia (BI) agar mencetak uang Rp 600 triliun untuk menangani pandemi Covid-19. Menurut Banggar, saat ini sudah waktunya BI mencetak uang tersebut (detik.com, 03/05/2020). Bahkan mantan Menteri Perdagangan Gita Wiryawan mengusulkan kepada BI agar mencetak uang 4000 triliun (kompas.com, 02/05/2020).
Berbahayakah solusi tersebut? Apakah utang luar negeri dan cetak uang sebagai solusi benar untuk menangani defisit anggaran karena pandemi Covid-19?
Utang luar negeri selama ini adalah salah satu sumber pembiayaan penting pembangunan Indonesia. Per Februari 2020 utang luar negeri Indonesia sudah tembus 6300 triliun. Upaya menambah utang luar negeri tentu akan menambah beban rakyat Indonesia. Apalagi sampai tenornya 50 tahun, bukankah ini berarti mewariskan keburukan utang kepada anak cucu generasi penerus negeri ini !?
Disamping itu, utang luar negeri tak bisa dilepaskan dari upaya negara pemberi utang untuk mendominasi ekonomi dan politik Indonesia. Indonesia tak pernah bisa makmur dengan utang luar negeri, yang terjadi malah kemiskinan dan kesengsaraan yang diwariskan turun temurun.
Utang luar negeri juga mengandung riba yang hukumnya haram dalam Islam
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰا
Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS Al Baqoroh: 275)
Oleh karena itu Utang Luar Negeri adalah solusi haram untuk negeri ini.
Sedangkan cetak uang juga sangat berbahaya. Rupiah adalah jenis fiat money, uang kertas yang tak memiliki back up aset riil atau tidak ada back up emas dan perak. Rupiah bisa berdiri karena legal tender saja, yaitu janji legal dari pemerintah yang menganggap bahwa itu adalah uang. Jadi jika suatu saat hukum menyatakan bahwa uang kertas rupiah bukan uang, maka yang tertinggal hanyalah tumpukan kertas berwarna yang tidak memiliki nilai apapun juga.
Akhirnya cetak uang rupiah (fiat money), apalagi dalam jumlah yang besar hanya akan menghasilkan inflasi yang berujung pada naiknya harga-harga dan jatuhnya nilai rupiah.
Desain fiat money ini tak bisa dilepaskan dari skenario Amerika Serikat untuk menjadikan dollar AS sebagai standar moneter internasional hingga menguasai pasar moneter dunia.
Sejak 15 Januari 1971, dollar AS dijadikan standar mata uang dunia, termasuk di dalamnya rupiah. Inilah yang menyebabkan rupiah semakin mudah goyang dan tidak stabil. Rupiah sangat rentan dengan krisis dunia
Inilah paradigma sekulerisme dan kapitalisme yang menjadikan fiat money sebagai pola moneter dunia.
Dalam pandangan Islam, mata uang dilandaskan pada emas dan perak yang dikenal dengan nama dinar dan dirham. Inilah mata uang yang stabil dan jauh dari kegoncangan dan inflasi. Dan inilah jenis mata uang yang sesuai syariah Islam.
Oleh karena itu mencetak rupiah (fiat money) tanpa back up emas dan perak hukumnya haram. Suatu yang haram pasti sangat berbahaya.
Khatimah
Ramadhan adalah bulan ketakwaan. Selayaknya Ramadhan kita jadikan momentum untuk kembali kepada Islam, menjadikan Al Qur’an sebagai sumber dari segala sumber hukum, menjadikan ayat suci di atas ayat konstitusi. Selayaknya takwa kepada sebagai jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah pada aspek individu, masyarakat maupun negara.
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar” (QS At-Tholaq:2)
[]Agung Wisnu/LS